Jika Kamu Alami KDRT, Sebaiknya Lapor Polisi Atau Bercerai?

Kasus KDRT sedang marak. Kalau kamu atau orang di sekitarmu mengalami KDRT, apa langkah yang sebaiknya diambil, melaporkan kasus KDRT ke polisi atau mengajukan gugatan perceraian? Bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk masing-masing pilihan?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: Salam sejahtera, perkenalkan saya Nurani dari Jakarta. Saya ibu rumah tangga berusia 46 tahun dan telah dikaruniai 5 anak, 2 sudah bekerja sedangkan 3 anak lainnya masih sekolah di SMA dan SMP. Saya menikah dengan suami sudah hampir mencapai kawin perak. Namun, sepanjang berumah tangga, saya sebetulnya kerap mendapatkan KDRT dari suami, baik secara psikis, fisik, maupun seksual, dan selama hampir 25 tahun itu pula saya bertahan dan menutupinya dari orang luar termasuk keluarga saya maupun keluarga suami. Hanya anak-anak yang tahu tentang kondisi ini, bahkan anak tertua (perempuan) pernah mengajak saya untuk lapor polisi ketika saya dipukuli oleh suami hingga luka di bagian kepala dan tangan. Menurut anak saya, biar ada efek jera ke bapak yang bertahun-tahun dibiarkan memukuli saya tiap marah tanpa merasa bersalah.

Seminggu yang lalu, anak tertua saya mendapatkan informasi dari temannya yang bekerja di hotel jika melihat bapaknya menginap di hotel tersebut dengan seorang perempuan muda. Anak saya nangis-nangis bercerita kepada saya, lalu saya menanyakan kebenaran hal tersebut kepada suami, namun bukan penjelasan yang saya dapatkan darinya, saya malah dipukul dengan kayu yang ada pakunya oleh suami dibagian kepala dan kaki, lalu saya dicekik hingga pingsan. Saya baru sadar ketika sudah ada di rumah sakit dengan kondisi luka yang parah di bagian kepala dan kaki dengan ditemani kelima anak saya yang menangis karena ketakutan saya mati di tangan bapaknya.

Anak saya yang tertua menyarankan saya untuk lapor polisi karena katanya saya hampir mati disiksa bapak, sedangkan menurut anak kedua (laki-laki) menyarankan saya untuk berpisah saja dari bapak melalui perceraian. Kata anak saya yang tertua dan kedua, saya tidak perlu khawatir untuk masalah biaya sekolah ketiga adiknya, mereka akan bekerja keras patungan untuk membiayai sekolahnya termasuk menafkahi saya sebagai ibunya, yang penting adalah keselamatan saya. Oh iya, saya mendapatkan informasi Klinik Hukum Perempuan dari anak tertua, dan posisi saya sekarang pun disembunyikan oleh anak tertua di rumah temannya yang kebetulan kosong karena sedang bertugas di luar kota.

Menurut ibu/bapak pengasuh Klinik Hukum Perempuan, dalam menyelesaikan masalah KDRT apakah sebaiknya saya lapor polisi atau menggugat cerai suami? Saya bingung karena usia saya pun sudah tidak muda lagi, kalo harus bercerai ke pengadilan malu rasanya, kok tua-tua bercerai. Untuk lapor polisi pun saya malu, nanti polisi bilang, jika sudah bertahun-tahun mendapatkan KDRT kenapa baru sekarang di usia tua melapor? Di satu sisi, saya pribadi sudah tidak tahan lagi disiksa suami, dan sudah lama ingin berpisah. Mohon pandangannya agar saya dapat mengambil keputusan. Terimakasih. (Nurani, Jakarta)

Jawab: Terima kasih ibu Nurani sudah menghubungi kami di Klinik Hukum Perempuan. Saya turut prihatin atas KDRT yang ibu alami, semoga ibu dan anak-anak senantiasa diberi kekuatan dan kondisi kesehatan ibu cepat membaik. Menjawab pertanyaan ibu apakah dalam menyelesaikan masalah KDRT yang ibu alami, sebaiknya ibu melaporkan suami pelaku KDRT ke polisi atau menggugat perceraian? Dalam pandangan saya, karena ibu sebetulnya sudah lama ingin berpisah dari suami, maka sebaiknya ibu bisa mengambil kedua langkah tersebut, yaitu melaporkan kasus KDRT yang ibu alami ke polisi dan sambil proses laporan polisi berjalan, ibu mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama (jika ibu beragama Islam) atau ke pengadilan negeri (jika ibu beragama Kristen, Katolik, Budha atau lainnya).

Terkait dengan permasalahan KDRT yang ibu alami, perlu saya jelaskan bahwa aturan hukum mengenai KDRT diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Mengapa diatur secara khusus? Karena KDRT merupakan tindak pidana kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal (rumah tangga), dimana korbannya kebanyakan adalah perempuan dan pelaku adalah laki-laki, orang yang dikenal baik serta dekat dengan korban. Misalnya tindak KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri, seperti yang ibu Nurani alami. Adapun pengertian KDRT menurut Pasal 1 UU PKDRT adalah:

… perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

KDRT yang ibu alami salah satunya adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit, pingsan dan mengalami luka berat hingga ibu harus dirawat di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 UU PKDRT:

Pasal 5 UU PKDRT:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:

a.    Kekerasan fisik;

b.    Kekerasan psikis;

c.    Kekerasan seksual; atau

d.    Penelantaran rumah tangga

Pasal 6 UU PKDRT:

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Selain kekerasan fisik, sebetulnya ibu dan anak-anak juga mengalami kekerasan psikis baik yang dirasakan sebelum ataupun setelah terjadinya KDRT. Sanksi pidana untuk tindak pidana kekerasan fisik dan psikis diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UU PKDRT:

Pasal 44 UU PKDRT:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Perlu ibu Nurani ketahui, UU PKDRT ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi hak-hak korban KDRT.

Adapun hak-hak korban yang dimaksud tersebut tertuang dalam Pasal 10, UU PKDRT, di antaranya:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

Dengan adanya jaminan perlindungan UU PKDRT, maka ibu Nurani memiliki kekuatan secara hukum untuk melaporkan KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap ibu ke Kepolisian Resor (Polres) setempat. Berikut adalah tahapan-tahapan proses pelaporan:

  1. Pelaporan di lakukan ke Kepolisian Resor (Polres) setempat. 
  2. Di Polres, ibu sebagai pelapor (korban) akan dirujuk ke bagian unit Perempuan dan Anak.
  3. Siapkan bukti awal untuk pelaporan, misal surat perawatan rumah sakit tempat ibu di rawat setelah terjadinya KDRT, foto bukti luka atau bukti lainnya yang terkait.
  4. Apabila ibu merasa memerlukan pendampingan hukum dari advokat/pengacara pada saat melapor, ibu bisa menghubungi lembaga bantuan hukum yang memberikan layanan pendampingan hukum kepada perempuan korban KDRT.

Jika dalam proses pelaporan ibu memerlukan pendampingan secara hukum, maka ibu dapat meminta bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang secara khusus memberikan layanan pendampingan hukum terhadap perempuan korban kekerasan.

Terkait dengan keinginan untuk berpisah dari suami (bercerai) karena kekerasan yang ibu alami, maka ibu dapat mengajukan gugatan perceraian terhadap suami ke Pengadilan Negeri (PN) di wilayah tinggal/ domisili suami, dengan alasan bahwa suami telah melakukan tindakan KDRT, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf d Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Jika dalam memproses gugatan perceraian ibu membutuhkan pendampingan advokat/pengacara namun tidak mempunyai biaya untuk jasa hukumnya, ibu dapat menggunakan jasa pengacara pro deo (cuma-cuma) yang tersedia pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ataupun Posbakum di Pengadilan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, menyatakan:

“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.”

Sekian penjelasan saya, semoga memberikan penguatan kepada ibu dan anak-anak untuk mengambil langkah segera menghentikan KDRT dari suami dengan membuat laporan polisi atas KDRT yang ibu alami, dan menggugat perceraian terhadap suami ke Pengadilan Negeri setempat di wilayah tinggal/domisili suami.

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!