Pidato Kebudayaan Agustina Prasetyo Murniati: Herstory, Perempuan Adalah Penjaga Kehidupan

Agustina Prasetyo Murniati adalah aktivis perempuan pendiri Organisasi Solidaritas Perempuan Kinasih di Yogyakarta. Agustina adalah teolog feminis yang memperjuangkan herstory atau sejarah perempuan, karena selama ini history selalu dihiasi sejarah yang meminggirkan perempuan

Pidato kebudayaan ini merupakan pidato yang disampaikan Agustina Prasetyo Murniati atau Nunuk dalam Feminist Stage tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Kinasih pada Rabu, 28 September 2022 di Yogyakarta

“Saya ingin mengajak kita semua menyadari dan merenungkan potensi perempuan dari sisi perannya sebagai pemelihara kehidupan beserta lingkungannya.

Kita seluruh umat manusia, perempuan, laki-laki dan jenis kelamin yang lain, hidup bersama dalam satu rumah, yaitu alam semesta, makro kosmik. Namun sejarah manusia banyak cerita hanya HISTORY, cerita kaum laki-laki. Cerita perempuan HERSTORY, dimasukkan dalam sejarah hanya sebagai tambahan atau pelengkap.

Maka ketika tahun 1988 Rosalind Miles menulis buku Who Cooked the Last Supper. The Women’s History of the World, dan bersamaan dengan waktu itu terbit pula lima seri buku tentang A History of Women, pecahlah kegembiraan dan suka cita kaum perempuan.

Dengan gembira mereka membawa buku-buku itu sambil berkata, “Ini aku, ini ceritaku, ini pengalamanku.”

Perempuan-perempuan lansia seperti saya (80 tahun), memberikan buku-buku tersebut kepada anak perempuan dan cucu perempuannya sambil berkata, ”Buku-buku ini untuk kalian, karena saya sudah lewat.”

Memang sejak dahulu kekuatan perempuan menceritakan pengalaman hidupnya melalui lisan (oral history), belum melalui tulisan. Perempuan menyimpan banyak pengalaman, mempunyai banyak potensi bermuatan akal, kreativitas, imajinasi, inovasi, intuisi, energi dan kekuatan batin. Tetapi konstruksi sosial budaya membentuk perempuan menjadi diam tidak berani berpendapat, takut salah, dan malu bertanya. Tekanan konstruksi sosial budaya yang dikuatkan oleh ajaran budaya dan ajaran agama sudah terjadi berabad-abad, sehingga potensi perempuan semakin tidak disadari.

Alam Semesta Adalah Rumah Kita Bersama

Pada suatu pagi sekelompok perempuan berjalan beriringan. Mereka tampak bersuka cita, berjalan sambil bersenda gurau. Mereka berjalan menuju hutan, melakukan giliran tugas mengumpulkan bahan makanan untuk komunitasnya. Sesampai di hutan mereka berbagi tugas untuk mengumpulkan bahan makanan yang sudah direncanakan bersama. Setelah bakul mereka penuh, mereka kembali ke komunitasnya.

Di tengah jalan keranjang perempuan yang mengumpulkan biji-bijian jatuh, isinya tumpah. Teman-temannya sibuk membantu mengumpulkan kembali dan memasukkan ke dalam bakul. Tetapi karena biji yang tumpah banyak, masih ada sedikit yang tercecer di tanah, dan mereka tinggalkan. Ketika persediaan bahan pangan komunitas sudah habis, tugas mengumpulkan bahan pangan berulang. Seperti biasanya mereka lewat jalan di pinggir hutan, sampailah mereka di tempat dimana temannya menumpahkan biji-bijian.

Salah seorang dari mereka berseru keheranan, “Lihat itu, ada sesuatu yang aneh. Biji yang tumpah waktu lalu, sekarang berubah menjadi tumbuhan kecil-kecil. Mereka hidup diberi makan oleh tanah dan air”.

Teman-temannya lalu berkerumun melihat biji-bijian yang tumpah telah tumbuh menjadi bibit. Mereka heran karena pemandangan itu merupakan pengetahuan baru. Mereka baru tahu jika biji jatuh ke tanah dan kena air, bisa tumbuh. Sepulangnya dari hutan, mereka melanjutkan pembicaraan tentang penemuannya tadi, kemudian mereka merencanakan bersama untuk memilih biji-bijian yang akan ditanam.

Kisah tersebut terjadi di Timur Tengah, di lembah Mesopotamia yang masih hijau dipenuhi hutan dan bertanah subur, sekitar 8000 tahun SM. Sejarah mencatat bahwa kaum perempuan melahirkan pertanian. Kemudian terjadilah transformasi mata pencaharian kaum perempuan dari meramu, mengumpulkan bahan pangan menjadi bercocok tanam.

Pengalaman perempuan bercocok tanam, membuat mereka menjadi pintar dan mahir dalam hal merawat tanah agar tetap subur, memelihara sumber air bersih, membuat pupuk, memilih macam-macam biji yang berguna bagi kesehatan tubuh manusia, dan menentukan pangan yang sehat serta obat pencegah dan penyembuh penyakit. Pada zaman budaya matriarkat, kedaulatan pangan berada di tangan perempuan. Kaum perempuan melihat dan mengalami bahwa kehidupannya bersama anak-anaknya diberi makan dari hasil bumi. Oleh karena itu mereka memandang bumi atau tanah sebagai sang misteri yang memberi kehidupan. The Earth Godess, GAIA, The Great Mother adalah Sang Misteri perspektif perempuan.

Perempuan menganggap relasi dengan alam, khususnya bumi adalah sakral, mereka selalu menandai dengan upacara religi. Upacara religi ini menjadi tradisi budaya pertanian di seluruh dunia. Pengalaman perempuan mengajarkan bahwa kehidupan manusia dengan seluruh isi alam semesta mempunyai relasi saling tergantung, karena saling membutuhkan. Seluruh isi alam semesta adalah satu saudara yang tinggal di satu rumah.

Carolyn Merchant dalam bukunya The Death of Nature menyatakan bahwa memandang masalah ekologi seharusnya secara utuh serta menggunakan pandangan egaliter, dan menghapus pandangan seksis. Pandangan metafor terhadap bumi di satu sisi sebagai ibu yang memelihara dan mengasuh, tetapi di sisi lain bumi juga dipandang buas, liar, bisa menimbulkan badai, angin ribut, banjir, gempa dan kejadian alam lainnya. Dua sisi ini sebenarnya tidak boleh dipandang secara dikotomi, dipertentangkan satu sama lain, karena kehidupan adalah sebuah proses utuh. Tetapi budaya patriarki yang berciri dominasi, berpandangan dikotomis dan seksis, tidak mau diajak kompromi, sehingga muncul ide “alam perlu dikontrol karena buas dan liar”.

Ide berlanjut menjadi konsep manusia harus mengontrol alam semesta dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip feminis berorientasi interkoneksi alam dan manusia berelasi setara, berubah menjadi manusia mengontrol alam, maka terjadilah relasi timpang berbasis kuasa antara manusia dan alam semesta. Ketegangan metafor tentang bumi diungkapkan melalui pandangan filosofi, agama dan literatur, khususnya filsafat Yunani dan agama Kristen. Konsep manusia mengontrol alam bermuatan pragmatis, sekuler, dan komersial, serta mengabaikan adanya misteri alam.

Perbedaan konsep ini juga mengakibatkan terjadinya dua macam komunitas, budaya pertanian membentuk komunitas bersifat organik, komunal, sedangkan budaya peternakan membentuk masyarakat hierarkis, berkelas. Komunitas organik mencontoh kehidupan lebah dan semut yang hidup secara komunal serta membuat pembagian kerja. Komunitas organik mempunyai kelompok petugas yang mengamati situasi alam sehingga selalu siap menghadapi kejadian alam apapun. Perempuan sangat peka terhadap situasi alam, karena pengalaman selalu menyatu dengan alam. Pengetahuan dan keterampilan ini tidak dimiliki oleh laki-laki. Perbedaan pandangan memicu ketegangan terus menerus.

Di Eropa ketegangan memuncak pada abad ke-15 dan ke-16. Ketika terjadi kekacauan kejadian alam, perempuan dituduh sebagai penyebabnya. Tuduhan diarahkan kepada perempuan yang sudah menopause dan janda, karena mereka dianggap sebagai perempuan yang sudah tidak mempunyai gairah cinta erotis. Mereka dituduh sebagai “nenek sihir” yang membuat kekacauan alam semesta. Pada abad ke-16 terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap perempuan-perempuan perkasa ini. Kejadian ini merupakan sejarah kelam bagi perempuan perkasa penjaga alam semesta. Hening sejenak mengenang nenek-nenek kita.

Pahlawan Penjaga Alam Semesta

Daerah pertanian di lereng Gunung Merapi, Desa Jetis Jogopaten Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 1950-an. Pada suatu pagi pukul tujuh, seorang anak perempuan berumur 7 tahun ikut neneknya ke sawah membawa bakul yang berisi sisa makanan semalam. Nenek Sumini melakukan tugas hariannya memetik sayuran dan menggali singkong untuk makan keluarganya. Kali ini ia mengajak cucunya yang tinggal di kota sedang liburan di rumah nenek kakeknya.

Ketika memetik kacang panjang serta daunnya dan menggali singkong serta memetik daun singkong, nenek Sumini mengajak bicara tetumbuhan itu. Si cucu heran, tetapi dia tidak berani bertanya karena neneknya sedang bicara dengan serius. Ia hanya mengamati perilaku neneknya dengan penuh tanda tanya. Setelah nenek memasukkan singkong, kacang panjang dan dedaunan ke dalam bakul, maka dengan suara nyaring nenek memanggil tikus-tikus yang ada di sawah.

“Den bagus tikus, ayo kemari, saya membawakan makanan untuk kalian.”

Si cucu tambah heran melihat perilaku neneknya. Tambah heran dan kagum ketika ia melihat tikus beramai-ramai mendekati neneknya. Neneknya memberikan sisa makanan yang dia bawa dengan penuh kasih kepada para tikus sambil mengajak bicara mereka. Tikus-tikus itu makan makanan yang diberikan nenek, melompat-lompat berebutan tanda sukacita. Nenek juga senang melihat tikus-tikus makan dengan lahapnya. Setelah selesai, nenek tampak puas dan lega, kemudian mengajak cucunya pulang, menyeberangi sungai yang penuh batu besar, lalu menyusuri parit yang airnya jernih, menuju rumah joglo tempat tinggal nenek dan kakek beserta paman dan bibi. Sampai di rumah, sebenarnya sang cucu sudah tidak sabar ingin menanyakan apa yang dia lihat tentang perilaku neneknya ketika disawah, tetapi ia harus bersabar karena harus membantu nenek dan bibi memasak serta menyiapkan makan siang.

Setelah makan siang dan membereskan peralatan makan, ia menggandeng neneknya diajak duduk di kursi bambu di depan rumah. Mereka duduk dengan santai di tempat yang teduh, udaranya sejuk karena di samping rumah penuh pohon bambu. Sang cucu memuntahkan pertanyaan yang sudah dia simpan di kepala dan hatinya. Mengapa nenek bicara dengan pohon kacang panjang dan pohon singkong? Mengapa nenek memberi makan dan bicara dengan tikus? Apa saja yang dilakukan nenek di sawah, di rumah, jika berkumpul dengan perempuan desa setiap Rabu Wage dan Minggu Legi?

Neneknya mendengar pertanyaan memberondong dari cucunya berkata, “Sudah-sudah, dengarkan saya akan mendongeng tentang tugas dan peranan perempuan desa. Dengarkan baik-baik.”

Nenek Sumini mulai bercerita: hidup di dunia ini kita tinggal di satu rumah, yaitu alam semesta. Di rumah ini kita hidup bersama dengan semua makhluk hidup, manusia, binatang, tumbuhan, air, bumi dan bebatuan. Semua yang ada di sekitar kita itu berasal dari Sang Sumber hidup, Sang Misteri yang memberi kita semua kehidupan. Pohon kacang panjang dan pohon singkong serta tikus-tikus di sawah itu juga makhluk hidup, mereka tahu kalau kita ajak bicara walaupun mereka tidak menjawab, karena bahasanya lain dengan bahasa manusia. Tetapi mereka menanggapi omongan kita dengan menambah kesuburan dan akan berbuah banyak.

Tikus-tikus diberi makan dan diajak bicara agar mereka tidak memakan padi kita yang telah mulai berisi. Mereka makhluk hidup juga butuh makan. Demikian pula harimau yang sering masuk ke desa, ketika Gunung Merapi sedang aktif, sehingga lerengnya terasa panas. Maka harimau yang tinggal di hutan lereng Merapi turun ke desa untuk mencari makan. Mereka akan makan ternak peliharaan kita kalau tidak disiapkan makanan khusus untuk mereka. Perempuan di desa-desa lereng Merapi mengetahui kebiasaan ini, mereka menyiapkan makanan untuk harimau di pojok desa.

Kami berkumpul setiap Rabu Wage dan Minggu Legi untuk membicarakan tanaman pangan apa yang akan kami tanam dalam musim-musim tertentu. Pengalaman kami mengurus makanan keluarga, membuat kami menguasai tentang bahan pangan yang dibutuhkan. Setiap Minggu Legi kami bersama-sama membuat pupuk untuk menyuburkan sawah, pupuk dari sampah daun kering dan pupuk tambahan gizi dari abu daun bambu kering yang dibakar dicampur air seni. Perempuan desa melakukan tugasnya dengan gembira dan sukacita karena merasa diakui dan dihargai pengetahuan serta keterampilannya oleh laki-laki. Kaum laki-laki desa mengambil bagian tugas sesuai dengan kemampuan mereka. Dari cerita nenek Sumini, dapat disimpulkan bahwa pandangan saling ketergantungan antara manusia dan alam, serta pembagian kerja sesuai dengan kemampuan dan bukan pembagian kerja seksis, masih ada di Kabupaten Sleman DIY pada tahun 50-an.

Seperti halnya masyarakat Yunani percaya kepada GAIA, dewi bumi, masyarakat Indonesia percaya Ibu Pertiwi sebagai penjaga kehidupan. Kebiasaan perempuan mengelola kehidupan berproses dari kehidupan nyata menuju pada kehidupan spiritual, karena terbiasa menyelenggarakan upacara religi yang bermuatan doa serta relasi personal langsung dengan Sang Misteri, Sang Sumber hidup. Dari kebiasaan tersebut perempuan dalam masyarakat pertanian menemukan pandangan hidup yang dikemas menjadi tiga tatanan hidup.

Pertama, Kehidupan adalah sebuah kesatuan, satu, utuh, holistik. Bersumber dari satu energi, satu kekuatan, tetapi berisi banyak unsur. Kehidupan tidak boleh dipandang secara biner, dikotomi, dua hal yang dipertentangkan.

Kedua, Kehidupan adalah sebuah irama, irama yang selaras dengan proses dalam tubuh manusia seperti aliran darah dalam tubuh, hembusan nafas, dan seirama dengan irama yang ada di alam semesta. Perempuan mengalami irama proses ini dalam siklus haid tiap bulan, dalam situasi hamil selama 9 bulan, melahirkan anak, merawat dan mengasuh anak hingga anak dapat mandiri, semuanya adalah proses yang berirama.

Ketiga, Kehidupan dihadapi dengan syukur, sukacita dan penuh kasih. Bagaikan orang menari langkahnya maju, mundur, samping kanan, samping kiri, berputar, balik kembali. Gerakan tarian ini terus dirangkai mengalir mengikuti dinamika hidup, menuju kepenuhan manusia setiap pribadi menjadi manusia utuh. Menari dilakukan oleh perempuan dari budaya manapun di dunia.

Dengan pandangan hidup tersebut mereka memandang air, tanah, api dan angin, tidak sekadar material yang kasad mata. Air dipandang tidak sekedar H2O sarana pelepas dahaga, tetapi air adalah sumber kehidupan. Tanah dipandang tidak sekadar tempat untuk kaki berpijak, tetapi sebagai ibu yang menyusui, memelihara dan mengasuh anaknya. Angin dipandang bukan sekadar udara yang bergerak, tetapi angin adalah nafas kehidupan. Api dipandang tidak sekadar sarana untuk membakar atau memasak, tetapi api adalah pemberi terang dan semangat.

Memahami realitas hidup perempuan seperti tersebut, kita bisa mempercayai temuan Ronald A.Knox, “Perempuan tidak pernah gagal dalam menemukan cara untuk bertahan hidup dalam masyarakat androsentris. Dengan kekuatan mistiknya mereka sudah banyak belajar bagaimana membuat terobosan untuk menerobos rambu-rambu hierarkis maskulin. Kekuatan mistiknya merupakan relasi personal langsung dengan Sang Misteri.”

Intuisi perempuan sangat kuat sebagai sumber kekuatan spiritual mereka yaitu relasi personal langsung dengan Sang Misteri. Situasi kehidupan seperti ini hal biasa terjadi di Indonesia sebagai negara agraris, bahkan juga terjadi di negara-negara agraris lainnya di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun sayangnya berangsur hilang akibat penjajahan, kolonialisme, imperialisme dan modernisasi yang bercirikan perkembangan Iptek.”

(Artikel ini merupakan nukilan dari pidato kebudayaan yang disampaikan Agustina Prasetyo Murniati atau Nunuk dalam Feminist Stage tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Kinasih pada Rabu, 28 September 2022 di Yogyakarta)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!