bell hooks ‘All About Love’: Kalau Dia Mencintaimu, Dia Tidak Akan Menyakitimu

bell hooks menuliskan gagasannya dalam buku berjudul "All About Love: New Visions”. Buku ini berisi tulisan biar kamu gak salah langkah dalam berelasi, karena relasi berlandaskan cinta semestinya tidak akan menyakitimu

Seorang perempuan, pemikir, penulis, dan aktivis feminis kulit hitam, bell hooks, pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa mengklaim mencintai seseorang ketika kita kasar dan menyakitinya. 

bell hooks bilang: cinta tidak semestinya menyakitimu. 

Kamu mungkin perlu berkorban untuk cinta, tapi cinta tidak semestinya membuat badanmu bonyok. Cinta seharusnya justru mendorongmu bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik bagi dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu. 

Bagaimana kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dan mendorong pasangan kita menjadi manusia yang lebih baik juga, jika kita justru sedang sibuk mengobati luka diri, bukan? 

hooks (yang lebih senang namanya ditulis dengan huruf kecil) menuliskan gagasannya dalam sebuah buku berjudul All About Love: New Visions. 

Dalam bagian pembuka, ia sempat mengkritisi bagaimana, pemikir tentang cinta kebanyakan adalah laki-laki. Mereka membuat berbagai karya seperti buku, puisi, lagu, dan film tentang cinta. Sementara perempuan dianggap sebagai “praktisi” cinta, pihak yang menyediakan cinta bagi laki-laki.

hooks menyebut, untuk betul-betul mencintai—baik mencintai anggota keluarga, sahabat, teman, dan pasangan romantis, kita perlu belajar mencampur berbagai “bahan”; memedulikan, mengasihi, mengakui, menghargai, berkomitmen, mempercayai, jujur, dan menerapkan komunikasi yang terbuka.

Khusus dengan pasangan romantis, menurutnya, kita tidak sekadar jatuh cinta, tapi memilih untuk mencintai mereka dan mesti bertanggung jawab terhadap pilihan kita. Karena itu, bagi hooks, perselingkuhan tidak bisa dibenarkan. Selain cenderung melibatkan kebohongan, perselingkuhan juga telah menghilangkan salah satu bahan yang diperlukan dari mencintai: komitmen.

Menurut hooks, cinta sejati adalah proses berkelanjutan dimana kita bersama-sama berkehendak untuk bertumbuh–untuk menjadi manusia yang lebih baik. Hanya saja, untuk mencintai orang lain, kita perlu terlebih dahulu mencintai diri sendiri agar kita memiliki cukup kepercayaan diri. Cinta kepada diri sendiri bisa dilakukan dengan menyadari dampak setiap perilaku kita terhadap sekitar, menerima diri, bertanggung jawab, dan hidup dengan tujuan dan integritas.

Ia juga menyoroti tentang kejujuran di dalam hubungan. Kadang-kadang, baik perempuan maupun laki-laki berbohong untuk dicintai. Menurut hooks, kita memang perlu menjadi orang yang lebih baik, tetapi tidak perlu berbohong. Misalnya, kita tidak suka mengenakan hijab, tapi pasangan kita ingin agar kita berhijab. Ada baiknya, kita memutuskan untuk berhijab ketika kita sendiri yang memang ingin berhijab, dan bukan karena kita ingin dicintai oleh pasangan kita.

Dalam hubungan, kita membutuhkan privasi–waktu untuk diri sendiri–tetapi bukan “secrecy” atau rahasia. Kita tidak semestinya menyimpan rahasia yang tidak diketahui orang-orang yang kita cintai. Karena pasti rasanya tak nyaman menyembunyikan sesuatu dari orang yang kita harap terus ada dalam hidup kita.

Dalam buku ini, hooks menganjurkan agar kita memiliki hubungan yang sehat, tidak hanya dengan kekasih, tetapi juga dengan keluarga dan teman. Menurutnya, satu hubungan tidaklah lebih tinggi dari hubungan yang lain. 

hooks juga mengatakan kita tidak bisa mengeklaim bahwa kita mencintai anak kita, tetapi pada saat yang sama kita melukai mereka. Anak-anak juga memiliki hak untuk merasa aman, dicintai, dan dihormati. Mereka bukan sekadar properti kita. Barangkali, hooks menulis ini dengan harapan agar orang-orang yang merupakan penyintas KDRT tidak mewariskan luka yang sama kepada anak-anaknya kelak.

hooks berpendapat bahwa kita perlu memiliki porsi yang sama besar, baik ketika mencintai ataupun dicintai. Ia mengkritik bagaimana feminisme di Amerika Serikat memberikan dampak bagai dua mata uang. Di satu sisi, laki-laki menyadari bahwa mereka tidak perlu menjadi laki-laki “macho” atau maskulin, tapi di sisi lain  mereka menjadi laki-laki yang selalu ingin dilayani oleh kekasih perempuan mereka.

Hal ini biasanya terjadi di tengah hubungan dengan kekuasaan yang tidak seimbang. Salah satu pihak terus menerus memberi, sementara pihak yang lain terus menerus menerima (atau bahkan meminta lebih) dengan cara menjaga kekuasaannya di hubungan tersebut. 

Karena itu, menurut hooks, penting bagi kita untuk terus mempertanyakan relasi kuasa dalam sebuah hubungan. Selama salah satu pihak lebih berkuasa dari pihak yang lain, hubungan yang sehat tidak akan terjalin. Begitu pula, ketika orang tua merasa lebih berkuasa terhadap anak-anaknya.

Spiritualitas dan Hidup dengan Etika Cinta

Pada satu bagian dalam buku ini, hooks mengkritisi bagaimana praktik-praktik agama yang pada dasarnya mengajarkan tentang cinta kasih tapi terkorupsi oleh nafsu manusia yang berlebihan terhadap harta benda. 

Ia juga mengkritisi bagaimana umat beragama berfokus hanya pada kesejahteraan diri sendiri, dan bukan kesejahteraan komunitas atau kolektif. Pun demikian, hooks tetap menyarankan agar kita menerapkan praktik spiritual yang tidak terbatas pada agama–yang meningkatkan kualitas hidup kita. 

Kita juga perlu mengingat bahwa, meskipun terdapat banyak jalan menuju kebenaran, manusia bisa menjadi satu dalam komunitas di bawah cinta kasih.

Menurutnya, kita perlu juga terlibat dalam sebuah komunitas dimana kita bisa mencintai dan dicintai. Komunitas terutama akan membantu orang-orang yang tumbuh di tengah keluarga yang beracun. Dengan komunitas, kita bisa membangun  keluarga yang tidak harus diisi orang-orang yang sedarah dengan kita, tapi bisa juga oleh rekan-rekan seperjuangan, misalnya rekan di sekolah, di kampus, rekan satu organisasi, ataupun tetangga.

Anjuran hooks terhadap kehidupan berkomunitas ini agaknya ditujukan pada masyarakat Amerika Serikat yang semakin individualis dan mementingkan diri sendiri. Mereka takut terhadap kehidupan berkelompok karena mereka khawatir harta mereka akan berkurang ketika mereka berbagi dengan orang lain. 

Menurut hooks, mereka juga “dicuci otaknya” untuk mempercayai bahwa mereka hanya akan aman secara finansial ketika memiliki harta lebih banyak dari orang lain. Mereka pun mengakumulasi kekayaan dan masih merasa khawatir akan kekurangan karena selalu ada orang lain yang mengumpulkan harta lebih banyak lagi. Hal ini terjadi lantaran dorongan materialisme yang membuat orang-orang menginginkan segala sesuatu secara instan.

hooks juga menekankan pentingnya hidup sederhana untuk menghindar dari keserakahan. Menurutnya, rasa serakah–selalu menginginkan lebih–hanya dapat terpenuhi ketika kita mendominasi orang lain, misalnya dengan menjadi pemimpin yang eksploitatif dan mengambil lebih banyak dari yang seharusnya. 

Dunia dengan dominasi satu manusia terhadap manusia lain,  menurut hooks, adalah dunia tanpa cinta.

(Sumber foto: bell hooks books)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!