Aktivis: Dear Pemerintah, Perjuangkan Anti Diskriminasi Pada Disabilitas dan LGBT di Sidang HAM Jenewa

Para aktivis menyatakan bahwa Pemerintah harus bisa memperjuangkan rekomendasi anti diskriminasi terhadap kelompok rentan, seperti disabilitas, LGBT, hingga Orang dengan HIV AIDS yang selama ini masih banyak mengalami diskriminasi dalam sidang HAM di Jenewa.

Pemerintah Indonesia bakal mengirimkan laporan Hak Asasi Manusia (HAM) pada sidang HAM di Jenewa, Prancis,  yang akan dihadiri oleh negara-negara anggota Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) pada 9 November 2022 mendatang. 

Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi pun kembali menyelenggarakan pertemuan nasional untuk menyambut pelaksanaan proses Universal Periodic Review (UPR) tersebut. 

UPR merupakan salah satu mekanisme Internasional untuk meninjau pemerintah Indonesia kaitannya dengan situasi HAM yang ada di suatu negara oleh para anggota PBB. 

Berkenaan itu, Perwakilan dari Crisis Response Mechanism (CRM) Riska Carolina mengatakan, persiapan pemerintah sidang di Jenewa haruslah matang. Pemerintah harus bisa memperjuangkan rekomendasi-rekomendasi anti diskriminasi terhadap para kelompok rentan secara menyeluruh. Seperti kelompok disabilitas, LGBT, hingga Orang dengan HIV Aids yang selama ini masih banyak mengalami diskriminasi. 

”Jika nanti sudah sidang di Jenewa, dan ada country report-nya, harapannya rekomendasi kami terutama mengenai legislasi anti-diskriminasi komprehensif bisa terwujud,” ujar Riska yang dihubungi Konde.co pada Jumat, 23 September 2022.

Selama ini, Riska mengungkap pihaknya menghadapi tantangan ketika memberi rekomendasi ke Pemerintah yang masih kerap tertunda dan relatif belum komprehensif terkait isu LGBT. 

“Jikapun masih di-pending jawaban dari pemerintah Indonesia, kami sebagai koalisi akan kembali mengadvokasinya ke pemerintah untuk menerima rekomendasi kami yang kami telah titipkan pada negara-negara PBB, kami hanya menerima executive review saja, isinya itupun tak banyak yang bisa diulas lebih jauh,” ungkapnya.

Meski begitu, Riska mendorong agar rekomendasi-rekomendasi yang telah pihaknya kirim bisa mendapatkan feedback dan diperjuangkan dalam pertemuan itu. Pemerintah harus mengirimkan laporannya.

”Cepat atau lambat pemerintah Indonesia akan mengirimkan laporan sebelum 9 November nanti,” katanya.

Usai sidang, Riska melanjutkan, pihaknya berencana untuk melakukan briefing ulang bersama koalisi. Mereka akan melihat lebih jauh rekomendasi yang diterima oleh pemerintah Indonesia.

”Kami ingin melihat sejauh mana rekomendasi kami berkontribusi pada advokasi anti diskriminasi,” ujar dia.

Riska membeberkan pihaknya melaksanakan pertemuan tiga hari untuk memobilisasi dukungan advokasi UPR pada level nasional.

”Ada dua laporan yang sudah dikembangkan oleh koalisi pada 2-4 Maret 2022 dan telah dikirimkan The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR),” katanya.

Hartini mewakili Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) menambahkan, pertemuan koalisi yang diselenggarakan pada Maret lalu itu berfokus memobilisasi dukungan multi stakeholder. Mengingat sidang di Jenewa itu akan menjadi momen penting pertemuan berbagai organisasi kelompok rentan. 

Sidang kali ini merupakan sidang putaran ke-4 sejak UPR dibentuk pada 2008. Sebanyak 45 organisasi kelompok rentan dari berbagai isu seperti Orang Dengan HIV, Disabilitas, Pekerja Seks, Buruh, Perempuan, Korban NAPZA, Minoritas Agama/Keyakinan, Masyarakat Adat, Orang Muda, dan Minoritas Seksual dan Gender (LGBTIQ+) tergabung dalam Koalisi serta terlibat dalam pertemuan ini. 

“Untuk memperkuat rekomendasi UPR yang telah kami submit, serta merespon laporan UPR Pemerintah Indonesia,” kata Hartini.

Hartini mengungkap laporan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada tahun 2016-2019, ditemukan setidaknya 644 individu mengalami diskriminasi karena status HIV-nya. Maka dari itu, pihaknya menilai ini momentum penting bagi pemerintah untuk memperkuat komitmennya dalam upaya perlindungan yang komprehensif bagi kelompok rentan dari diskriminasi. 

Studi CRM 1 dan PSHK 2 menemukan setidaknya ada 63 kebijakan yang memuat diksi diskriminasi, namun belum secara eksplisit melindungi beberapa kelompok rentan. 

“Ini menjadi salah satu faktor utama tingginya kasus diskriminasi terhadap kelompok rentan tersebut,” katanya.

Terlebih lagi, dia menekankan, kelompok pengguna NAPZA harus menghadapi kebijakan narkotika 1 CRM adalah Konsorsium yang fokus untuk mobilisasi dukungan untuk pencegahan dan penanganan krisis terhadap kelompok minoritas seksual di Indonesia. 

Kustantonio mewakili Rumah Cemara juga mengungkap bahwa hukum dan kebijakan RI menyoal itu juga begitu merugikan bagi kelompok minoritas tersebut (punitive). Ini terlihat dari hukuman pemenjaraan yang panjang dan hukuman mati.

Rosid dari Deaf Queer Community mengatakan bahwa kaitannya dengan isu disabilitas, berbagai regulasi yang ada di Indonesia juga belum sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai CRPD (Convention of the Rights of Person with Disabilities) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

“Ini menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok disabilitas masih tinggi,” sambungnya. 

Sementara itu, Rafael Da Costa dari GAYa NUSANTARA menambahkan bahwa kelompok minoritas seksual dan gender atau LGBTIQ+ masih begitu rentan diskriminasi di Indonesia ini. 

“Ditemukan sebanyak 973 individu LGBTIQ+ mengalami diskriminasi (data LBHM 2018) juga sebanyak 143 kasus kekerasan telah terjadi hanya dalam rentan 2021 hingga Agustus 2022 (Data CRM),” kata dia. 

Tak hanya itu, perempuan dan masyarakat adat juga rentan mengalami kasus perampasan tanah. 

“Berdasarkan laporan CNBN Indonesia, sepanjang 2022 kurang lebih 8.000 kasus perampasan tanah yang berdampak signifikan bagi perempuan dan masyarakat adat,” Kata Perwakilan dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta Sana Ullaili.

Rekomendasi UPR: Aturan Anti Diskriminasi Harus Komprehensif

Rekomendasi Utama Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi pada laporan UPR untuk sidang HAM ini adalah mendorong pemerintah Indonesia menyusun legislasi nasional anti diskriminasi secara komprehensif. 

Aturan itu harus secara jelas memuat perlindungan hukum, pemenuhan kebutuhan khusus, pemulihan, dan promosi setiap kelompok rentan, khususnya kelompok rentan yang belum tertuang dalam berbagai payung hukum terkait Hak Asasi Manusia dan Anti Diskriminasi. 

Dalam rekomendasi itu, Koalisi berharap agar negara-negara anggota PBB itu bisa mendesak pemerintah RI dalam sidang UPR 9 pada 9 November 2022 nanti agar menerapkan aturan anti diskriminasi kelompok rentan secara menyeluruh. Ini menjadi penting karena selama ini ada masalah kekosongan hukum yang menjamin perlindungan kelompok rentan yang terjadi di Indonesia. 

“Kami juga mendorong adanya rekomendasi terkait: Penghapusan segala kebijakan diskriminatif bagi kelompok rentan, Pendidikan komprehensif Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, Garansi atas keberlanjutan akses ARV yang inklusif bagi Orang Dengan HIV, meratifikasi dan mengadopsi konvensi ILO No.190 dan rekomendasi No.206 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, yang juga mengatur diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender di tempat kerja,” Ucap Perwakilan dari Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti Diskriminasi yang mewakili Perempuan Mahardhika Jihan Faatihah.

Dalam memperkuat rekomendasi ini, Koalisi kemudian membacakan Deklarasi Kelompok Rentan yang telah diproduksi pada Desember 2021 di Yogyakarta yang secara spesifik mendesak pemerintah untuk menyusun legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif di Indonesia. Koalisi ini terbentuk pertemuan nasional pertama kelompok rentan pada Desember 2021 di Yogyakarta. 

Koalisi yang diinisiasi oleh Crisis Response Mechanism (CRM) ini hasil kolaborasi bersama dengan 45 organisasi yang memperjuangkan kelompok rentan antaralain Arus Pelangi, Sanggar Swara, Gaya Warna Lentera (GWL-INA), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Tarena Aceh, Cangkang Queer-Medan, Srikandi Pasundan, Komunitas Sehati Makassar, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Jaringan Transgender Indonesia, Transmen Indonesia, GAYa NUSANTARA, Kebaya Yogyakarta, Yayasan Akbar-Sumatera Barat, Kolektif Interseks, Jaringan Indonesia Positif (JIP), Yayasan Kesehatan Perempuan, Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), dan Rumah Cemara, dll

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!