Kerja-Kerja Emosional Perempuan Pekerja Seni: Susah Payah Kami Mengusir Sensasi dan Pelecehan di Atas Panggung

Bisa ditebak, apa yang dirasakan para perempuan pekerja seni di atas panggung? Ada penyanyi dangdut yang disawer dan dilecehkan penonton, ada artis, sutradara, penari yang dilecehkan karena penampilannya. Kerja-kerja emosi ini seperti tak pernah diperhitungkan

Konde.co menghadirkan ‘Liputan Khusus Perempuan Pekerja Seni’ dari 4-5 Oktober 2022. Dalam edisi ini kami menampilkan problem kerja-kerja yang menguras emosi para perempuan pekerja seni. Liputan ini kami bagi 2, yaitu kerja emosional di atas panggung, dan kerja emosional di belakang panggung

Gendis Utoyo adalah seorang pekerja film yang pernah mengalami sexual harassment. Dalam salah satu produksi film yang ikut digarapnya, salah satu kru film tiba-tiba mendatanginya dan berbisik,” you are so sexy.”

“Disitu saya merinding, dimana posisinya disitu saya sebagai asisten sutradara dan dilecehkan karena penampilan. Padahal saya hanya pakai kaus dan tidak merasa melakukan apa-apa.”

Gendis menceritakan pengalamannya tentang betapa toksiknya bekerja di industri film yang kultur kerjanya buruk dan seperti minim sekali aturan.

“Ekosistem film ini membuat break my heart.”

Di luar itu, Gendis juga pernah ditolak oleh petugas asuransi ketika ia sedang mengurus kartu asuransinya. Petugas asuransi melihat Gendis hanyalah seorang pekerja film yang dianggap tak jelas karirnya. Padahal saat itu ia sedang terkena miom di rahimnya. Di film, hal-hal seperti mendapatkan asuransi tak diatur, maka ia berinisiatif sendiri untuk mengurusnya. 

Perempuan pekerja film yang sedang bermasalah dengan kesehatan reproduksi seperti Gendis akhirnya ditolak untuk mengakses asuransi.

Cerita serupa dialami oleh Artis film, Hannah Al Rashid. Hannah sebenarnya sudah lama mendengar banyak sekali pelecehan seksual yang terjadi di industri film, bahkan ada korban yang mengalami bebeberapa kali pelecehan. 

“Ini kondisi yang saya merasa sangat sulit, saya harus acting tapi 5 menit kemudian dilecehkan atau dipegang oleh siapa. Padahal saya harus mengerjakan tugas produksi film, karena ini kerja tim yang besar dan sangat mahal.”

Komentar dari kru film lain juga cukup beragam. Ada juga laki-laki dalam tim film yang menyatakan, bahwa ini khan cuma masalah kecil, gak kayak yang terjadi di #Metoo dimana banyak artis perempuan yang mengalami pelecehan seksual seperti di Amerika.

“Bahkan ada yang sudah tahu ada laki-laki di film yang banyak melakukan pelecehan seksual, yang adalah predator dan semua orang sudah tahu bahwa dia sudah lama jadi pelaku. Maka orang seperti ini tak boleh lagi dibiarkan ada di industri film.”

Industri perfilman sekarang menjadi contoh tentang banyaknya kasus yang diviralkan, yang dilakukan sutradara terhadap kru dan menghebohkan publik, seperti yang terjadi dalam film Penyalin Cahaya atau kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan seorang sutradara film di sebuah rumah produksi yang terkuak pada 31 Agustus 2022 lalu

“Ini harus serius karena isinya publik figur yang banyak disorot publik. Tidak hanya sutradara dan produser, tapi juga asosiasi film.”

Hannah Al Rashid memaparkan ini dalam diskusi launching riset stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang diadakan Never Okay Project dan Badan Perburuhan dunia ILO, 28 September 2022 di Jakarta

Kartika Jahja, seorang pegiat seni punya cerita yang sama. Salah satu temannya, seorang artis film dan penyanyi bernama Tiara, juga pernah mengalami pelecehan seksual oleh aktor senior film. 

Kala itu, Tiara yang masih tergolong baru di industri perfilman, sempat diajak latihan dialog di ruang terpisah. Aktor senior itu kemudian meraba paha perempuan yang juga penyanyi itu. Tak cukup itu, dia juga pernah menarik pinggul dan punggung Tiara saat sesi foto. 

“Beberapa waktu kemudian, dia (Tiara) bikin threat. Ini jadi bola salju. Para pekerja film dan TV berbagi cerita serupa ke Tiara. Ada yang pelakunya sama, ada juga yang berbeda” kata Kartika yang menyampaikan ini dalam diskusi Flexploitation (2020) secara daring, Senin (8/11/2021) yang diadakan Serikat Sindikasi. 

Ekosistem film seperti ini bagi Anggi Frisca, Presiden Indonesian Cinematographers Society (ICS), memang seperti buah simalakama. Industri film adalah kultur industri yang sudah dibangun sangat lama. Jika mereka protes, maka mereka akan kehilangan pekerjaan karena akan dipecat. Namun jika diam saja, maka flexploitation akan terus terjadi. Flexploitation adalah sebuah kerja yang sepertinya fleksibel namun ternyata penuh eksploitasi.

“Ini seperti kerja yang ada kelas-kelasnya, gak ada kontrak, loe kan kerja sama gue, jadi loe over work juga kayaknya, loe harus mau.”

Ikhsan Raharjo, Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi/ Serikat Sindikasi dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa jika mereka adalah pekerja film senior, maka mereka bisa bernegosiasi dan didengarkan keluhannya. Namun bagi pekerja film yang masih junior, baru masuk kerja, mereka biasanya diremehkan

“Seperti tidak punya posisi tawar dan harus mengikuti kultur yang sudah dibangun selama ini.”

Anggi Frisca, Ikhsan Raharjo dan Gendis Utoyo menyatakan ini dalam sebuah diskusi”Mewujudkan Ekosistem Kerja Layak Industri Film, Mungkinkah?” yang diadakan Serikat Sindikasi pada 24 Agustus 2022 secara daring.

Perempuan di Atas Panggung

Tak hanya Gendhis, Agnes Serfozo, seorang peneliti dan pesinden asal Hongaria yang bekerja di Indonesia melihat pelecehan yang kadang dilakukan oleh dalang laki-laki. Dalang laki-laki ini dalam pertunjukannya kadang menggunakan joke-joke yang melecehkan perempuan dan kadang perempuan sinden juga ikut dilecehkan. 

”Seorang dalang sempat mengajak saya jalan agar pekerjaan berjalan lancar dan berlanjut. Saya menolak dengan tegas. Keesokan harinya, oknum ini tak berani lagi mengganggu atau melecehkan. Saya mengamati, ternyata kita harus berani menolak jika tidak sesuai dengan tujuan kita di panggung itu,” ungkapnya.

Dalang perempuan Sri Harti atau Kenik Asmorowati punya pengalaman yang tak kalah beratnya. Awalnya ia dipandang sebelah mata sebagai dalang perempuan, masyarakat bertanya apa menariknya dalang perempuan itu? Intinya masyarakat masih memandang rendah kehadiran dalang perempuan karena biasanya dalang identik dengan laki-laki. 

“Ketika itu saya melihat bahwa ada beberapa dalang perempuan yang belum begitu menggerakkan panggung dan soal kebiasaan masyarakat yang hanya terbiasa melihat dalang laki-laki saja. Pertunjukan wayang itu adalah pertunjukan lakon atau tutur dan jarang menampilkan tokoh perempuan, jika ada dalang perempuan maka mereka hanya jadi pelengkap, tokoh perempuan di wayang juga akan diberikan peran kecil bahkan mereka hanya diminta untuk bilang: iya atau setuju dalam naskah.”

Maka Kenik kemudian menawarkan cerita-cerita tentang perempuan melalui panggung pertunjukannya, melalui tokoh wayang perempuan agar tak dipandang sebelah mata. Mereka mengungkapkan cerita ini dalam sebuah diskusi yang berjudul Perempuan Penawar Panggung yang diadakan Sekolah Pemikiran Perempuan di tahun 2020.

Dalam seni tari di sejumlah daerah di Indonesia misalnya, ada penari perempuan yang jika menari syaratnya harus perawan, ada penari yang syaratnya harus sudah menopause, dan ada penari perempuan yang syaratnya harus belum menstruasi.  Ini menjadi salah satu prasyarat untuk perempuan penari yang menarikan sejumlah tarian tertentu.

“Ini merupakan hal yang patriarkal yang menimpa perempuan karena ada kepercayaan bahwa jika tidak perawan maka akan ada gangguan atau hal gaib yang terjadi dalam ritual tersebut,” kata Agnes Zerfozo

Kartika Jahja juga bercerita, ada penyanyi dangdut yang sering mendapatkan pelecehan dari penontonnya. Pernah suatu kali rekan penyanyi dangdutnya yang berinisial CH bilang, pelecehan yang dialami perempuan yang berprofesi seperti dirinya bahkan seolah dinormalkan, hanya dikarenakan laki-laki yang mendominasi sebagai pelaku selama ini punya peran dalam saweran buat penyanyi dangdut. 

“Yang nanggep, yang nyawer, yang kasih kita uang kan laki-laki. (Seolah) Kita harus bisa membuat mereka senang, tidak cukup sekadar bernyanyi,” ujar Kartika menirukan ucapan CH. 

Penyanyi dangdut perempuan, kata dia, harus ‘tahan banting’ jika masih mau naik pentas. Di kalangan para penyanyi dangdut, bahkan senior, mereka akan mewariskan pemikiran tersebut kepada para yuniornya di panggung. 

“Panas hujan harus tetap goyang panggung. Kadang kita dipuja, kadang dihujat, kadang dibelai, kadang diludahi. Kalau tidak siap begitu, minggir. Yang mau menggantikan dia sudah antri,” ucap penyanyi dangdut lainnya, DH, yang diceritakan oleh Kartika. 

Kondisi Kerja Emosional Menguras Emosi

Ketua Komite Teater Dewan kesenian Jakarta (DKJ) Bambang Prihadi dalam artikel yang ditulis oleh Devi P. Wiharjo di Konde.co di tahun 2022 mengakui bahwa kemaskulinitasan di dunia seni dan teater memang terasa kental.

“Perempuan yang ingin meraih cita-citanya sebagai seniman maka dibutuhkan kerja keras sebagaimana laki-laki, kesempatan saat ini terbuka luas untuk perempuan memosisikan diri sebagai profesional dalam kesenian teater,” jelasnya.

Banyak yang menyatakan bahwa sejatinya perempuan sangat ditunggu karyanya di dunia teater atau dunia panggung, namun di satu sisi maskulinitas di panggung teater justru kerap tak disadari.

Terkait dengan kasus kerentanan di panggung teater terutama pelecehan seksual, Bambang menilai pelecehan ini tak hanya terjadi di panggung teater, namun pelecehan juga terjadi di manapun.

“Dalam panggung teater setidaknya ada kesadaran dan tanggung jawab moral organisasi kelompok agar mengadvokasi bila terjadi pelecehan seksual, melindungi perempuan dari hal yang merugikan diri dan mencemarkan nama organisasi.”

Riset yang dilakukan Koalisi Seni menemukan data bahwa perempuan pekerja seni memang lebih terbebani karena kerja-kerja emosional ini, kerja-kerja yang menguras emosi karena industri seni seperti punya ekspektasi yang berbeda terhadap pekerja perempuannya ketimbang pada pekerja seni laki-laki.

Kondisi kerja emosional ini meliputi segala bentuk pengelolaan emosi pribadi di tempat kerja yang ditampilkan ke orang lain, bagaimana menangani emosi, dan mengubah emosi.

Bentuk kerja emosional itu bisa berupa ketika kita dituntut untuk menampilkan sesuatu yang maskulin, menjaga reputasi, menghadapi perundungan secara baik-baik saja, menjaga citra di media sosial, dan di satu sisi kita harus berinteraksi sosial, tidak boleh mengeluh, harus bisa mengelola psikologi atau emosional kita. Berat memang. Makanya kerja emosional ini sering memicu kelelahan fisik, depresi, paranoia, kelelahan mental, dan sakit kepala.

Banyak responden dalam riset juga bekerja tanpa perlindungan yang memadai. Dukungan hanya bisa diharapkan dari keluarga atau komunitas mereka. 

Kondisi ini kemudian diperburuk karena tidak adanya dukungan kesehatan seperti asuransi kesehatan maupun penggantian biaya berobat. Perlindungan di tempat kerja dalam bentuk forum diskusi atau serikat pekerja pun belum dimiliki secara rata di banyak tempat kerja.

“Perempuan dianggap punya sifat feminin seperti kooperatif, perhatian, merawat, dan ramah. Sifat itu dianggap terberi dan alamiah untuk perempuan, padahal kenyataannya tidak. Dampaknya, perempuan yang jadi pekerja seni harus menanggung beban kerja emosional,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya, pada saat peluncuran survei(16/12/2021).

Riset Koalisi Seni tersebut dilakukan dengan survei daring yang melibatkan 202 responden. Ada juga analisis wawancara mendalam dengan 9 narasumber yang berasal dari perempuan (cisgender maupun transgender) yang bekerja di sektor seni dengan peran di balik layar dan menangani interaksi publik secara intensif.

Secara umum, hasil survei menunjukkan, jika perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas kerja tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali keterampilan kerja yang cukup, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang. Selain itu, banyak responden yang diupah sangat rendah. Perempuan pekerja seni juga dihadapkan pada intensitas kerja tinggi yang mencakup: kecepatan kerja tinggi, tenggat waktu pendek, keharusan mengelola banyak pekerjaan sekaligus, dan beban kerja emosional yang besar.

Para perempuan ini harus bekerja dalam kondisi kerja yang tidak sepenuhnya aman. Hampir separuh responden (46%) mengaku bekerja tanpa kontrak tertulis. Terus lebih dari 25% pernah mengalami kekerasan di tempat kerja setidaknya sekali dalam setahun terakhir. Bentuk kekerasan bisa kekerasan fisik, pelecehan seksual, atau perundungan. Perundungan yang paling sering terjadi, disusul kekerasan seksual dan kekerasan fisik.

Kerja emosional, sebagai salah satu aspek kerja yang paling intens, dilakukan di tengah kondisi ketidaksetaraan, atau ketimpangan yang dilanggengkan. 

Hasil wawancara yang fokus pada aspek kerja emosional menunjukkan, pekerja seni perempuan menghadapi berbagai bentuk ketimpangan yang dilanggengkan melalui seksisme, misogini, dan transfobia; kaburnya relasi kerja; dan tidak adanya kebijakan yang berpihak pada hak pekerja seni perempuan.

Ketiga hal ini membuat pekerja seni perempuan harus melakukan kerja emosional ekstra dan menanggulangi risiko kerjanya sendiri.

Praktik seksis dan patriarkis terwujud dengan kurang dilibatkannya pekerja perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Sebanyak 7 responden melapor langsung ke pimpinan atau pendiri laki-laki. Beberapa di antaranya memimpin dalam jangka waktu yang panjang, bahkan sepanjang organisasi tersebut berdiri.

Pada lembaga dan perusahaan yang berpusat pada satu figur laki-laki, keputusan pimpinan seringkali diambil tanpa mendiskusikannya terlebih dulu dengan anggota lain dan tidak bisa digugat.

Beberapa responden menyebut, pemimpin lelaki menentukan visi dan target, tapi tanggung jawab pencapaiannya dibebankan ke pekerja perempuan. Pada sebagian besar kasus, narasumber tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan di tempat kerja mereka.

Sikap misoginis tampak ketika perempuan harus bekerja lebih keras dari kolega mereka yang lelaki untuk mencapai pengakuan yang setara. Selain itu, isu perempuan dianggap sebagai hal yang tidak penting atau bahkan dianggap tidak ada oleh kolega laki-laki.

Narasumber juga menyebutkan kalau kolega lelaki kerap menganggap mereka tidak kompeten dalam pekerjaan karena mereka adalah perempuan. 

Panggilan meremehkan juga ditujukan pada perempuan, seperti:

“Ibu-ibu arisan” 

“cewek-cewek rumpi”  yang kerap dilontarkan kepada pekerja perempuan.

Survei juga menemukan hanya sebagian kecil yang diberikan pembekalan khusus dalam meningkatkan kapasitas oleh tempat kerja mereka. Sebagian besar responden mengembangkan sendiri kapasitas dirinya dengan terjun langsung ke pekerjaan.

Sebagian besar responden juga gak punya wadah khusus untuk menyampaikan aspirasi mereka di tempat kerja.

Kemapanan dan prospek kerja menjadi salah satu isu yang menonjol bagi para perempuan pekerja seni, di mana 41 responden sangat yakin mereka bisa kehilangan gaweannya dalam waktu 6 bulan. Sementara 15 responden sangat setuju kalau pekerjaannya sekarang tidak memberikan prospek karir yang baik.

“Kondisi penghasilan juga bisa dibilang mengkhawatirkan, dengan 41% responden mengaku kalau upah kerja mereka belum memenuhi standar UMR,” terang Ratri.

Kondisi kerja buruk ini berbanding terbalik dengan tingginya motivasi kerja perempuan pekerja seni. 

Tingginya motivasi di tengah buruknya kondisi kerja bisa berdampak pada pemakluman dan pelanggengan eksploitasi serta pensiunnya pekerja dari sektor seni budaya.  Kesepenuhhatian pekerja pada sektor seni perlu diakui dan dihargai melalui mekanisme perlindungan resiko kerja yang memadai, baik di tingkat peraturan dan perundangan, maupun kebijakan khusus di tempat kerja.

Perempuan Pekerja Seni Tak Dilibatkan Dalam Pengambilan Keputusan

Menyikapi situasi yang terjadi pada pekerja seni, Naomi Srikandi, seorang aktris, pengarang dan sutradara teater menekankan soal penyebabnya. Ini tak lain karena keterlibatan strategis perempuan di kesenian yang selama ini masih sangat minim. Perempuan jarang sekali menjadi pengambil keputusan (decision maker) atau inisiator. 

Perempuan di kesenian selama ini banyak dianggap hanya sebagai pendukung (support system). Kaitannya dengan reproduksi ketika persiapan sebelum pentas ataupun mengurusi keberlanjutan karya. Sedangkan, perihal produksi karya belum mendapatkan banyak tempat. Seringkali perempuan di kesenian juga dilibatkan dalam konteks “balas jasa”. Sebab dia sudah banyak membantu urusan admin atau hal teknis. 

“Kalau ada yang melakukan itu, misalnya laki-laki, wah keren ya kamu ngasih kesempatan ke perempuan. Wah kamu ini yang sutradaranya perempuan, mementaskan naskahnya perempuan. Sebagaimana dalam rumah tangga kalau laki-laki masak itu yang ‘hebat’. Saking itu tidak mainstream,” ujar Naomi dalam wawancara khusus dengan Konde.co, Senin (26/9).  

Naomi tak menyangkal bahwa konstruksi patriarkis yang misoginis di dunia kesenian memang terjadi. Dia mencontohkan, kebiasaan yang kadung maskulin banyak memposisikan perempuan jadi harus punya standar “tahan banting dan keras.” 

Bahkan, ada pula situasi yang menyangkut dengan kondisi biologis perempuan yang dianggap tidak produktif.  Ia menirukan ucapan misoginis yang pernah Ia dengar. 

“Masa sih aku mau ngerekrut manajer yang sedang hamil, dia kan gak produktif.”

Di tengah situasi ini, dia mengaku, ada sisi kagum dan bangganya juga dengan generasi saat ini yang lebih sadar atas konstruksi patriarki yang ada di dunia kesenian. Salah satunya seniman perempuan yang dia sempat temui beberapa waktu lalu. 

“Ada seorang perempuan perupa di Jogja, ada seorang kurator laki-laki yang mansplaining ke dia mesti gimana, bagaimana harus posting di sosmed, dan dia call out, caranya itu bagus banget, elegan, tegas, meskipun dalam keadaan marah, tapi yang dia keluarkan itu reflektif. Itu membanggakan sekali,” ujar perempuan yang pernah berafiliasi di Teater Garasi sejak 1994 ini. 

Kesadaran itulah yang menurutnya penting lebih masif lagi dibangun. 

Naomi yang juga merupakan Co-Founder Perempuan Lintas Batas (Peretas) ini, menggerakkan Peretas sebagai upaya meretas definisi stereotipikal dan konstruksikal atas identitas perempuan. Peretas mengambil posisi sebagai salah satu inisiator untuk menguatkan jaringan di pekerja seni. 

“Kami mencari kawan-kawan mengaku diri perempuan. Kami menyadari perempuan itu ada identitas gender, bukan organ seksual atau satu peran yang demikian hegemonik tertentu dan memiliki daya laku, dan melihat posisi (setara) sebagai perempuan, adalah sesuatu harus direbut,” kata perempuan yang pernah berkolaborasi dengan Intan Paramaditha dalam karya Goyang Penasaran (The Obsessive Twist)

Peretas selama ini mengembangkan siasat feminis dalam seni budaya, yang membongkar sejumlah kata kunci, bagaimana agar bisa ditelaah bersama. Seperti, apa itu tubuh, kuasa, perempuan, dan lainnya. Singkatnya, unpacking (membongkar) jadi kata kunci dalam kerja-kerjanya. 

Contoh kerja Peretas juga bisa berupa mengumpulkan para peneliti untuk menyodorkan bacaan dan telaahnya tentang bagaimana metode kerja seni budaya yang berperspektif gender. Terbaru, Peretas juga akan menerbitkan kumpulan surat-surat yang mengandung pelajaran feminisme. Baik itu karya pribadi, solidaritas surat terbuka, cerpen, puisi yang bernuansakan surat. 

“Sudah terkumpul, sedang disusun, ditangani editor, itu kami kira satu cara penting bagaimana mendukung inisiatif-inisiatif yang menawarkan kesegaran cara untuk membicara persoalan-persoalan,” kata dia. 

Upaya membangun kesadaran itu, menurut Naomi, juga sama pentingnya dengan terus menghidupkan inisiatif-inisiatif akar rumput. Meskipun tampak kecil, tapi begitu penting dilakukan. Bagaimana mereka menawarkan satu alternatif, cara baca atas kenyataan. Tak terkecuali, inisiatif penting dari orang-orang dengan disabilitas hingga keragaman gender dan seksualitas. 

Naomi pernah menjumpai salah satu inisiatif yang begitu menarik dan memberdayakan. Komunitas tuli yang mendobrak narasi pertunjukkan seni tari yang nyatanya bukan hanya soal teknis dan estetika. Namun, bagaimana seni tari bisa menjadi sarana komunikasi dan terhubung dengan sekitar. Mereka menari dengan bantuan bahasa isyarat dan melebur dengan masyarakat. 

“Mereka juga inisiatif buat film dokumenter dan bagaimana mereka membangun dialog orang dengan disabilitas tuli dengan orang dengar. Dan bagaimana mengadvokasi untuk perempuan tuli korban kekerasan berbasis gender bisa diupayakan,” tambah Naomi. 

Tak kalah penting, siasat untuk terus menciptakan ruang aman di dunia seni juga semestinya harus terus digerakkan. Nilai-nilai kesetaraan harus terus dibangun. Jika tidak diberikan, maka cara lainnya adalah dengan direbut dan diperjuangkan. Tak patah arang jika pun dihadang.

“Kita harus bersiasat, bagaimana gerakan-gerakan akar rumput itu gak boleh dijinakkan. Bagaimanapun caranya meskipun kita harus melakukannya dengan tiarap. Bahkan kalaupun kita harus merangkak, itu harus kita lakukan,” pungkasnya.

(Tulisan ini merupakan bagian dari program Deepening Impact for Women Activators (DIWA) Media Fellowship yang diselenggarakan oleh ASHOKA)

Nurul Nur Azizah dan Luviana

Nurul Nur Azizah dan Luviana, Redaktur dan Pemimpin Redaksi Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular