Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku

Seorang perempuan yang bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM diperkosa, kemudian dipaksa menikah dengan salah satu pelaku. Pernikahan yang hanya berlangsung sesaat ini ternyata dilakukan untuk membebaskan para pelaku dari penjara

Seorang perempuan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Jakarta, N, menjadi korban perkosaan. Perkosaan diduga dilakukan oleh 4 orang pegawai di sana. 

Radit, saudara N bercerita tentang perkosaan yang dialami N dalam acara “Dialog Aktual: Kasus Perkosaan di Kemenkop-UKM, Tanggung Jawab Siapa?” yang diselenggarakan Aktual.com pada Rabu (19/10/22) yang diikuti Konde.co

Radit menyatakan dalam dialog tersebut, bahwa keluarga ingin kasus ini diselesaikan di pengadilan karena korban dan keluarga menderita banyak sekali kerugian, salah satunya korban harus menikah dengan pelaku, lalu ditinggalkan begitu saja.

Mereka juga menyesalkan polisi dan Kementerian Koperasi dan UKM yang seolah justru berpihak pada pelaku.

“Kita ingin diteruskan saja (kasusnya, red), sampai ke pengadilan lebih baik, karena dari pihak keluarga sudah banyak kerugian yang ditanggung dan tidak ada itikad baik, baik itu dari instansi maupun dari pihak pelaku ini. Kita ini melepas N pada saat rapat di luar kantor ini, (tapi) setelah dia pulang keadaannya jadi harus kita obati segala macam. Dari instansi kok perspektifnya kenapa ke pelaku. Baru tahun 2022 ini ada hukuman ke pelaku, selama ini kemana?.”

Kejadian ini bermula saat N bersama para pegawai kementerian tersebut pada 6 Desember 2019 mengadakan Rapat Di Luar Kantor (RDL) yang diikuti N dan para pelaku. Disanalah N kemudian diperkosa.

Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung, 4 orang pegawai memperkosa yaitu: Z, W, M,E dan 2 orang menjaga pintu dan 1 orang ikut sampai lokasi. Ketiga orang ini adalah: N, T, A.

Setelah kejadian tersebut, N juga diintimidasi di kantor dan justru terus-terusan mendapat tekanan dari teman-temannya. N kemudian melapor ke Polresta Bogor Kota dan melakukan visum di rumah sakit atas rekomendasi polisi. Selanjutnya CCTV hotel diserahkan ke kepolisian oleh pihak hotel. Empat pelaku kemudian ditangkap dan ditahan.

Pasca melakukan visum,  keluarga pelaku mendatangi rumah orang tua korban dan meminta korban berdamai dengan pelaku. Mereka juga meminta korban menikah dengan salah satu pelaku yang masih single, sebelum kasus sampai tahap P21 (hasil penyidikan sudah lengkap) dan proses berlanjut ke pengadilan. 

Kepolisian Bogor juga mendatangi rumah korban dan memfasilitasi pernikahan pelaku dengan korban. Keluarga korban akhirnya luluh. Jadi saat ditahan, pelaku (Z) berstatus sudah menikah dengan N.

Menanggapi hal ini, aktivis perempuan dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) Kustiah Hasim mengatakan, kedatangan keluarga pelaku ke rumah korban merupakan bentuk ancaman. 

“Ancaman itu tidak selalu berbentuk fisik maupun verbal, tapi kedatangan dari keluarga pelaku itu saja sudah ancaman. Dia ancaman psikologis. Bahwa apa juga keperluannya, keluarganya sudah melakukan kekerasan seksual lalu kepolisian juga memfasilitasi. Itu sudah bentuk ancaman,” ujar Kustiah dalam acara Dialog Aktual tersebut. 

Selain adanya tekanan dari keluarga pelaku—yang diantaranya merupakan pejabat di kementerian tersebut—dan dari kepolisian, keluarga N sempat menganggap kejadian tersebut sebagai aib. 

“Keluarga kami tadinya mengira itu suatu aib, ternyata kami salah pola berpikirnya. Ternyata itu musibah, bukan aib. Kita nggak mau tetangga atau orang lain tahu tadinya,” ungkap Radit. 

Lebih lanjut Radit menjelaskan, pada saat sudah menikah dengan Z, ada sejumlah uang yang diberikan untuk acara lamaran. Namun setelah acara lamaran, Z tidak pernah ada komunikasi lagi dengan N, dan hanya sekali datang ke rumah. Keluarga Korban menunggu, beberapa kali menemui keluarga Z, tetapi tidak pernah merespons. 

“Justru kita, keluarga korban kaget, ini kok Z malah mendapat beasiswa dari Kementerian Koperasi dan UKM?,” ungkap Radit. 

Melihat gelagat semacam ini, keluarga N merasa pernikahan tersebut hanya menjadi cara bagi pelaku untuk lepas dari konsekuensi hukum. 

“Nikahnya ini apa hanya pura-pura untuk lolos dari tahanan? Sepertinya begitu. Dengan pernikahan ini keluar seluruhnya (4 tersangka, red) dari penjara, karena persyaratannya pernikahan ini. Tapi dari pernikahan ini korban hanya dinafkahi 300 ribu per bulan selama 12 bulan. Dan pada Senin kemarin, korban digugat cerai oleh Z dengan alasan ketidakharmonisan,” papar Radit. 

Karena itu bagi keluarga korban, langkah yang ideal bagi penyelesaian kasus ini adalah penerapan hukuman maksimal bagi pelaku. 

“Langkah yang tepat ya berikan hukuman semaksimal mungkin kepada para pelaku tersebut agar tidak ada lagi predator di kementerian kami,” ujarnya. 

Upaya Korban dan Keluarga Mencari Keadilan 

Kasus perkosaan tersebut saat ini dihentikan penyidikannya oleh kepolisian dengan keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan alasan restorative justice. Sementara keluarga N tidak mengetahui adanya SP3 tersebut 

“Keluarga tidak tahu ada SP3 dan tidak pernah mencabut laporan. Kita baru tahu setelah kita menyomasi Z,” ungkap Radit.

Radit menjelaskan bahwa keluarga korban kemudian menghubungi LBH APIK Jabar dan meminta bantuan pendampingan hukum setelah keluarnya SP3. 

Direktur LBH APIK Jabar, Ratna Batara Munti mengatakan atas dasar perkawinan tersebut polisi menganggap antara korban dengan pelaku sudah berdamai. Ini yang disebut penyelesaian restorative justice oleh polisi. Ratna menegaskan alasan restorative justice ini tidak tepat. 

“Sangat tidak tepat, merugikan hak-hak korban atas keadilan dan hak atas pemulihan. Alasan restorative justice harusnya tidak bisa jadi alasan untuk SP3 karena ini delik biasa bukan delik aduan,” papar Ratna Batara Munti saat dihubungi Konde.co pada Kamis (20/10/22). 

Lebih lanjut Ratna menjelaskan, upaya damai sah-sah saja untuk dilakukan tetapi kasus pidana harusnya jalan terus. Apalagi upaya damai dengan mengawinkan pelaku dan korban justru akan berdampak kepada korban. 

“Jadi damai untuk kasus kekerasan seksual juga tidak disarankan. Damai dengan memberikan ganti rugi serta memberikan pemulihan bagi korban mungkin masih bisa dipertimbangkan. Tapi tidak dengan cara mengawinkan dan tidak menghentikan proses hukum. Mungkin bisa untuk meringankan hukuman,” ujar Ratna. 

Untuk itu LBH APIK Jabar akan mengajukan gugatan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan kepolisian. Sementara korban hingga kini masih mengalami trauma dan sudah dirujuk ke Yayasan Pulih untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan pemulihan. 

Ratna Batara Munti menambahkan, pihaknya juga mendampingi korban terkait izin perceraiannya. Suami N yang notabene adalah pelaku sedang mengajukan izin cerai. 

Setelah kejadian tersebut, status N sebagai pegawai honorer kemudian tidak diperpanjang. Meski saat ini korban sudah bekerja di instansi lain.

Sementara itu keluarga korban terus berupaya melaporkan kasus ini ke Komisi Ombudsman. Menurut Radit, Komisi Ombudsman telah berkirim surat kepada menteri terkait dan kasus ini sudah diketahui oleh menteri. 

Sebelumnya keluarga korban juga sudah melaporkan kasus ini kepada pejabat eselon 1 dan 2 di kementerian terkait tetapi tidak ada tanggapan.

Sanksi Terhadap Pelaku

Menanggapi kasus ini, Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM, Henra Saragih dalam kesempatan yang sama menjelaskan, menurut mereka, penyelesaian kasus ini dari segi hukum sudah dilakukan.

“Kami dari Biro Hukum melihat bahwa penyelesaian dari permasalahan ini sebenarnya dari segi hukum sudah kita lakukan. Tadi disampaikan adanya penindakan oleh kepolisian, terus ada juga SP3, terus ada kesepakatan, kemudian yang bersangkutan juga sudah menikah. Terus ada juga penegakan sanksi etika yang sudah diterapkan kepada yang bersangkutan,” ujar Henra.

Untuk itu menurut Henra, proses-proses yang sudah dilakukan oleh kementerian sudah maksimal. Setidaknya terdapat dua hal yang sudah dilakukan.

“Prosesnya pertama hak-hak dari pada si korban sudah kita penuhi, ya apa itu, dari konteks gaji dan hak-hak lain sudah kita penuhi. Dan pada saat ini pun korban sudah bekerja di kementerian lain,” jelasnya.

Menurut Henra sanksi kepada pelaku juga sudah diberlakukan meski ia mengaku tidak mengetahui dan tidak bisa menjelaskan bentuk dari sanksi yang diberikan.

“Yang kedua terkait dengan sanksi, sudah kita berikan sanksi kepada para pelaku. Nah, kami tidak bisa menyampaikan apa bentuk sanksinya karena memang sesuai dengan ketentuan sanksi disampaikan kepada yang bersangkutan langsung. Siapapun itu tidak bisa mengetahui, kami sekalipun tidak bisa mengetahui karena itu memang pak Menteri sebagai pimpinan kepegawaian sudah membuat keputusan disiplin yang disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Bentuknya seperti apa, pelaku bisa dimintai keterangan terhadap sanksi yang sudah diberikan oleh kementerian,” papar Henra.

Lebih lanjut Henra menyarankan kepada keluarga korban agar ketidakpuasan atas keputusan yang sudah diambil oleh kementerian diselesaikan secara internal. Hal ini disampaikan kepada Radit yang mewakili keluarga korban dan juga sekaligus merupakan bagian dari Kemenkop dan UKM.  

“Saya sarankan kepada saudara Radit, inikan Radit rumahnya sama dengan saya dengan kita semua di Kementerian Koperasi dan UKM, silakan saja jika dirasa ada yang kurang pas, silakan kepada Biro Hukum, kepada kepegawaian, ke inspektorat untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini karena saudara Radit masih bagian daripada Kementerian Koperasi dan UKM, terlepas dari permasalahan yang disampaikan tadi,” jelasnya.

Sementara terkait pemenuhan nafkah korban, Henra menilai hal tersebut sebagai urusan personal.

“Lembaga sudah melakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terlepas tadi tidak dinafkahi dan lain sebagainya saya pikir ini sudah masuk ke ranah privat yang bersangkutan karena mereka sudah menjadi suami dan istri,” pungkasnya. 

Kepolisian dan Kementerian Tak Berpihak Pada Korban

Aktivis JPHPKKS, Kustiah Hasim mempertanyakan penanganan kasus ini yang dinilai tidak serius dan jelas tak berpihak pada korban. 

Ia juga melihat ada sikap pengabaian oleh kementerian dan lembaga penegak hukum.  

“Saya melihat itu memang sangat begitu main-main ya penanganan kasus ini. Sampai harus dinikahkan, yang memfasilitasi pernikahan juga lembaga penegak hukum ya. Kepolisian sendiri yang melobi, seolah-olah menjadi jubirnya pelaku. Ini justru (dilakukan, red) kepolisian dan kementerian dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM,” ujar Kustiah. 

Kustiah juga menyoroti sikap penegak hukum yang tidak memiliki perspektif korban dan tidak mendukung upaya pengungkapan kasus.  

“Saya nggak bisa bayangin apa yang ada di pikiran penegak hukum waktu itu yang sangat tidak berperspektif korban dan justru jelas-jelas kayak menyalahkan korban ya. Justru empatinya ke pelaku. Bagaimana bisa ya. Kalau berperspektif korban kan seharusnya bukti sudah ada, hasil visum sudah ada. Terus waktu itu sampai di P21 lalu kemudian di tengah jalan di SP3,” papar Kustiah.

Untuk itu pihaknya mendukung upaya yang dilakukan pendamping hukum korban yakni LBH APIK Jabar, yang akan mengajukan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan kepolisian.

Kustiah juga mempertanyakan sikap Kementerian Koperasi dan UKM yang tidak menggunakan perspektif korban dalam menangani kasus pemerkosaan tersebut.

“Kementerian kan dilapori ya, kenapa perspektif yang digunakan bukan ke korban gitu. Apakah ini soal korban ini honorer dan pelaku CPNS atau ada apa sebenarnya di balik itu? Kan kalau sudah ada keterangan apalagi ada bukti seharusnya tidak perlu ragu gitu lho. Kalau kementerian yang bener kalau ada laporan begini dia berperspektif terhadap korban. Kenapa melindungi pelaku apalagi memberikan beasiswa?” ungkapnya. 

Untuk itu menurut Kustiah kementerian dan lembaga penegak hukum tidak perlu sibuk memberikan klarifikasi melainkan menjalankan tanggung jawabnya. 

“Saya berharap kementerian dan lembaga penegak hukum itu nggak usah sibuk membantah, nggak usah sibuk mengelak, tidak usah sibuk klarifikasi tapi bertanggung jawablah. Karena berandal, bandit, penjahat kelamin itu akan bersembunyi di lembaga yang memang melindungi. Kalau dilindungi kan artinya tidak ada hukuman, dibiarkan, nah itu akan berpotensi bisa makin subur, makin banyak terjadi di kementerian itu. Ini juga bisa terjadi di kementerian lain,” papar Kustiah.   

Kementerian diharapkan juga segera membentuk satgas dan menyusun panduan penanganan kekerasan seksual di instansinya. Kustiah mencontohkan Kemdikbud yang sudah mengeluarkan Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kustiah juga mendukung langkah keluarga korban untuk membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Selain menyampaikan keprihatinan saya kira patut saya memberikan dukungan kepada mas Radit untuk membawa ini ke ranah hukum karena ini kasus pidana ya mas. Ini pemerkosaan. Tidak ada alasan lagi untuk membiarkan kasus-kasus kekerasan seksual itu dianggap sebagai kasus biasa. Nanti kita akan all out mendampingi,” ujarnya. 

Baca: Kekerasan Seksual di Pesantren As Shidiqiyah Jombang,

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!