Benarkah Gerakan Body Positivity Berisiko Menjadi Toksik?

Pola pikir body positivity mulai menuai kekhawatiran. Banyak pihak menganggap gerakan ini bersifat eksklusif, dan membawa lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat.

“Kamulah yang mendefinisikan kecantikanmu sendiri. Kamu lebih dari sekadar angka dalam skala. Cintai dirimu apa adanya.”

Pesan positif terhadap tubuh (body positivity) seperti ini dapat ditemukan di mana-mana, mulai dari media sosial hingga iklan televisi. Namun, walaupun beberapa orang menganggap gerakan body positivity dapat membangkitkan semangat dan membantu mereka, banyak juga yang mulai menilai gerakan ini “toxic” (beracun), dan mengatakan sudah waktunya untuk beralih dari pola pikir semacam ini.

Konsep body positivity atau pandangan positif terhadap tubuh berawal dari fat activism (gerakan menerima berbagai jenis bentuk tubuh, termasuk tubuh plus size) yang cenderung radikal. Bersamaan dengan gerakan-gerakan perempuan etnis minoritas lainnya, kelompok fat activism yang mulai muncul pada akhir 1960-an ini memprotes bias struktural dan diskriminasi, terutama dari industri mode dan kecantikan yang mengambil keuntungan dari membuat masyarakat merasa fisiknya tidak cukup baik.

Seiring waktu, konsep ini berkembang menjadi gerakan kepositifan tubuh seperti yang kita kenal sekarang. Awalnya, gerakan ini didorong oleh akun-akun media sosial populer yang menentang standar penampilan masyarakat yang didefinisikan secara sempit.

Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa gerakan tersebut bergeser dari akar radikalnya ketika menjadi arus utama. Ini sebagian besar diakibatkan oleh adanya kampanye-kampanye merek korporasi, seperti kampanye Real Beauty dari Dove dan komitmen majalah-majalah fesyen untuk menampilkan bentuk dan ukuran tubuh yang lebih beragam.

Tujuan kampanye body positivity yang ditujukan untuk mengajak publik menerima dan mengapresiasi keragaman bentuk dan ukuran tubuh membuat gerakan ini memiliki daya tarik yang begitu luas.

Memang, pesan positif seperti ini terbukti dapat berdampak positif. Studi menunjukkan bahwa perempuan yang secara aktif mengakses media sosial dan konten kepositifan tubuh memiliki suasana hati yang lebih baik, serta kepuasan pada tubuh dan kesejahteraan emosional yang lebih besar.

Lama kelamaan menjadi beracun

Meski demikian, terlepas dari efek positifnya pola pikir body positivity ini mulai menuai kekhawatiran. Banyak pihak menganggap gerakan ini bersifat eksklusif, dan mungkin sebenarnya membawa lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat.

Penyanyi asal Amerika Serikat (AS), Lizzo, mengatakan bahwa gerakan body positivity telah “diterima oleh semua tubuh” dan telah menjadi gerakan yang juga merayakan “perempuan-perempuan dengan ukuran tubuh sedang dan kecil, serta mereka yang memiliki lipatan pada tubuhnya.”

Beberapa pihak merasa gerakan body positivity ini justru terus mengesampingkan tubuh orang-orang yang termarginalisasi. Ini karena akun-akun dan unggahan kepositifan tubuh yang paling berpengaruh biasanya menunjukkan perempuan kulit putih dengan penampilan menarik secara konvensional.

Sebuah analisis terhadap sekitar 250 unggahan tentang body positivity di Instagram menemukan bahwa 67% dari unggahan tersebut menampilkan perempuan kulit putih, dengan representasi laki-laki dan perempuan etnis minoritas yang sangat minim.

Banyak juga yang mengatakan bahwa penekanan pada mencintai penampilan sebenarnya memperkuat fokus masyarakat hanya pada penampilan semata. Sebuah studi menemukan bahwa ketika perempuan menonton program televisi tentang gaya hidup yang bertujuan untuk mempromosikan kepositifan tubuh, mereka justru semakin merasa cemas dan tidak puas dengan tubuh mereka dibandingkan ketika mereka menonton program tentang model fesyen.

Konten kepositifan tubuh seperti itu dapat berdampak negatif pada penonton karena tidak berkontribusi signifikan dalam menantang gagasan bahwa orang-orang dinilai berdasarkan penampilan mereka. Terlepas dari efek positifnya, gerakan ini tetap mendorong masyarakat untuk mengatur tubuh untuk mengikuti praktik kecantikan. Jika kamu gagal membentuk tubuh yang positif, atau gagal memiliki pola pikir yang positif terhadap tubuhmu, maka kamulah yang salah.

Sekelompok model perempuan yang mengenakan korset berpose dengan memegang tanda dengan pesan positif tentang tubuh
.
Beberapa orang merasa pesan positif tubuh sebenarnya dapat memiliki efek yang bertentangan dengan tujuannya. Roman Chazov/ Shutterstock

Ada juga komentar yang mengatakan bahwa adanya keterlibatan perusahaan dan “aktivisme performatif” (melakukan sesuatu hanya karena tampilannya daripada pencapaiannya) pada gerakan body positivity merupakan sebuah masalah.

Penulis Amanda Mull dalam artikelnya, Body Positivity is a Scam, berpendapat bahwa gerakan kepositifan tubuh telah mengabaikan alasan struktural yang menjadi akar penyebab adanya citra tubuh negatif, seperti ketidaksetaraan gender dan sistem penindasan. Alih-alih, pesan gerakan kepositifan tubuh saat ini berfokus pada individu dan kemampuan mereka untuk merasa bahagia dengan tubuh mereka.

Inilah mengapa banyak orang yang merasa gerakan ini justru melahirkan bentuk toxic positivity, yaitu harapan bahwa setiap orang harus memiliki pemikiran positif terlepas dari keadaan yang dialami, dan bahwa kita harus memendam emosi negatif kita.

Gerakan ini semakin didominasi oleh penekanan bahwa semua orang harus menunjukkan kepercayaan diri dan penerimaan terhadap tubuh mereka. Akibatnya, mereka yang tidak dapat mencapai kepercayaan diri akan merasa gagal.

Ada beberapa bukti terbaru yang mendukung gagasan ini. Suatu kelompok peneliti memperlihatkan jenis kepositifan tubuh yang beracun dengan menggunakan berbagai gambar kepada beberapa perempuan. Salah satu gambar memiliki pesan bahwa, “Kamu HARUS menerima tubuhmu atau kamu tidak akan pernah bahagia.”

Dalam serangkaian eksperimen, perempuan-perempuan yang melihat pesan-pesan tersebut tidak merasakan efek positif pada citra tubuh mereka. Sebaliknya, citra tubuh para peserta eksperimen meningkat hanya ketika mereka mengetahui bahwa orang-orang terdekatnya (seperti teman atau keluarga) menghargai mereka apa adanya – bukan karena penampilan mereka.

Netralitas tubuh

Saat ini, banyak orang beralih dari gerakan body positivity dan tekanan yang dihasilkan gerakan tersebut. Mereka mulai mendukung gerakan netralitas tubuh. Tidak seperti kepositifan tubuh yang berfokus pada penampilan fisik, netralitas tubuh merupakan gagasan bahwa kita dapat tetap melangsungkan hidup tanpa perlu terlalu memikirkan tubuh kita.

Tubuh bukanlah satu-satunya hal yang mendefinisikan kita. Kita merupakan makhluk yang kompleks dengan berbagai emosi dan perasaan tentang tubuh kita.

Karena netralitas tubuh mengurangi fokus pada penampilan, gerakan ini memungkinkan kita untuk lebih menghargai semua hal yang dapat dilakukan tubuh kita. Netralitas tubuh dapat ditunjukkan dengan bersyukur karena dapat melakukan hobi atau menghargai tubuh atas kemampuannya untuk melakukan berbagai aktivitas.

Ada bukti yang menunjukkan bahwa netralitas tubuh dapat bermanfaat bagi kita. Di berbagai budaya dan kelompok demografis, netralitas tubuh dikaitkan dengan citra tubuh dan kesejahteraan mental yang lebih positif. Kabar baiknya, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan netralitas tubuh, termasuk terapi berbasis menulis, yoga, dan menghabiskan waktu di alam.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Viren Swami

Professor of Social Psychology, Anglia Ruskin University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!