Pendeta dan Guru Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Hati-Hati dengan Orang Terdekatmu

Hati-hati dengan orang terdekatmu, karena data menunjukkan, orang terdekat adalah pelaku kekerasan seksual yang banyak jumlahnya, kali ini kekerasan seksual dilakukan oleh pendeta dan guru yang harusnya memberikan rasa aman.

Para perempuan di sebuah gereja Alor berduka. Sepanjang Agustus hingga September 2022 ini terungkap sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman.

Di antaranya terjadi di lingkungan gereja di Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur, di lingkungan sekolah di Kabupaten Batang dan di Kota Semarang, serta di lingkungan pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.

Terduga pelaku adalah seorang calon pendeta (SAS), orang yang dikenal korban dan dari kalangan yang semestinya memberikan perlindungan. 

Pelaku kekerasan seksual lainnya terjadi di Jawa Tengah, yaitu guru agama dan pembina OSIS SMP (AM) di Batang, juga guru sekaligus ketua yayasan ponpes (SAW) di Banjarnegara, dan guru sekolah luar biasa (RAZ) di Semarang.

Sementara korban sebagian besar terdiri dari anak-anak dan sejumlah remaja. Di Alor korban terdiri dari 14 anak-anak dan remaja perempuan. Di Batang, korban meliputi 35 siswi SMP. Di Banjarnegara korban mencakup 7 anak santri laki-laki. Di Semarang korban adalah seorang anak perempuan dengan disabilitas.

Kekerasan seksual di lingkungan sekolah tidak hanya terjadi pada murid tetapi juga menimpa guru. Seperti kasus yang ditangani LBH APIK Semarang. 

“Ada juga kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren di Demak, dimana korban sampai hamil tidak diinginkan,” ujar Direktur LBH APIK Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko kepada Konde, Kamis (22/9/2022) melalui sambungan telepon. 

Dalam kasus ini korban mengalami kekerasan seksual ketika bekerja sebagai guru. Ia kemudian keguguran dan menarik pengaduan karena kekurangan alat bukti.  LBH APIK Semarang juga mencatat sepanjang 2022, menerima 4 pengaduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang terjadi di Kota Semarang dan sekitarnya, termasuk kasus di Batang. 

Dari berbagai kasus yang ditangani LBH APIK Semarang, modus kekerasan seksual umumnya karena relasi kuasa yang kuat, bahwasanya pelaku menyalahgunakan kewenangannya. Seperti kasus di Demak dimana pelaku adalah kiai di Ponpes. Modus lainnya adalah bujuk rayu dan ada juga yang disertai intimidasi dan ancaman. 

Lembaga Pendidikan dan Keagamaan Harus Responsif dan Tegas   

Kasus-kasus ini memperlihatkan sekolah belum menjadi ruang yang aman. 

“Ini menunjukkan bahwa lingkungan sekolah ternyata masih menjadi tempat yang belum aman dari kekerasan seksual,” ujar Ayu.  

Terkait kondisi ini LBH APIK Semarang menekankan pentingnya aturan internal di sekolah yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. 

Sekolah, lanjut Ayu, harus memberikan sanksi tegas pada pelaku meskipun pelaku mempunyai jabatan tertentu di sekolah tersebut, dengan mem-blacklist nama pelaku di database pendataan pegawai di lingkungan sekolah yang terhubung dengan Dinas Pendidikan. 

“Sekolah secara terbuka dan turut serta melakukan bersama kegiatan sosialisasi dan edukasi ke siswa dan pegawai di lingkungan sekolah mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual,” imbuh Ayu. 

Dari pengalaman mendampingi para korban kekerasan seksual selama ini, Ayu melihat masih banyak sekolah yang melihat kasus kekerasan seksual adalah aib. Ini menyulitkan para korban untuk bersuara apalagi mendapatkan perlindungan yang seharusnya ia dapatkan. 

Sekolah, masyarakat dan keluarga korban seharusnya turut serta membantu memulihkan kondisi psikologis korban, termasuk pada korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. LBH APIK Semarang juga pernah menemukan korban justru kehilangan hak untuk meneruskan pendidikannya karena hamil. 

“Jika sekolah mengeluarkan korban kekerasan seksual padahal korban masih ingin melanjutkan sekolah di sekolah tersebut, maka pihak sekolah secara tidak langsung telah menjadi pelaku kekerasan seksual,” tandas Ayu. 

Tidak jarang kasus kekerasan seksual diselesaikan secara kekeluargaan atau mediasi. Korban yang seharusnya dilindungi dan didukung untuk berani bersuara justru dibungkam. Untuk membongkar kondisi ini, Ayu memandang perlunya sosialisasi dan edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di lingkungan pendidikan. 

Dengan pendidikan HKSR diharapkan akan memperkuat moralitas para pegawai di lingkungan sekolah dan memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk kekerasan, hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, khususnya kekerasan seksual. 

Sementara itu kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindak kekerasan ini menimbulkan kerugian dan dampak yang serius bagi para korban, baik fisik maupun psikis dalam jangka panjang. Untuk itu proses hukum atas kasus kekerasan seksual dan pemulihan terhadap para korban menjadi hal penting. 

Selain itu menurut aktivis perempuan dan keberagaman, Selviana Yolanda, anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan aib juga harus dikikis. 

“Kekerasan seksual itu tindak pidana, bukan aib ya dan harus dikeluarkan dari kata aib karena kadang-kadang kan kita cenderung menjadikan dia aib. Ini aib yang diomongin di belakang, rahasia gitu ya, diomongin diam-diam. Padahal itu salah, itu adalah kejahatan yang harus diungkap,” tegas Yolanda saat dihubungi Konde pada Selasa (20/9/2022). 

Lebih lanjut Yolanda mengungkapkan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan gereja bisa membuat korban menjadi tertutup. Sikap tertutup korban bisa terjadi karena berhadapan dengan lembaga agama dan orang-orang yang selama ini dihormati. Situasi ini bisa menimbulkan keengganan korban untuk berbicara atau juga rasa takut. 

Untuk itu gereja diharapkan bersikap tegas dan terbuka. Karena dengan begitu proses hukum dapat berjalan dan mencegah keberulangan kasus serupa di masa mendatang. 

“Jadi ini kejahatan luar biasa mestinya ada sikap yang lebih tegas dari gereja daripada sekadar menangguhkan penahbisan. Saya kira perlu juga ada sikap yang lebih progresif dari gereja, bagaimana memerangi isu kekerasan seksual ini,” ujar Yolanda. 

Menurutnya kasus ini bisa jadi bukan yang pertama, karenanya ini merupakan momentum untuk mengungkap kasus-kasus serupa di lingkungan agama. 

Menyikapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh calon pendeta (vikaris) dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Majelis Sinode GMIT menyatakan tidak menahbiskan terduga pelaku (SAS) dalam jabatan pendeta GMIT setelah sebelumnya menangguhkan status vikaris terduga pelaku.

“Begini, tidak mengumumkan itu ketika kasus itu baru mencuat dan yang bersangkutan belum ada pengakuan. Setelah kita terjunkan tim, kemudian tim itu melakukan pendampingan psikologi terhadap anak, lalu ada pengakuan itu. Tim kita membawa laporan ini ke kepolisian dan setelah itu secara lembaga kita mengambil keputusan tidak lagi menahbiskan yang bersangkutan ke dalam jabatan pendeta,” jelas Wakil Sekretaris Majelis Sinode Harian (MSH) GMIT Pendeta Elisa Maplani kepada Konde via telepon, Rabu (21/9/2022). 

Saat ini terduga pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Alor, sedang para korban mendapat pendampingan psikologis dari tim yang dibentuk gereja. 

“Memang secara psikologis mereka mengalami trauma, karena inikan anak-anak, ada usia SMP ada usia SMA, tapi gereja melakukan pendampingan untuk proses trauma healing melalui tim yang kita turunkan ke Alor,” ungkap Elisa Maplani. 

Ruang Aman Harus Diciptakan

Ketika lingkungan tempat anak menuntut ilmu dan beribadah justru menjadi lokasi bagi terjadinya kekerasan seksual, maka muncul pertanyaan terkait ruang aman bagi anak, remaja dan kelompok rentan. 

Selviana Yolanda, aktivis perempuan dan keberagaman di NTT mengungkapkan ruang aman tidak bisa hadir begitu saja tetapi harus diciptakan. Untuk menciptakan ruang aman di lingkungan gereja Yolanda berpendapat setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. 

Pertama, menurutnya gereja harus mengakui dan menginvestigasi kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Secara umum masyarakat melihat ketika ada seorang pemuka agama melakukan perkosaan, menghamili seorang perempuan, atau melakukan KDRT, sanksi yang diberikan kepada mereka sebatas dipindahkan atau dimutasi kemudian dibina dan didampingi. Padahal langkah penyelesaian melalui mediasi semacam ini justru akan menciptakan impunitas.

“Jadi penyelesaian kasus selama ini tuh bener-bener mediasi, kekeluargaan, dibina, seolah-olah ini sesuatu yang biasa saja, kasus-kasus kekerasan seksual itu dianggap bukan pidana berat, dia dianggap sebagai kelalaian atau tindak pidana ringan sehingga orang bisa saling memaafkan. Padahal sebenarnya ini menciptakan ruang-ruang impunitas,” jelas Yolanda.

Ketika situasi seperti ini terus berkembang, gereja atau lembaga agama juga tempat-tempat lain yang sangat tertutup seperti panti asuhan misalnya, justru menjadi ruang aman bagi pelaku. Ia bukan lagi ruang aman bagi korban tetapi sudah berubah jadi ruang aman pelaku karena selama ini digunakan untuk melindungi pelaku.  

Adanya relasi kuasa antara pemuka agama dan umat kemudian membuat orang-orang yang menggugat seorang tokoh agama atau personel gereja dianggap sama halnya dengan menggugat Tuhan. Selain itu juga dipandang seolah-olah menghina atau menjelekkan agamanya, dsb. 

“Padahal ini suatu kejahatan yang tidak boleh diabaikan begitu saja, tidak boleh dianggap hal yang biasa saja atau ringan saja,” ujar Yolanda. 

Karena itu langkah kedua adalah gereja harus melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual ke polisi agar diproses secara hukum. Kekerasan seksual bukan tindak pidana ringan, ia harus dilaporkan ke polisi agar dilakukan penyidikan sehingga pelaku benar-benar dihukum sesuai kesalahannya. 

Ketiga, gereja perlu melakukan preventive mechanism. Gereja harus membuat protokol pencegahan kekerasan seksual di lingkungan gereja. Setiap personel, setiap anggota gereja yang melakukan kejahatan seksual harus dihukum. Protokol pencegahan kekerasan seksual harus ada sehingga semua orang tahu bahwa kejahatan seksual merupakan tindak pidana dan bukan aib. 

Dengan begitu kita pelan-pelan mengembalikan gereja, lembaga agama, sekolah, pesantren, dan sebagainya menjadi ruang yang aman untuk kita berdoa, bersosialisasi, dsb. Bukan sebaliknya menjadi ruang aman bagi pelaku atau menjadi lembaga yang memperkuat impunitas bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, perempuan dan kelompok disabilitas. 

Perlu Sosialisasi Stop Kekerasan Seksual dan Permendikbud Pencegahan Kekerasan 

Ayu Hermawati, Direktur LBH APIK Semarang menambahkan sebenarnya sudah ada Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. 

Sayangnya keberadaan regulasi yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman ini masih sebatas aturan di atas kertas. Masih banyak pihak sekolah yang belum mengetahui keberadaan Permendikbud tersebut. 

Untuk itu Kemendikbudristek secara masif menyosialisasikan Permendikbud 82/2015 ini kepada Dinas-Dinas Pendidikan di seluruh kabupaten/kota dan provinsi serta sekolah-sekolah. Namun apa yang ditemui Ayu di lapangan berbanding 180 derajat dari kondisi ideal ini.

Masih banyak sekolah yang menutup rapat-rapat pintu pagarnya ketika LBH APIK Semarang ingin melakukan sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan alasan sekolah mereka aman dari tindak kekerasan seksual.  

Selain itu Ayu menyatakan Kementerian Agama yang membawahi pondok pesantren dan madrasah juga perlu didorong memiliki aturan seperti Permendikbud No. 82/2015 yang memastikan adanya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.

Ayu juga berharap dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka hak para korban kekerasan seksual dapat terpenuhi secara adil. Ia meminta polisi lebih gencar menyosialisasikan aturan tersebut agar kasus kekerasan seksual tidak lagi diselesaikan secara kekeluargaan atau mediasi. 

“Polisi harus mengedukasi penyidik ketika menangani kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan, agar lebih memihak kepada korban dan progresif terhadap UU TPKS, di mana korban berhak mendapatkan restitusi dan kompensasi dari pelaku atas apa yang dia alami,” tandas Ayu.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!