Peretasan di ‘Narasi TV’, Pelanggaran Kebebasan Pers Yang Sudah Sering Terjadi

Peretasan terhadap media terjadi lagi, kali ini terjadi pada Narasi TV. Sebanyak 24 orang di Narasi TV mengalami peretasan di akun sosial medianya

Peretasan terhadap media terjadi lagi, kali ini terhadap akun sosial media (sosmed) tim redaksi dan eks pekerja Narasi TV. 

Total sebanyak 24 orang yang mengalami peretasan akun sosial medianya per Senin (26/9) pukul 14.00 WIB. Peretasan itu terjadi terhadap akun Whatsapp (WA), Facebook (FB), Telegram, dan Instagram. 

Peretasan pertama kali diketahui kemarin, Sabtu (24/9). Nomor Whatsapp milik Akbar Wijaya atau Jay Akbar, salah seorang produser @narasinewsroom, menerima pesan singkat melalui Whatsapp sekitar pukul 15.29 WIB yang berisi sejumlah tautan. Kendati Jay tidak mengklik satu pun tautan dalam pesan singkat tersebut, namun hampir seketika itu juga (sekitar 10 detik setelah pesan singkat itu dibaca), ia telah kehilangan kendali atas akun/nomor Whatsapp-nya. 

Bukan hanya akun Whatsapp yang sempat tidak bisa diakses oleh Jay, bahkan nomor teleponnya sendiri kemarin sampai tidak bisa dikuasai pemiliknya. Sejak saat itu, hingga 2 jam berikutnya, satu per satu usaha meretas akun-akun media sosial awak redaksi terjadi usai adanya komunikasi di internal redaksi yang terjadi pada Minggu pagi (25/9).  

“Hingga pukul 14.00 WIB ini ada 24 orang yang bukan hanya dari newsroom, finance, human capital, bahkan support product Narasi ada yang coba diretas,” ujar Head of Newsroom Narasi, Laban Laisila pada Konferensi Pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang diikuti Konde.co, Senin (26/9). 

Sampai saat ini, pihaknya telah berupaya mengamankan dan mengambil alih akun-akun yang coba diretas. Hampir semua sudah kembali dalam kendali, kecuali satu akun yang masih belum berhasil dikuasai. Dirinya belum mengetahui motif apa yang memicu upaya peretasan ini, namun Ia yakin bahwa hal itu dilakukan secara sistematis. 

“Kami melihat metodenya, peretas itu melakukan (peretasan–red) dari beberapa device yang memang sama asalnya Android, Xiaomi, Redmi 8, ada yang Window Chrome. Hanya itu yang masuk ke 24 device kru Narasi. Kami sangat meyakini metode ini dilakukan dalam 2 hari berturut-turut dan sistematis,” kata dia. 

Sebelumnya, Pemimpin Redaksi Narasi, Zen RS menyampaikan bahwa mayoritas usaha peretasan berasal dari IP Address dan perangkat yang identik. Hasil pemeriksaan internal yang Narasi lakukan menemukan IP Address tersebut menggunakan salah satu ISP lokal. 

Zen menghimbau jika ada yang merasa dihubungi oleh awak redaksi Narasi, dan meminta hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja jurnalistik, atau hal mencurigakan lainnya, mohon untuk mengabaikannya dan jika berkenan melaporkan kepada pihak Narasi.  

“Langkah-langkah pencegahan dan respons lainnya yang relevan sudah, sedang dan akan kami lakukan. Kami meminta pihak-pihak terkait, termasuk provider dan platform, bersedia membantu kami untuk menelisik rentetan kejadian ini,” ujar Zen dalam keterangan tertulis yang diterima Konde.co, Senin (26/9).    

Pelanggaran Kebebasan Pers

Ketua Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Indonesia, Sasmito Madrim menilai serangan digital terhadap kru Narasi ini jelas merupakan bentuk serangan terhadap kebebasan pers. Sebab media dan jurnalis bekerja dengan dilindungi oleh Undang-undang Pers. 

“Ini serangan berlapis. Pertama serangan kebebasan pers dan serangan publik. Ketika jurnalis/pekerja media mendapat serangan, info yang harusnya diinformasikan ke publik terhambat. kami mengecam sekali,” kata Sasmito di kesempatan sama. 

Kaitannya dengan ini, AJI sebagai lembaga yang memperjuangkan kebebasan pers menurutnya tegas mendesak kepolisian untuk bisa mengusut tuntas kasus ini. Bahkan, saat tanpa ada laporan sekalipun polisi harusnya sudah cepat bergerak dan mengusut siapa pelaku peretasan terhadap redaksi Narasi. 

“Ini serangan yg serius, karena dialami hampir 24 awak narasi yang diretas. Dilakukan secara sistematis. Polisi harus mengusut tidak boleh ada pembiaran,” imbuhnya.  

Sasmito juga wanti-wanti APH (aparat penegak hukum) agar tidak justru mengesankan adanya perlindungan atas ‘kepentingan yang patut dicurigai’. Ini dikarenakan dalam beberapa kasus APH sebetulnya bisa bergerak sangat cepat untuk penanganan serangan digital dan ditemukan pelakunya. Jadi, jangan sampai sebaliknya justru “melempem” ketika mengusut serangan digital yang mengancam kebebasan pers. 

“Dari teknologi, itu APH sudah mumpuni. Apalagi kalau kita lihat pengadaan alat itu sangat canggih. Kapasitas mereka mengungkap kasus ini tidak diragukan, hanya komitmen atau tidak, mau apa tidak,” katanya. 

Di lingkup pers, Sasmito juga meminta agar Dewan Pers juga berperan aktif untuk mendorong APH bisa cepat mengusut kasus ini. Hal ini tak terlepas dari maraknya kasus serangan digital seperti peretasan, doxing, dan banyak lainnya yang semakin marak terjadi beberapa tahun terakhir ini. 

Ia juga menyampaikan, upaya perlindungan data juga menjadi hal serius yang harus diperhatikan pemerintah. Sebab peretasan semacam ini tak hanya rentan terjadi terhadap para jurnalis tapi juga aktivis pro-demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). 

Di samping itu, kata dia, juga perlu transparansi, serangan yang dialami jurnalis, bisa dikatakan sebagian besar tidak ada yang tuntas, tapi kalau ada dari APH bisa tuntas dan dibuka ke publik motifnya.

“Kita tau tak mungkin, sangat kecil kemungkinannya warga biasa memiliki kemampuan menerobos batas sampai 24 akun kalau tidak didukung dengan alat canggih dan mumpuni. Ini perlu dibuka ke publik,” tambahnya. 

Ahmad Fathanah dari LBH Pers juga menekankan bahwa APH tidak boleh ‘tebang pilih’ terhadap penanganan kasus serangan digital termasuk peretasan terhadap media dan jurnalis. Sebab pengalamannya mendampingi kasus peretasan beberapa media pada 2020 lalu, hingga saat ini belum juga diproses. Namun, cukup berbeda perlakuan dengan peretasan website Satgas Penanganan Covid-19 yang direspons cepat bahkan tak sampai 2 minggu ditemukan pelakunya. 

Dalam UU Pers Pasal 18, dia menyebut apa yang dilakukan oleh peretas akun kru Narasi ini telah masuk dalam upaya penghalang-halangan kerja jurnalis. Terlepas dari publikasi pemberitaannya sudah berjalan/selesai. Tindakan peretasan itu juga masuk sebagai tindak pidana yang diatur dalam pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik. 

“Dua UU itu bisa jadi tindak lanjut,” kata Ahmad. 

Pentingnya Keamanan Data Digital

Teguh Aprianto dari TRACE (Tim Reaksi Cepat) mengatakan peretasan yang terjadi pada kru Narasi ini sebetulnya memiliki pola yang sama dengan pembajakan akun-akun yang menerapkan verifikasi pengiriman password melalui SMS untuk masuk ke akun-akun sosial media. Sehingga bisa memungkinkan adanya duplikasi SIM yang menjadikan akun sosmed dikendalikan oleh peretas. 

Para korban yang mengalami hal itu, kemudian juga tak bisa lagi mengendalikan kontak teleponnya. Sehingga, tidak akan bisa menerima telepon ataupun SMS. 

“Untuk teman-teman jurnalis atau lainnya, ini bisa jadi alarm untuk semuanya, kita tidak bisa percaya SMS, SMS itu sangat tidak aman. Sayangnya beberapa aplikasi masih menggunakan SMS. Saat ini kami menyarankan WA itu ada pengaturan enkripsi 2 langkah untuk mencegah (peretas–red) menguasai akun, telegram juga, WA menggunakan PIN, telegram menggunakan password,” kata Teguh. 

Meskipun tidak sepenuhnya bisa mengatasi peretasan yang mungkin terjadi, tapi menurut Teguh, upaya itu setidaknya bisa meminimalisasi upaya peretasan yang terjadi. Sebab akan ada notifikasi dari verifikasi dua langkah yang dibuat. Sejauh ini, upaya itu akan sangat membantu. 

“Untuk teman-teman lain jika mengalami hal yang sama (peretasan–red), silakan kunjungi trace.mu dan lapor.trace.mu nanti ada akses yang bisa dibaca dan ada petunjuk untuk bisa kita dampingi,” pungkasnya.  

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!