Film ‘Parasite’ sampai ‘Anna’: Di Korea, Stres Akademik Sebabkan Bunuh Diri

Dua film berjudul "parasite" dan "Anna" menggambarkan obsesi Korea Selatan terhadap pendidikan tinggi dan stres akademik yang menghantui para siswa

Setelah kepergok berhubungan asmara dengan guru seni di SMA-nya, Lee Yumi, seorang pelajar yang berprestasi terpaksa pindah sekolah meski ujian masuk universitas tinggal empat bulan lagi. Dalam keputusasaan, nilainya memburuk hingga gagal di ujian tersebut.

Karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya, Yumi berbohong.

Tak hanya mengaku diterima di universitas impiannya, ia pun menghilang selama beberapa tahun untuk kembali dengan identitas baru – Lee Anna, lulusan Yale University di Amerika Serikat (AS). https://www.youtube.com/embed/jJKJVn2RR_U?wmode=transparent&start=0

Berbekal resume dan rekomendasi palsu, Yumi menaiki tangga sosial, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen seni di universitas terkemuka, hingga dipersunting pengusaha kaya.

Semua berawal dari tipu-tipu latar belakang pendidikan.

Kisah ini adalah sebuah cuplikan drama Korea berjudul Anna’ (2022) yang diperankan aktris Korea Selatan ternama, Bae Suzy.

Kisah Yumi pun mengingatkan kita pada Kim Ki Jung dalam film Korea pemenang Oscar, yakni Parasite’ (2019). Berbekal ijazah palsu dari Yonsei Unversity dan rekomendasi saudaranya, Ki Jung mendapatkan pekerjaan sebagai guru privat seni di keluarga elit.

Senada dengan banyak drakor lain yang mengangkat sistem pendidikan, cerita Yumi maupun Ki Jung menggambarkan upaya pencarian celah di tengah obsesi Korea Selatan terhadap pendidikan tinggi – beserta stres akademik yang senantiasa menghantui banyak murid di negara tersebut.

Drama Korea dan sistem pendidikan

Selain Anna (2022), ada banyak drakor yang mengangkat sengitnya pendidikan di Korea Selatan. Sebut saja Master of Study’ (2018), Sky Castle’ (2018), Penthouse’ (2020), dan Green Mother’s Club’ (2022) .

Dalam drama tersebut, penonton bisa melihat upaya kolektif dari orangtua, anak, dan sekolah demi memastikan sang anak masuk ke universitas ternama. Ini termasuk mendaftar ke bimbingan belajar (bimbel), merekrut tutor privat, membocorkan soal ujian, hingga mencari jatah kursi melalui orang dalam.

Bahkan, pada hari ujian, biasanya kesunyian menyelimuti Korea layaknya perayaan Nyepi di Bali. Pemerintah seringkali sampai menghentikan penerbangan.

Karena semua orang mengejar yang terbaik, tidak ada ruang untuk kegagalan – bahkan hingga mempengaruhi mental anak apalagi jika gagal mencapai ekspektasi orang tua.

Dalam drakor Penthouse’ (2020) misalnya, Yoo Je Ni mengancam akan bunuh diri jika gagal masuk ke SMA Seni prestisius Cheong-Ah.

Meskipun drama Korea cenderung mendramatisir, namun serial-serial bertema edukasi menjadi sangat populer karena dianggap mencerminkan realitas sosial.

Obsesi pendidikan tinggi di Korea Selatan

Korea Selatan adalah salah satu negara dengan pendaftaran pendidikan tertinggi (tertiary enrollment), sebesar 71,5% pada 2021.

Beberapa kampus yang menjadi rebutan di Korea termasuk kelompok ‘SKY’ – Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University – di ibukota Seoul. Ada pula universitas sains papan atas seperti KAIST dan POSTECH.

Berdasarkan buku ‘Korean Education’ terbitan Sigur Center for Asian Studies di George Washington University, AS, “sindrom pendidikan” masyarakat Korea salah satunya bersumber dari rasa hormat pada pengetahuan dan kepercayaan bahwa kesempurnaan manusia didapat melalui pendidikan.

Pentingnya pendidikan tinggi juga tak lepas dari pengaruh tradisi Konfusianisme dan sejarah Korea yang menjunjung tinggi proses pembangunan karakter.

Saat Korea berbentuk dinasti, misalnya, posisi kekuasaan hanya terbuka bagi orang-orang yang lulus ujian negara. Keberhasilan dalam ujian ini kemudian menjadi penentu kesejahteraan keluarga.

Meski semangat ini sempat terhenti akibat masa kolonial Jepang dan perang Korea yang membuat mayoritas orang warga buta huruf, Korea Selatan kembali pada “demam pendidikan” pada tahun 1950-an dengan meningkatnya permintaan akses pendidikan.

Minimnya sumber daya alam juga membuat Korea harus fokus pada investasi riset dan sumber daya manusia. Hal ini membuat banyak keluarga berupaya keras menyekolahkan anak-anaknya, meskipun tidak memiliki banyak uang.

Stres akademik dan bunuh diri

Menurut riset di Korea, melalui pendidikan dari institusi bergengsi, seseorang jauh lebih mudah menaiki tangga sosio-ekonomi dan memperbaiki taraf hidup.

Pendidikan tinggi bergengsi seakan menjadi penentu ’win-lose‘ (menang-kalah) yang seolah hanya memberi dua opsi bagi warga Korea Selatan, yaitu berhasil atau gagal.

Bagi siswa yang gagal, pilihannya bisa jadi adalah mati.

Berdasarkan data tahun 2020, misalnya, Korea memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Menurut studi tahun 2021 dari Yeungnam University, tingkat bunuh diri di kalangan mahasiswa Korea bahkan telah meningkat sebesar 60% sejak 2018 – salah satu faktor besarnya adalah stres akademik. https://data.oecd.org/chart/6P0S

Potensi pendidikan alternatif

Di tengah kompetitifnya sistem pendidikan Korea, saat ini mulai muncul sekolah berbasis ’pendidikan alternatif’.

Sekolah alternatif ini tetap mempersiapkan siswa untuk masuk perguruan tinggi, namun menitikberatkan pembentukan karakter mereka melalui diskusi, berpikir kreatif, mencari solusi, hingga kegiatan di luar ruangan.

Alih-alih banting tulang demi masuk universitas top, siswa lebih diarahkan untuk melanjutkan pendidikan sesuai minat jurusan. Meskipun tak belajar hingga 15 jam sehari, 80% siswa di pendidikan alternatif justru berhasil masuk universitas yang mereka tuju. https://www.youtube.com/embed/TXswlCa7dug?wmode=transparent&start=0 Film dokumenter ‘Gangnam Style Education’ yang mengangkap kompetitifnya sistem pendidikan di Korea, produksi Australian Broadcasting Corporation (ABC)

Sayangnya, masih banyak stigma terhadap siswa yang memilih pendidikan alternatif.

Masyarakat Korea melihat mereka sebagai kelompok siswa gagal yang drop out (keluar) dari sistem pendidikan reguler. Apalagi, sekolah alternatif ini umumnya tak memiliki akreditasi dari Kementerian Pendidikan di Korea.

Pun demikian, geliat untuk lepas dari kompetisi pendidikan yang intens memberikan secercah harapan bagi anak muda Korea di masa depan untuk menemukan suatu tempat bagi mereka di masyarakat yang penuh dengan tekanan.

Refleksi untuk Indonesia

Selama beberapa dekade ke belakang, mental kompetisi dalam pendidikan Indonesia juga hadir dalam bentuk ujian nasional (UN). Serupa dengan Korea, ujian yang menentukan peluang murid untuk masuk ke sekolah menengah dan perguruan tinggi yang bagus ini memicu budaya bimbel yang tidak sehat.

Tapi, selain itu, UN pun menimbulkan budaya kompetisi di tingkat institusi karena adanya pemeringkatan sekolah berdasarkan hasil nilai para murid.

Bahkan, pada tahun 2020, sempat heboh kasus ‘contek massal’ yang dikoordinasi sekolah pada ajang try-out UN di Jawa Timur. Para guru menginstruksikan murid-murid berprestasi untuk menjadi sumber contekan agar teman-temannya meraih nilai bagus dan meningkatkan nama baik sekolah.

Walau tak meraih kesuksesan komersil layaknya drama Korea, fenomena contek massal ini bahkan sempat menjadi topik bahasan film dokumenter Indonesia berjudul Temani Aku Bunda’ (2012).

Selain itu, meski tak setinggi Korea, studi tahun 2019 dari Universitas Udayana menemukan bahwa 4,75% dari sampel hampir 9.000 remaja usia 13-18 tahun di seluruh Indonesia pernah berpikiran bunuh diri setidaknya sekali dalam setahun terakhir. Angka ini bahkan bisa jadi lebih rendah dari yang sebenarnya (underreported).

Meski sumber keinginan bunuh diri tersebut bervariasi, dari keresahan sosial hingga perundungan, tekanan pendidikan juga bisa menjadi faktor.

Pada tahun 2020 saat belajar online akibat COVID-19, misalnya, seorang siswa SD di Sumatra Utara bunuh diri – diduga akibat tekanan tugas sekolah di tengah akses internet yang minim dan kesulitan memahami materi.

Penghapusan UN di Indonesia dan hadirnya berbagai kebijakan seperti ‘Merdeka Belajar’, yang harapannya lebih memanusiakan siswa, bisa menjadi momentum untuk menghapus budaya-budaya buruk ini. Tapi, hal ini masih menyisakan banyak PR untuk pemerintah dan juga dunia pendidikan.

Lewat film dan drakor, kita bisa mengintip sistem pendidikan Korea dan sisi gelap di baliknya. Tak hanya sebagai hiburan, judul-judul tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua tentang konsekuensi yang bisa timbul akibat obsesi pendidikan di atas kesejahteraan anak.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Ranny Rastati

Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!