Annie Ernaux Menangkan Nobel Sastra 2022: Pejuang Sastra di Tengah Borjuis Patriarkis

Seorang perempuan sastrawan, Annie Ernaux memenangkan Nobel Sastra 2022. Ernaux memotret bagaimana situasi perempuan yang kurang dianggap, salah satunya di sastra. Dominasi laki-laki masih begitu kental. Ia adalah perempuan korban kekerasan seksual yang berjuang di tengah borjuis patriarkis.

Annie Ernaux, sedang mendengarkan radio sendirian di dapurnya saat dia diumumkan jadi pemenang nobel sastra 2022. Dia benar-benar tak menyangka. 

“Rasanya, seperti di padang pasir dan ada panggilan yang datang dari langit. Itu semacam perasaan yang saya miliki,” ujar Ernaux dalam wawancara telepon dengan Claire Paetkau dari Nobel Prize Outreach, pada 6 Oktober 2022. 

Memenangkan penghargaan bergengsi di sepanjang kariernya ini, Ernaux merasa punya tanggung jawab yang besar. Di saat bersamaan adalah juga sebuah kehormatan. 

“Karena kehormatan ini, saya memiliki lebih banyak tanggung jawab,” kata dia. 

Di momen itu, Ernaux juga berpesan kepada kaum muda. Supaya mereka terus banyak membaca. Terkadang anak muda akan banyak beralasan ‘Oh tidak, aku tidak membaca, tapi menulis!” 

Bagi Ernaux hal itu mustahil: tak mungkin ada tulisan yang baik tanpa membaca. 

Namun begitu, satu hal yang baginya harus terus diingat, “Jangan berusaha keras untuk menulis dengan baik, melainkan untuk menulis dengan jujur. Ini bukan hal yang sama,” pesan Ernaux. 

Begitulah sosok yang tergambar sekilas tentang Annie Ernaux, penulis perempuan asal Prancis yang kini telah menghasilkan lebih dari 20 karya. Selama 82 tahun usianya, dia menekuni karier kepenulisan bermodalkan kejujuran dari refleksi menyelami diri dan apa yang ada di sekitarnya termasuk keluarga. 

Berbagai karya buku Ernaux lekat dengan isu gender dan kesadaran kelas. Dia bisa merefleksikannya dengan keberanian dan ketajaman kritis. Karyanya sederhana tapi begitu mengena, dan bisa menjangkau semua orang. 

“Dia mengungkapkan akar, kerenggangan, dan pengekangan kolektif dari memori pribadi,” tulis Nobel Prize di website resminya.

Swedish Academy menyebut, Ernaux dalam tulisannya secara konsisten bisa memandang dari sudut yang berbeda. Dia meneliti kehidupan dengan keragaman yang kuat mengenai jenis kelamin, bahasa dan kelas. 

Sebagian besar tulisan Ernaux berfokus pada karya otobiografi. Buku pertamanya yang diterbitkan berjudul Les Amoires Vides atau versi bahasa inggrisnya Cleaned Out. Sementara buku terbarunya ‘Getting Lost’ merupakan serangkaian catatan buku hariannya dalam kurun waktu 1988 hingga 1990 yang menceritakan rincian mendalam terkait pengalaman percintaannya. 

Perjuangan Di Tengah Borjuis Patriarkis

Di tengah masyarakat Prancis, Ernaux memotret bagaimana situasi perempuan yang kurang dianggap. Termasuk di bidang sastra. Dominasi laki-laki masih begitu kental. Banyak dari para sastrawan, kritikus, juri hingga penerbit mayoritasnya adalah laki-laki. 

Dominasi maskulin nan patriarkis itu begitu tampak pada saat karya pertama Ernaux, Les Amoires Lost, pernah dinobatkan menjadi salah satu nominasi Goncourt —- penghargaan sastra paling bergengsi di Prancis. Namun, Ernaux gagal meraih kemenangan. Ketika itulah, Ernaux mendapatkan perundungan dan banjir serangan dari mereka. 

Dalam realitas kehidupan, Ernaux pun mengalami bagaimana dimarginalkan. Dia kecil lahir dari keluarga kelas pekerja di pedesaan Normandia. Keluarganya kemudian pindah ke suatu kota kecil dengan menjajakan toko kelontong dan kafe. Kegemaran membaca Ernaux diturunkan dari ibunya yang seorang pembaca kuat, meskipun Ia hanya lulusan sekolah rendah. 

Tapi dengan segenap usaha dan tabungan yang ibunya sisihkan, Ernaux akhirnya bisa mengenyam pendidikan yang layak. Hingga Ia bisa mengambil jurusan kuliah yang di kemudian hari mengantarkannya sebagai penulis perempuan yang ulung. 

Tapi perjalanan Ernaux, tak mulus begitu saja. Pada sekitar tahun 1960-an, Ernaux mengalami kekerasan seksual di perkemahan musim panas dan tidak ada alat kontrasepsi di Prancis kala itu. 

Ernaux akhirnya melakukan aborsi. Namun, aborsi saat itu dilarang. Kecuali bagi kaum borjuis yang bisa saja membayar dokter mahal untuk melakukan aborsi. Berbeda dengan kelas pekerja seperti perempuan-perempuan dari tempat Ernaux berasal. Mereka dilarang melakukan aborsi. 

Ernaux terus saja disudutkan, dihina, dan dikucilkan. 

Meski begitu, situasi itu tak menjadikan Ernaux menyerah. Dia justru semakin tertantang untuk melatih kemampuannya menerjemahkan kompleksitas dirinya tanpa pengekangan dan isolasi. 

Karya-karya Ernaux memotret dengan lugas soal kesadarannya atas berbagai persoalan yang dialaminya sebagai perempuan. Yang selama ini banyak dikungkung ketidakadilan. Dia mempraktikkan kesadaran atas sejarah dirinya, keluarga dan strata kelas yang juga jadi pemicu ketidakadilan sosial. 

Kesadaran itulah  yang perempuan kelahiran 1940 ini dapatkan dari proses perenungannya. Pengalaman dari dia yang pernah mengalami penghinaan, dijauhi, dikucilkan, jadi korban kekerasan seksual, aborsi, tidak menstruasi selama dua tahun, anoreksia, ibunya yang alzheimer, hingga mesti menghadapi kematian ayahnya. 

Seorang penyair, penulis dan editor Yale Review, Meghan O’Rourke, mengatakan Ernaux bahkan juga menuliskan perasaan dan emosi yang menyelimuti perjalanan hidupnya itu. Seperti rasa malu hingga keterasingan dari asal-usulnya, kelas bawah. Setiap tulisannya itu seperti antusiasme sekaligus rasa sakit yang dalam. 

Salah satu bukunya yang membahas elemen etnografi keluarga yaitu La Place (1984). Dia juga menuliskan buku tentang sosok ayahnya dalam Man’s Place yang adalah seorang pekerja dari pendidikan rendah. Sementara buku ‘A Woman’s Story’ menggambarkan sosok ibunya yang seolah tau semua tips rumah tangga yang dengan itu juga berguna mengurangi beban himpitan kemiskinan. 

Di buku itu juga, Ernaux menceritakan kematian ibunya akibat Alzheimer. Dia bercerita dengan latar kehidupan di awal tahun 1920-an. Bagaimana hubungan ibu dan anak itu dibangun. Ibunya yang menginginkan Ernaux bisa jadi lebih baik, sambil sesekali bisa begitu tampak membencinya. Ibunya bisa saja memanggil Ernaux dengan ‘binatang buas’ hingga ‘pelacur’.

“Peristiwa sentral dalam hidupnya adalah titik awal untuk meditasi pada apa yang sulit dipahami,” ujar Meghan dilansir Washington Post pada 7 Oktober 2022. 

Meghan menambahkan, setiap kalimat buku Ernaux ada intensitas tujuan dan urgensinya. Mengapa dia harus terus menulis. Sebab menulis baginya adalah suatu bentuk eksplorasi diri. Menulis adalah filosofi hidup, doa dan kebutuhan untuk bertindak. 

“Menulis berfungsi sebagai semacam moralitas bagi saya,” ujar Meghan mengutip tulisan Ernaux dalam Getting Lost.

(Foto: Identity News Room)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!