Disiksa, Disiram Cabe dan Ditelanjangi: Kekerasan Pada PRT Terjadi Lagi

Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga kembali terjadi. Kali ini dialami RN, seorang PRT berusia 18 tahun. Ketiadaan payung hukum membuat kasus seperti ini terus berulang. Koalisi masyarakat sipil pun mendesak agar RUU Perlindungan PRT segera disahkan.

(Trigger warning: artikel ini berpotensi memicu perasaan tidak nyaman saat dibaca terutama terkait kekerasan terhadap perempuan) 

Saat mengadukan nasibnya ke Kantor Staf Presiden (KSP), RN lebih banyak menunduk. Tubuhnya masih lemah sehingga ia harus duduk di atas kursi roda. Baju panjang dan kerudung yang dikenakan menutupi luka-luka di tubuhnya. 

RN yang April tahun ini genap berumur 18 tahun adalah pekerja rumah tangga (PRT) yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh majikannya, pasangan AA dan RK yang berdomisili di Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kekerasan yang dialami NK cukup lengkap, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi dan pelecehan seksual.

Kejadian yang menimpa RN berawal pada Mei 2022, saat perempuan asal Kecamatan Cibeber, Cianjur, Jawa Barat ini menerima tawaran untuk bekerja menjadi PRT di Jakarta. Pekerjaan tersebut ditawarkan oleh tetangganya, yang kemudian difasilitasi oleh sebuah yayasan. Namun, RN tidak tahu pasti, apakah yayasan yang menyalurkannya bekerja tersebut resmi atau tidak.

“Prosesnya hanya satu hari. Setelah itu saya diantar di pinggir jalan, dan di situ saya dijemput oleh majikan, gitu aja prosesnya,” terang RN lewat pamannya Ceceng dalam jumpa pers pada Rabu (26/10/2022).

RN yang masih polos bahkan tidak tahu nama lengkap maupun alamat lengkap rumah majikannya. Ia hanya tahu nama panggilan majikannya dan majikannya jika bekerja mengenakan seragam berwarna coklat atau seragam khas ASN.

RN juga tidak tahu bahwa untuk bekerja dianjurkan ada kesepakatan kerja atau lebih baik perjanjian tertulis. Yang diketahuinya ia ditugaskan merawat anak majikan yang masih balita dan untuk itu ia dijanjikan upah sebesar Rp1,8 juta sebulan.

“Awalnya baik, tapi lama-kelamaan jadi sering pukul dan menyiksa saja. Awalnya memukul di bagian kaki, kemudian kepala juga. Setiap dianggap melakukan kesalahan dipukul,” ungkapnya.

Tindak kekerasan yang diduga dilakukan sang majikan itu diketahui saat korban pulang ke rumahnya. Kondisi tubuh korban amat lemah. Di tubuhnya ditemukan luka-luka dan bekas luka yang diduga disebabkan kekerasan fisik.

Kepalanya lebam dan telinganya juga terdapat bekas luka. Setelah ditanya pihak keluarga, korban pun mengungkapkan jika dirinya kerap mendapatkan penyiksaan dari majikannya.

Setiap melakukan kesalahan ia dipukul atau ditendang. RN juga pernah disiram dengan air cabai atau bubuk lada, karena kedapatan mengantuk saat menyetrika.

Meski RN mengalami luka yang cukup serius, telinganya mengeluarkan darah dan bahkan bernanah, sang majikan tidak pernah membawanya untuk berobat. Tak hanya itu, RN juga mengalami pelecehan. Ia beberapa kali ditelanjangi dan difoto, sang majikan mengancam akan menyebarkan foto bugil ini jika RN berani mengadukan apa yang dialaminya ke polisi.

“Bahkan ia pernah disuruh tidur di lantai atas (di balkon, red) dengan kondisi telanjang bulat,” imbuh Ceceng.

Bahkan korban yang bekerja selama 6 bulan itu juga tidak diberi upah yang sesuai. Korban harusnya menerima gaji Rp1,8 juta per bulan tetapi selama 6 bulan baru dibayarkan sekitar Rp2,7 juta. Ini artinya dalam sebulan RN diupah kurang dari Rp500 ribu. RN diberhentikan dan disuruh pulang pada Sabtu (22/10/2022) lalu.

Ceceng berharap kasus ini segera ditangani kepolisian dan pelaku ditangkap supaya tidak ada lagi korban serupa seperti keponakannya.

“Intinya RN yang seorang PRT butuh perlindungan. Supaya tidak ada lagi PRT lain yang mengalami kekerasan seperti yang dia alami,” kata Ceceng saat konferensi pers virtual bersama Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Rabu (26/10/2022).

Kasus RN ini sudah ditangani polisi, setelah RN lewat Ceceng, pamannya mengadukan kasus yang menimpanya ke Jala PRT. Jala PRT kemudian menembuskan laporan ini ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan langsung direspons Kepala KSP Moeldoko.

RN dengan didampingi Ceceng dan kepala desa Cibadak Elan Hermawan pada Selasa (25/10/2022) telah mengadu ke KSP dan diterima langsung oleh Kepala KSP, Moeldoko. Moeldoko kemudian memanggil Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto supaya kasus ini segera ditindaklanjuti. Melalui Komjen Agus, ia lantas memerintahkan penyidik di Polres Jakarta Timur supaya segera menindaklanjuti kasus ini.

“Karena ini harus kita kawal bersama, pelakunya harus segera ditahan dan dijatuhi pasal berlapis,” ujar Eva Kusuma Sundari dari Koalisi Sipil untuk RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang bersama Jala PRT sejak awal turut mendampingi korban.

Dari penyelidikan polisi diketahui, pelaku adalah pasangan suami istri AA dan RK yang tinggal di Kelapa Dua Depok.

“Majikannya yang perempuan ASN, rumahnya di Pondok Kelapa. Kalau suaminya nggak bekerja,” kata Lita Anggraeni dari Jala PRT saat konferensi pers.

Kekosongan Hukum

Lita Anggraeni mengatakan, kasus yang menimpa RN ini menunjukkan ada yang salah dalam proses perekrutan dan perlindungan PRT. Banyak perempuan yang mayoritas dari pedesaan bekerja sebagai PRT tanpa cukup bekal pengetahuan.

Mereka tidak dibekali keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pekerja rumah tangga dan ketika mereka melakukan kesalahan, majikan langsung menghukumnya. Para pekerja ini juga tidak dibekali pengetahuan tentang hak-haknya sebagai pekerja.

Lita menekankan pentingnya kesepakatan dan perjanjian kerja sebelum seseorang bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Kesepakatan itu bisa lisan dan akan lebih baik tertulis, dan menyebutkan nama dan alamat jelas pihak yang mempekerjakan dan yang bekerja, uraian jenis pekerjaan serta upah yang akan dibayarkan.

“Ini harusnya menjadi tugas agen penyalur PRT. Tetapi seringnya agen penyalur mengabaikan fungsi tersebut dan hanya mengejar keuntungan semata,” ujar Lita dalam konferensi pers tersebut.

Lita menambahkan, hampir setiap hari Jala PRT menerima satu hingga tiga pengaduan dari PRT yang mengalami kasus di tempat kerjanya. Banyak dari PRT itu yang tidak tahu alamat tempat kerjanya. Bahkan nama lengkap majikan yang mempekerjakan dirinya juga tidak diketahui.

“Ini juga yang dialami RN. Ketidaktahuan dan posisinya yang lemah membuat banyak PRT menjadi korban perbudakan modern,” ujar Lita.

Sementara Eva Kusuma Sundari dari Institute Sarinah mengatakan, terus terulangnya kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga seperti yang dialami RN ini tak lepas dari kekosongan perlindungan hukum bagi PRT.

Hingga hari ini negara belum hadir dalam proses perekrutan PRT. Belum ada aturan yang jelas bagaimana seharusnya PRT ini direkrut dan dipekerjakan. Bahkan PRT belum masuk dalam aturan perundang-undangan.

Di daerah asal, pekerja dan pengurus desa tidak tahu prosedur apa yang harus dilakukan. Di sisi pemberi kerja, juga banyak yang tak tahu hak-hak PRT sebagai pekerja. Sementara agen sebagai penyalur, sering hanya untuk mengejar keuntungan tanpa sedikitpun berupaya memberikan nilai tambah bagi PRT yang dipekerjakan.

“Jadi semua terkesan berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada sistem yang melindungi PRT yang jumlahnya diperkirakan mencapai 5 juta orang,” ujarnya.

Ia berharap kejadian yang menimpa RN ini bisa mengetuk hati anggota DPR yang selama ini masih menghambat pembahasan RUU Perlindungan PRT yang sudah diperjuangkan sejak 2004. Dalam RUU PPRT ini diatur semua hal yang berkaitan dengan PRT. Ditegaskan Eva, RUU PPRT ini tak hanya melindungi PRT tetapi juga melindungi pemberi kerja dari agen ataupun PRT yang nakal.

Eva menegaskan, negara harus segera hadir melindungi PRT yang jumlahnya diperkirakan mencapai 5 juta orang. Kekosongan hukum dalam perlindungan PRT harus segera diisi agar kasus kekerasan seperti yang dialami RN ini tidak terulang kembali.

(Artikel ini merupakan bagian dari peliputan stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dan ratifikasi Konvensi ILO 190 yang didukung oleh Program VOICE)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular