Catatan Tentang Kondisi HAM dan Perempuan di Indonesia: Pemerintah Punya Banyak PR

November nanti pemerintah negara-negara di dunia akan melakukan sidang HAM Universal Periodic Review (UPR). PBB akan melakukan review soal penegakan HAM dan perempuan,salah satunya di Indonesia. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang selama bertahun-tahun belum dikerjakan pemerintah Indonesia

Listyowati, Ruby Kholifah,  dan Dian Novita, aktivis perempuan asal Indonesia bersama sejumlah organisasi perempuan yang tergabung dalam Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), akhir Agustus 2022 lalu menghadiri Pre Session Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss. 

UPR merupakan mekanisme internasional untuk mengundang negara-negara untuk hadir dalam pertemuan dan memberikan review silang soal isu dan persoalan perempuan oleh negara-negara anggota PBB. Listyowati, Ruby Kholifah,  dan Dian Novita, mewakili organisasi perempuan di Indonesia memberikan catatan atas kondisi perempuan di Indonesia

UPR  diselenggarakan oleh Dewan HAM PBB secara periodik 4,5 tahun sekali. Indonesia telah direview selama 3 kali, yaitu tahun 2008, 2012 dan 3 Mei 2017. Review selanjutnya akan dilakukan pada November mendatang di mana Indonesia berkewajiban untuk memaparkan kemajuan yang dicapai serta menjalankan mandate dan mekanisme HAM internasional.

Kehadiran organisasi perempuan bersama organisasi HAM di Pre Session UPR dilakukan untuk mengawal laporan tertulis tentang kondisi HAM di Indonesia. Laporan ini akan disandingkan dengan laporan pemerintah dan lembaga HAM, sehingga bisa jadi dasar bagi negara lain untuk menyampaikan rekomendasi HAM.

Yuniyanti Chuzaifah, mantan Ketua Komnas Perempuan menyatakan bahwa UPR sangat penting untuk mereview antar negara PBB agar lebih demokratis. Forum ini penting bagi Indonesia dan negara-negara lain di dunia agar tidak dipandang sebagai anti demokrasi.

“Ini Penting untuk merawat demokrasi agar negara tidak semena-mena. UPR adalah jendela bagi rakyat sebuah negara agar mekanisme internasional berlangsung dan diterapkan di setiap negara. Negara diperlakukan secara horizontal, semua negara diberi hak untuk memberikan rekomendasi,” terang ketua Komnas Perempuan periode 2011-2014 ini dalam Konferensi Pers Catatan CWGI atas Situasi dan Kondisi Hukum dan Kebijakan Perempuan di Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) PBB, Jumat (9/9/2022).

Dalam sidang pada 9 November 2022, pemerintah dan organisasi-organisasi akan memaparkan laporan untuk direview oleh negara-negara. Review yang masuk tergantung pada laporan dari masyarakat sipil yang menurut Yuni laporan dari masyarakat sipil Indonesia cukup banyak. Selanjutnya pada Juni 2023 pemerintah akan mengumumkan sikapnya terkait rekomendasi. Apakah hanya dicatat atau akan diakomodasi.

“Sikap pemerintah tergantung kuatnya desakan dari masyarakat sipil,” tegasnya.

Sementara Ruby Khalifah dari The Asian Muslim Action Network/ AMAN Indonesia mengatakan masyarakat sipil (CSO) di Indonesia konsisten memberikan masukan sebagai pembanding laporan pemerintah terkait penegakan HAM. Menurutnya CSO tidak mengingkari sejumlah capaian pemerintah, namun ada sejumlah catatan. Salah satunya pentingnya menjaga keterbukaan ruang bagi CSO khususnya perempuan dalam proses pembahasan legislasi terkait perempuan. Dialog ini penting untuk bersama-sama membangun ruang demokrasi yang sehat di Indonesia.

“CSO perlu membuka dialog dengan pemerintah. Karena apapun yang diperjuangkan di dunia internasional, semuanya tergantung pada sikap pemerintah. Sehingga dialog harus selalu dibuat,” ujarnya.

Setidaknya ada 8 poin penting yang direview dalam penyelenggaraan UPR, seperti layanan kesehatan untuk perempuan, perempuan di daerah konflik dan beberapa isu lainnya. Sejumlah kemajuan telah dicapai Indonesia seperti disahkannya UU TPKS serta revisi UU Perkawinan sehingga usia kawin minimal telah dinaikkan menjadi 19 tahun.

Namun demikian tetap ada sejumlah pekerjaan rumah, salah satunya adalah dispensasi nikah yang gampang didapat yang mengakibatkan jumlah perkawinan anak Indonesia masih tinggi. Selain itu juga kurangnya perlindungan bagi pembela HAM perempuan, kurangnya akses layanan kesehatan reproduksi (kespro)

Peningkatan akses layanan kesehatan reproduksi perempuan masih jadi persoalan serius di Indonesia. Data menunjukkan, angka Kematian Ibu dan anak (AKI) di Indonesia tergolong tinggi. Menurut laporan UNDP, risiko kematian ibu di Indonesia adalah 1 dari 65 ibu, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 ibu di Thailand.

Terkait masalah layanan kespro, aktivis Atas Hendartini menyatakan bahwa selama enam tahun ini pihaknya kesulitan untuk ‘berkomunikasi’ dengan Kementerian Kesehatan.

“Kondisi kesehatan perempuan memprihatinkan, aborsi aman masih sulit diakses, masih banyak dokter yang melakukan praktik sunat bayi perempuan. Sudah seharusnya Kemenkes pro aktif dalam komitmen dan tidak bersikap tertutup,” katanya

Kurangnya layanan pendidikan kespro, menurut Atas, menjadi salah satu pemicu tingginya kasus HIV di kalangan remaja. Ia mencontohkan kasus di Jawa Barat, di mana 60 persen atau mayoritas pasien HIV/AIDS berusia remaja.

Aborsi yang aman untuk korban kekerasan seksual juga disorot, di mana masih terjadi kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan aborsi.

“Bahkan hal ini diakomodasi di RKUHP yang sedang dibahas,” imbuh Listyowati yang memimpin delegasi CWGI.

8 Fakta dan Rekomendasi untuk Perempuan

Setidaknya ada delapan poin penting yang disorot dalam mekanisme UPR ini. Berikut fakta yang ditemukan terkait 8 poin penting serta rekomendasi dari CWGI

1.Kesehatan Perempuan

Fakta: Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi yakni 300/100.000 kelahiran hidup, masih marak kriminalisasi terhadap orang yang melakukan aborsi yaitu korban kekerasan seksual dan tenaga kesehatan, serta sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok muda.

Rekomendasi:

(1) Akses layanan kesehatan yang mudah sampai level pedesaan

(2) Memastikan implementasi Peraturan Pemerintan (PP) No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No.3 tahun 2016 tentang pelatihan dan prosedur aborsi dalam kedaruratan dan kasus perkosaan

(3) Implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang kesehatan

2.Perempuan dan Konflik

Fakta: Terdapat  421 perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8-9 tahun 2006 menghambat hak kelompok minoritas untuk beribadah, sehingga menimbulkan serangkaian penganiayaan terhadap kelompok minoritas, termasuk penghancuran Masjid Ahmadiyah di Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupaten Sintang mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Masjid Miftahul Huda September 2021

Perda ataupun peraturan yang mewajibkan seragam sekolah berhijab di sekolah negeri juga mengancam hak perempuan.

Penanganan kasus kekerasan seksual di wilayah konflik seperti Aceh dan Papua yang belum berpihak pada korban. Selain itu tim juga menemukan masih kurangnya pengarusutamaan gender khusus di PVE menghasilkan kurangnya promosi gender kesetaraan dan keterwakilan dan kepemimpinan perempuan dalam struktur, kebijakan, dan intervensi.

Rekomendasi :

(1) Implementasi Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan perempuan dan Anak dalam situasi Konflik Sosial (RAN P3AKS) yang berperspektif gender

(2) Mendorong pembahasan RUU baru tentang pembentukan komisi nasional untuk kebenaran dan rekonsiliasi dengan wewenang kekuasaan yang luas untuk menerima pengaduan dan menyelidiki pelanggaran HAM berat, menjamin hak korban atas kompensasi dan reparasi, serta jaminan atas tidak terulangnya pelanggaran tersebut, termasuk praktik ketidakadilan gender di bawah hukum Syariah di Aceh dan konflik berkepanjangan di Papua.

(3) Melanjutkan Implementasi Inpres No. 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE)

3.Perempuan Desa dan Perempuan Adat: Hak atas Pangan dan Tanah

Fakta: Perempuan adat dan pedesaan telah menghadapi dampak parah dari konflik sosial. Mereka mengalami penggusuran, perampasan, dan perusakan lingkungan, budaya. Menyusul pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (President Peraturan No. 109/2020). Komnas Perempuan mencatat, ada 59 kasus konflik agraria yang belum terselesaikan dalam kurun 2003-2021.

Belum disahkannya RUU Masyarakat Adat, implementasi Omnibus Law dengan minimnya partisipasi masyarakat, semakin terbuka potensi kerusakan alam dan konflik. Selain itu belum adanya pengakuan hak untuk perempuan adat, perempuan pedesaan dan perempuan nelayan dalam proses pengambilan keputusan dan akses terhadap sumber daya turut meminggirkan perempuan.

Rekomendasi :

(1) Memperkuat upaya untuk mengadopsi RUU tentang Masyarakat Adat, dengan memastikan partisipasi perempuan adat dan pedesaan dalam proses pengambilan keputusan, mendorong Prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC)

(2) Mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja dan turunannya

(3) Mengakui identitas dan penikmatan hak asasi manusia oleh perempuan adat dan pedesaan serta perempuan nelayan dan petani dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan, UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, dan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana direkomendasikan oleh Komite CEDAW dalam Pengamatan Penutup (Concluding Observations) atas laporan periodik pemerintah Indonesia ke-8.

4.Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Fakta: Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO) yang meningkat dari 241 kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus di Indonesia pada tahun 2020. Sementara SAFEnet menangani 620 kasus online kekerasan berbasis gender selama dua tahun pandemi COVID19 yaitu 620 kasus pada tahun 2020 dan 677 kasus pada tahun 2021.

Angka yang mengkhawatirkan ini juga dikonfirmasi oleh laporan tahunan LBH APIK Jakarta tahun 2021, yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual yang meminta bantuan sepanjang tahun, terutama kekerasan seksual online (489 kasus dari 1.321 keluhan).

Rekomendasi :

Mencabut pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 11/2008, yang mengkriminalisasi korban kekerasan berbasis gender online dan menyebabkan korban tidak berani melaporkan kasusnya. Artikel tersebut menyatakan, `Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

5. Penghapusan Perkawinan Anak

Fakta: Dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih ada klausul tentang dispensasi nikah, sehingga ini menjadi ruang dan legitimasi untuk terjadinya perkawinan usia anak (di bawah 19 tahun)

Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas), 400-500 anak perempuan dalam rentang usia 10-17 berisiko menikah di bawah umur karena Covid-19. Praktek-praktek pemaksaan perkawinan, seperti kawin tangkap masih marak di berbagai daerah.

Rekomendasi :

(1) Menghapuskan pasal terkait dispensasi nikah

(2) Melanjutkan upaya untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam penyadaran publik tentang pencegahan perkawinan anak, mempromosikan interpretasi agama yang ramah perempuan tentang pencegahan perkawinan anak, dan menciptakan lingkungan yang aman dan lingkungan yang mendukung untuk mendukung korban perkawinan anak

Pelukaan dan pemotongan genital atau sunat perempuan

Fakta: Indonesia menempati peringkat ketiga di antara negara-negara yang masih memiliki praktik FGM/C di seluruh dunia. Belum ada kebijakan yang tegas melarang praktik P2GP atau sunat perempuan

Rekomendasi :

Mendesak pemerintah untuk mengesahkan peraturan yang melarang praktik sunat perempuan dengan akses penuh terhadap hak seksual dan kesehatan reproduksi, dan mengkriminalisasi siapapun yang melakukan praktik sunat perempuan.

6.Perempuan dan Bencana

Fakta: Perlindungan bagi perempuan dan anak di daerah bencana masih kurang. Data yang ada mencatat 57 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terjadi di sejumlah bencana Sulawesi Tengah tahun 2018. Pasca Topan Seroja di NTT, 26% kabupaten belum memiliki PBM (Pembelajaran Proses) kegiatan, dan 59,6% tidak memiliki alternatif tempat belajar saat terjadi kerusakan terjadi. Akibatnya, anak perempuan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memperoleh penghasilan

UU Penanggulangan Bencana belum menerapkan perspektif lintas sektoral dalam memandang perempuan dan kelompok rentan (lansia, anak-anak, remaja, disabilitas, dan kelompok minoritas).

Hanya 5 persen dari semua bantuan yang menargetkan kesetaraan gender sebagai tujuan utama pada 2018-2019, dan investasi pemberdayaan ekonomi perempuan, persentasenya bahkan lebih rendah.

7. Pelibatan Aktif Perempuan dalam Proses Pengambilan Keputusan dalam Pencegahan dan Penanggulangan Bencana masih sangat Minim

Rekomendasi :

(1) Meninjau dan merevisi kebijakan nasional dan local terkait pengurangan risiko bencana (termasuk : UU Penanggulangan Bencana), pedoman, prasarana, sarana, dan tindakan untuk menjamin persyaratan minimum untuk mengatasi kesenjangan gender dan inklusi sosial

(2) Pemerintah harus mengembangkan langkah-langkah konkret dalam mengoperasionalkan peraturan negara menjadi pedoman, memberikan peningkatan kapasitas bagi petugas yang bekerja di bidang manajemen kebencanaan, menyediakan data terpilah tentang dampak bencana dan pandemi terhadap perempuan dan anak perempuan dan menyediakan dana APBN untuk krisis

Kerangka Legislasi.

Fakta : Sistem hukum belum memberikan keadilan bagi orang dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Banyak ditemukan proses hukum pengalaman korban masih sulit dimasukkan dalam level penyelidikan baik sebagai saksi maupun terdakwa.

Belum ada respon positif dari DPR terhadap sejumlah produk Undang-dang terkait perempuan seperti RUU Perlindungan PRT, RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, RUU Masyarakat Adat.  

Komnas HAM tahun 2020 menerima 19 laporan terkait kekerasan terhadap Human Rights Defender (Pembela HAM). Sementara Komnas Perempuan dalam periode  2018 – 2021 mencatat 15 kasus kriminalisasi terhadap Perempuan Pembela HAM dan 10 tahun Rancangan Undang-undang perlindungan Pekerja Pembela HAM mandek di parlemen.

Perpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Kementerian dan Lembaga negara belum terimplementasikan secara kuat, untuk memperkuat ini harus ada undang-undang yang secara khusus bicara tentang keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia. Dan Indonesia telah menerima 2 kali Rekomendasi dari Komite CEDAW PBB (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan).

Data tahun 2021 terdapat 5 juta perempuan pekerja rumah tangga di Indonesia yang sampai saat ini masih belum mendapatkan perlindungan dan pengakuan sebagai seorang pekerja.

8.Diskriminasi di Tempat Kerja terhadap Orang dengan Disabilitas Masih Tinggi, misalnya pada Proses Rekrutmen Tenaga Kerja dengan Adanya Syarat “Sehat Fisik dan Mental”

Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM yang mempunyai mandate secara khusus untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih harus terus meningkatkan independence dan kapasitasnya dalam menjalankan mandatnya.

Rekomendasi :

(1) Memperkuat implementasi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Orang dengan Disabilitas yang memastikan orang dengan disabilitas mempunyai akses keadilan dalam proses hukum.                           

(2) Regulasi negara yang memastikan perlindungan keamanan dan lingkungan yang mendukung semua pekerja pembela HAM (HRD) termasuk aktivis perempuan, feminist, jurnalis perempuan, women peacebuilders dengan beragam ekspresi gender dan seksualnya serta komunitas adat.

(3) Segera disahkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG)

(4) Segera disahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah 18 tahun terhenti di parlemen

(5) Ratifikasi konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Konvensi Pekerja Rumah Tangga

(6) Ratifikasi konvensi ILO no. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja untuk perlindungan pekerja khususnya perempuan pekerja

(7) Mendukung independence dan penyediaan sumber daya yang lebih besar untuk Komnas Perempuan.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!