Setelah 3 Tahun Korban Kekerasan Seksual di Kementerian Berjuang, Akhirnya Kasus Dibuka Kembali, Menteri Buat Tim Independen

Setelah 3 tahun berjuang atas perkosaan yang menimpanya, N, korban kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM, minta kasusnya dibuka kembali. Menteri Koperasi dan UKM akhirnya membentuk tim independen untuk penyelesaian kasus

Lantai 8 Ruang pertemuan Menteri Koperasi dan UKM pada 25 Oktober 2022 siang, dipenuhi sejumlah orang yang melakukan pertemuan.

Hari itu berlangsunglah pertemuan antara keluarga korban perkosaan, N, perempuan yang menjadi korban perkosaan yang dilakukan 4 pegawai Kementerian Koperasi. N diwakili ayah korban, W dan ibu korban, M serta kuasa hukumnya dari LBH APIK Jawa Barat, Asnifriyanti Damanik. Pertemuan juga dilakukan bersama Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki.

Pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut merupakan pertemuan pertama antara keluarga N dengan Teten Masduki, setelah kasus pemerkosaan yang terjadi pada N, pada Desember 2019.

Pertemuan antara orang tua korban dengan Teten Masduki kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bersama sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) yang mendampingi dan mengawal kasus tersebut.

Pertemuan ini berlangsung setelah keluarga korban berupaya mengangkat kasus ini kembali dan pemberitaan soal kasus ini di media massa menjadi viral. Langkah keluarga korban membuka kasus ini dikarenakan penyelesaian kasus oleh kepolisian dan Kemenkop UKM dinilai belum memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Kasus ini bermula saat N bersama para pegawai kementerian tersebut pada 6 Desember 2019 mengadakan Rapat Di Luar Kantor (RDL) yang diikuti N dan para pelaku. Disanalah N kemudian diperkosa ramai-ramai.

Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung, 4 orang pegawai memperkosa yaitu: Z, W, M,E dan 2 orang menjaga pintu dan 1 orang ikut sampai lokasi. Ketiga orang ini adalah: N, T, A.

Pasca melakukan visum,  keluarga pelaku mendatangi rumah orang tua korban dan meminta korban berdamai dengan pelaku. Mereka juga meminta korban menikah dengan salah satu pelaku yang masih single, sebelum kasus sampai tahap P21 (hasil penyidikan sudah lengkap) dan proses berlanjut ke pengadilan. 

Kepolisian Bogor juga mendatangi rumah korban dan memfasilitasi pernikahan pelaku dengan korban. Keluarga korban akhirnya luluh. Perkawinan dilakukan agar keempat pelaku keluar dari penjara. Setelah perkawinan dilakukan, tak berapa lama Z akan menceraikan N.

Karena ramainya kasus ini di media, Kementerian Koperasi dan UKM kemudian melakukan konferensi pers mendadak pada 24 Oktober 2022. Mereka menyatakan bahwa perkawinan tersebut berdasarkan atas permintaan keluarga korban.

Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Perkosaan di Kemenkop UKM (TAKON Kemenkop) lalu membantah sejumlah klaim fakta yang disampaikan pihak Kementerian Koperasi dan UKM pada konferensi pers sebelumnya yang berlangsung Senin (24/10). 

Koordinator TAKON Kemenkop, Kustiah Hasim mengatakan Kakak korban menyebut klaim fakta tersebut tak berdasar kebenaran alias bohong. Pertama, terkait ide pernikahan antara pelaku dengan korban memang jelas didorong oleh pihak kepolisian, dan bukan oleh keluarga atau orang tua korban. Pernikahan ini, ungkap Kustiah, yang akhirnya menjadi dasar penerbitan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan oleh Polresta Bogor. Pihak keluarga korban tidak pernah mengetahui perihal SP3 tersebut.

“Keluarga korban N mengaku ide pernikahan itu justru disampaikan pihak kepolisian, bukan oleh mereka. Keluarga korban dan korban bahkan tidak tahu pernikahan ini akhirnya menjadi alasan penghentian dan penerbitan SP3,” kata Kustiah dalam keterangan tertulis Selasa (25/10) pagi.

Kedua, terkait pernyataan pengunduran diri korban. Kakak korban memastikan korban tidak pernah membuat surat pengunduran diri tersebut. Kustiah malah menyampaikan kakak korban menanyakan alasan mengapa korban tidak diperpanjang pekerjaannya alias tidak dipekerjakan lagi di Kemenkop UKM?

“Korban tidak pernah membuat surat (pengunduran diri) tersebut. Perusahaan tempat korban bekerja sekarang bahkan diminta dibuatkan slip gaji palsu korban untuk memuluskan skenario jahat pengunduran diri,” sambung Kustiah.

Ketiga, soal surat permintaan keringanan pengenaan sanksi bagi pelaku yang diklaim dibuat orang tua korban. Kustiah menegaskan orang tua korban mengaku tidak pernah membuat surat tersebut. Yang terjadi, ungkapnya, sejumlah pejabat Kemenkop UKM justru melakukan intimidasi kepada keluarga korban serta meminta pelaku dibebaskan.

“Kakak korban menjelaskan ayah korban tidak membuat surat (permintaan keringanan pengenaan sanksi) ke Sesmen. Jadi sejumlah pernyataan ini membantah klaim yang disampaikan pihak Kemenkop UKM,” tegasnya.

Pasalnya pernyataan itu justru menunjukkan institusi yang dipimpin Menteri Teten Masduki tersebut seolah-olah tidak memiliki empati terhadap korban dan tidak berupaya untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal terhadap pelaku.

Pembentukan Tim Independen Penyelesaian Kasus

Desakan dari organisasi-organisasi perempuan dan protes terhadap konferensi pers tersebut membuat Kementerian Koperasi dan UKM mengundang para aktivis untuk bertemu sekaligus melakukan konferensi pers lanjutan.

Dalam konferensi pers 25 Oktober 2022 yang membahas kasus ini, Teten Masduki kemudian mengatakan, kementeriannya tidak akan mentoleransi adanya tindak kekerasan seksual. Namun ia juga mengakui saat ini kementeriannya belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual. Untuk itu ia berjanji akan melakukan sejumlah perbaikan di kementeriannya.

“Ya jadi tadi pertemuan yang sangat kondusif, bagaimana mencari solusi penanganan kasus kekerasan seksual karena kementerian termasuk saya sendiri tidak mentolerir tindak kekerasan seksual. Kalau saat ini ternyata dianggap masih belum memenuhi asas keadilan, ini yang justru akan kita tindak lanjuti. Kami menyadari kementerian belum punya SOP, belum punya kelembagaan, belum punya kesadaran dalam penanganan tindak kekerasan seksual. Ini sekaligus kita mau dandanin supaya nanti kalau terjadi kasus seperti ini sudah ada sistemnya,” ujar Teten dalam konferensi pers yang dihadiri Konde.co pada Selasa (25/10/22).

Teten juga berjanji kementeriannya akan memenuhi tuntutan keluarga korban.

“Tadi saya sudah bertemu bicara secara langsung dengan keluarga korban dan kita akan mengakomodir tuntutan-tuntutan dari keluarga korban,” kata Teten.

Pertemuan tersebut menyepakati pembentukan tim independen yang terdiri dari unsur Kemenkop UKM yang diwakili Staf Khusus MenKop UKM Bidang Ekonomi Kerakyatan M. Riza Damanik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pendamping hukum korban Ratna Batara Munti dan dua orang aktivis perempuan yakni Sri Nurherwati dan Ririn Sefsani.

Tim independen bertugas mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus. Tim juga bertugas untuk merumuskan SOP pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual di Kemenkop UKM. Tim ini akan bekerja dalam jangka waktu maksimal 3 bulan.

“Jadi sekali lagi penyelesaian masalah ini bukan lagi urusan internal Kemenkop, tapi sudah terbuka (ditangani tim independen, red) dan nanti hasilnya tim juga yang akan menyampaikan. Jadi sekali lagi kami akan menggunakan momentum ini untuk pembenahan di internal Kemenkop. Nanti kita punya SOP, punya kemampuan menangani, bahkan mencegah kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual,” kata Teten.

Korban Ingin Proses Hukum Dilanjutkan

Menanggapi hasil pertemuan dan pembentukan tim independen, pendamping hukum korban Asnifriyanti Damanik mengungkapkan keluarga korban sangat mengapresiasi pertemuan ini juga dukungan yang akan diberikan kementerian dalam proses selanjutnya. 

“Kementerian Koperasi dan UKM berjanji untuk memfasilitasi memberikan kemudahan dalam proses praperadilan nanti dan mendukung apa yang dilakukan oleh korban,” ujar Asnifriyanti dalam konferensi pers tersebut.  

Asnifriyanti menjelaskan korban menghendaki proses hukum dilanjutkan di kepolisian. Untuk itu pihaknya akan mengajukan praperadilan terhadap SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang dikeluarkan Polresta Bogor. Permohonan praperadilan ini akan diajukan pada November mendatang.

“Untuk langkah hukum selanjutnya itu dari korban memutuskan untuk mengajukan praperadilan terhadap SP3, karena SP3 yang ditetapkan oleh Polresta Bogor itu adalah dengan alasan keadilan restoratif, yang menurut kita dan juga dikaitkan dengan UU TPKS sekarang itukan tidak diperkenankan untuk melakukan upaya penyelesaian di luar persidangan,” papar Asni.

Terkait pemberian sanksi kepada 2 terduga pelaku oleh Kemenkop UKM yang dinilai belum memenuhi rasa keadilan korban, Asni menyampaikan korban mempercayakan proses penanganannya pada tim independen yang telah dibentuk.

“Kita menyerahkan kepada tim independen untuk me-review sanksinya lagi agar sanksinya itu memenuhi rasa keadilan dan juga perlindungan kepada korban, pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban,” ujarnya.

Dalam konferensi pers yang digelar Kemenkop UKM pada Senin (24/10/22) dijelaskan bahwa Kemenkop UKM memberikan sanksi kepada 2 terduga pelaku (M dan NN) yang merupakan tenaga honorer dan tenaga outsourcing berupa status non job (pemberhentian pekerjaan) pada Februari 2020.

Sementara 2 terduga pelaku yang merupakan PNS dan CPNS yakni W dan Z hingga saat ini masih berstatus sebagai pegawai Kemenkop UKM. Keduanya dijatuhi hukuman disiplin berat yaitu Penurunan Jabatan Setingkat Lebih Rendah Selama 1 (satu) tahun, dari kelas jabatan 7 (analis) menjadi kelas jabatan 3 (pengemudi) pada Agustus 2022.

Terduga pelaku Z yang juga merupakan suami korban bahkan mendapatkan beasiswa S2 dari kementerian lain pada Februari 2021. 

Kepada Konde.co Asnifriyanti menjelaskan, dalam pertemuan tersebut pihaknya meminta Kemenkop UKM untuk memberikan akses atas dokumen-dokumen yang dibutuhkan terkait proses perceraian mengingat Z sedang mengajukan perceraian.

Selain akses atas dokumen Asni juga menegaskan agar hak-hak korban juga dipenuhi. Mengacu pada PP No. 10 tahun 1983 dan PP No. 45 tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, diatur soal pemberian nafkah bagi mantan istri sebesar setengah dari gaji PNS laki-laki sampai mantan istri tersebut menikah kembali.

“Kami minta hak-hak itu diberikan jika nanti putusan pengadilan terkait perceraiannya sudah inkrah. Meskipun biasanya tidak dicantumkan dalam putusan pengadilan tetapi Kemenkop UKM perlu memastikan hak tersebut diberikan sesuai dengan ketentuan dalam PP 10 tahun 1983 dan PP 45 tahun 1990,” papar Asni.

Anita Dhewy dan Luviana

Redaktur Khusus dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!