Hari Bahasa Isyarat Internasional: Dengarkan Suara Disabilitas Untuk Akses Teknologi

Setiap tanggal 23 September, seluruh dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional. Josh Tseng adalah salah satu mahasiswa di Singapura yang memperjuangkan teknologi inklusi agar bisa diakses oleh para penyandang disabilitas

Beberapa tahun silam, Josh Tseng, seorang mahasiswa di salah satu kampus Singapura mengajukan masukannya. Dia bicara bahwa pihak kampus harus menyediakan akses teknologi yang ramah bagi orang-orang seperti dirinya sebagai disabilitas netra. Termasuk situs website dan layanan online di kampusnya agar bisa lebih aksesibel bagi mereka. 

Kampus yang saat itu sedang bersiap melakukan orientasi mahasiswa baru pun, menindaklanjuti usulan Josh. Hingga akhirnya kampus menyediakan akses layanan online yang ramah dijangkau oleh para disabilitas termasuk netra. Lengkap dengan mekanisme dalam mengaksesnya. 

Itulah momen yang Josh ingat paling terkesan atas hak bersuaranya: dia bisa mendorong pelibatan kelompok disabilitas dalam proses pengambilan keputusan hingga tersedianya akses yang lebih baik untuk mereka.

“Saya pikir ini adalah titik balik saya, ketika saya menyadari bahwa saya memiliki suara dan saya dapat berkontribusi secara berarti,” ujar Josh yang berbicara dalam Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2022 Opening Plenary: People-centered internet – How do we get it right? yang diikuti Konde.co di Singapura, 12 September 2022. 

Inovasi teknologi yang terus berkembang, kata Josh, semestinya juga bisa menjadikan manusianya semakin maju. Tak terkecuali bagi kelompok marginal sepertinya yang harusnya juga mendapatkan akses teknologi yang setara. Maka dari itu lah, pentingnya pelibatan secara merata termasuk bagi disabilitas yang selama ini seringkali dipinggirkan. 

“Sertakan mereka (orang dengan disabilitas—red), kita harus benar-benar tulus untuk memasukkan mereka ke dalam proses,” katanya. 

Dirinya berharap ke depan akan lebih banyak upaya-upaya inklusif dijalankan pada berbagai sektor. Bukan saja di lingkup pendidikan seperti yang dia lakukan, tapi juga transportasi, layanan kesehatan, ekonomi bisnis dan lainnya. 

“Kami (disabilitas—red) membutuhkan teknologi yang terjangkau,” imbuhnya. 

The Vice Chair for Internet Asia Coalition, Sarim Aziz, sepakat bahwa teknologi harus terjangkau diakses pada berbagai layanan publik, bisnis, dan apapun yang penting bagi orang-orang dengan disabilitas. Meskipun, tantangan yang paling nyata adalah soal pemerataannya di lingkup lokal yang relatif terbatas dengan infrastruktur yang ada.  

“Masalah kesiapan, dimana literasi digital memiliki peranan penting. Makanya kami terus berinvestasi di berbagai area tersebut (lokal—red) untuk internet yang lebih inklusif,” ujar Sarim. 

Dalam konteks disabilitas, Sarim menambahkan, teknologi perlu bisa “diterjemahkan” dengan cara komunikasi serta bahasa yang mereka perlukan. Semisal, bagi disabilitas netra, maka teknologi harus bisa diakses tanpa harus mengetik. Itulah yang dirinya kini bersama komunitas di Asia Pasifik berupaya kembangkan lebih merata. 

Ini juga berkaitan dengan upaya mendorong teknologi untuk pengembangan bisnis yang lebih inklusif. Sarim mengatakan, tidak ada bisnis yang benar-benar sukses tanpa dia berinvestasi pada alat teknologi dan keterampilan yang inklusif. 

“Kami menyadari bahwa bisnis yang sukses di satu platform benar-benar menghasilkan, kalau itu mengarah pada semacam efek berantai dan menciptakan keterampilan ekonomi (inklusif—-red),” katanya. 

Pihaknya juga mendorong teknologi masa depan seperti Artificial Intelligence (AI) juga bisa semakin inklusif dan tidak bias terhadap kelompok marginal termasuk orang dengan disabilitas. Dia mencontohkan beberapa platform sudah mulai membangun AI yang lebih inklusif seperti layanan Meta pada instagram dan facebook yang memiliki teks-teks otomatis ataupun gambar-gambar yang bisa mengilustrasikannya. 

“Itu alat teks alternatif yang berguna,” tambahnya. 

Ia juga mengatakan, berbagai upaya di lingkup bisnis juga tengah pihaknya dorong agar lebih inklusif. Seperti, layanan umpan balik (feedback) yang diperuntukkan bagi orang dengan disabilitas sesuai dengan kebutuhannya. Bagi disabilitas netra semisal, bisa menggunakan masukan dalam bentuk suara. 

Di hadapan para pemangku kepentingan dan kebijakan di Asia Pasifik di forum APrIGF 2022, Sarim lantas mengajak masing-masing dari mereka untuk bisa mengadvokasi pemahaman yang lebih baik terhadap teknologi agar lebih ramah bagi orang dengan disabilitas. Termasuk mengikis bias-bias terhadap teknologi AI di internal perusahaan atau organisasi/lembaga yang sedang atau akan dijalankan.

“Misalnya kami baru saja menyelesaikan proyek kami dengan dewan perpustakaan nasional, untuk memastikan bahwa layanan mereka cocok untuk orang dengan disabilitas dan bisa memberikan mereka kesempatan melakukan feedback secara langsung,” jelasnya.   

Vice President Assistive Technology Development Organization (ATDO), Hiroshi Kawamura, menambahkan pentingnya upaya membangun standar internasional multimedia yang dapat diakses secara inklusif. Termasuk bagi para disabilitas dalam mengakses pendidikan secara digital. 

Dia menilai, hak mengakses informasi adalah hak asasi manusia (HAM) yang harus dijamin termasuk bagi disabilitas. Maka dari itu, memahami kebutuhan orang-orang dengan disabilitas yang berbeda menjadi kunci. 

“Mulai dari upaya melakukan standarisasi format yang bisa diakses hingga desain universal dan teknologi bantu seperti DAISY atau EPUB. Sebab ketahanan dan inklusivitas dalam pendidikan digital mendidik tenaga kerja masa depan (yang kuat—red),” pungkasnya. 

APrIGF yang diselenggarakan di Singapura pada 12-14 September 2022 lalu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Internet Governance Forum (IGF) tingkat global. Forum ini menjadi forum diskusi tentang tata kelola internet skala Asia Pasifik yang dihadiri oleh berbagai pihak mulai dari perwakilan pemerintah, pengelola aplikasi, komunitas dan organisasi masyarakat yang berkaitan dengan internet. 

Hasil dari diskusi dari APrIGF 2022 ini nantinya akan dibawa ke IGF global nanti pada November 2022 yang akan digelar di Ethiopia. 

Hari Bahasa Isyarat Internasional

Perjuangan untuk mendapatkan akses teknologi dan bahasa yang inklusif ini tidak terlepas dari perjuangan untuk mendapatkan bahasa isyarat. 

Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional yang diperingati setiap tanggal 23 September ditetapkan oleh PBB pada 23 September 2017.  

Hari Bahasa Isyarat Internasional merupakan hasil diskusi dari World Federation of the Deaf dan PBB. Ditetapkan karena bertepatan dengan kongres pertama tuli dunia yang jatuh pada 23 September tahun 1951 di Italia.

Peringatan Hari Bahasa Isyarat ini bertujuan agar para disabel khususnya disabel tuli mendapatkan hak yang sama seperti yang lainnya. Salah satunya hak mendapatkan informasi dan komunikasi juga teknologi.

Mengutip situs website Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional, federasi tuli sedunia mengeluarkan tantangan pemimpin global (global leaders challenge). Tantangan ini bertujuan untuk mempromosikan penggunaan bahasa isyarat oleh para pemimpin lokal, nasional, dan global dalam kemitraan dengan asosiasi nasional bagi tuli di setiap negara, serta organisasi yang dipimpin oleh tuli lainnya.

Dikutip dari Solider.id, menurut federasi tuli sedunia, terdapat sekitar 72 juta tuli di seluruh dunia. Lebih dari 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Secara kolektif, mereka menggunakan lebih dari 300 bahasa isyarat yang berbeda. Bahasa isyarat adalah bahasa alami yang sepenuhnya matang, secara struktural berbeda dari bahasa lisan. Ada juga bahasa isyarat internasional, yang digunakan oleh tuli dalam pertemuan internasional dan secara informal saat bepergian dan bersosialisasi. Bahasa isyarat internasional tersebut dianggap sebagai bentuk lain dari bahasa isyarat yang tidak serumit isyarat alami dan memiliki leksikon (kosa kata) terbatas.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengakui dan mempromosikan penggunaan bahasa isyarat. Dengan demikian, bahasa isyarat memiliki status yang sama dengan bahasa lisan dan mewajibkan negara untuk memfasilitasi pembelajaran bahasa isyarat, serta mempromosikan identitas linguistik komunitas tuli.

Melalui Sidang Umum (SU), PBB telah mencanangkan tanggal 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional. Dengan tujuan, meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa isyarat dalam realisasi penuh hak asasi manusia. Melalui SU, PBB juga menetapkan  bahwa, akses awal penggunaan bahasa isyarat dan layanan dalam bahasa isyarat, termasuk pendidikan berkualitas yang tersedia dalam bahasa isyarat, sangat penting bagi pertumbuhan dan kemajuan tuli. Sangat penting pula untuk mencapai tujuan pembangunan yang disepakati secara internasional, sustainable development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan. Diakui pula pentingnya melestarikan bahasa isyarat sebagai bagian dari keragaman bahasa dan budaya

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!