Mahsa Amini, Nyawa Perempuan Lebih Penting dari Selembar Kain

Kematian perempuan Iran, Mahsa Amini menjadi penyulut perlawanan perempuan di seluruh dunia menolak berbagai pengaturan dan pembatasan atas tubuh mereka. Karena perempuan berhak hidup dan beragama dengan cara yang bahagia.

Mahsa Amini, perempuan Iran meninggal di tahanan. Ia ditangkap oleh polisi moral Iran dan dihukum karena dinilai tidak mengenakan jilbab dengan benar.

Kematian Amini kemudian menyulut solidaritas perempuan di seluruh Iran bahkan dunia untuk berjuang dan melawan berbagai pembatasan yang ingin diterapkan pada tubuh dan kehidupan mereka.

Di Indonesia, para aktivis perempuan kemudian melakukan orasi atau open mic untuk melakukan aksi solidaritas atas kematian Mahsa Amini dan apa yang dialami perempuan di Iran.

Aktivis muda Aceh, Khalida Zia mengisahkan bagaimana ‘kerja-kerja’ di Aceh tak bisa lepas dari penilaian atas baju dan tubuh perempuan. Lihat saja yang terjadi pada aktivis lingkungan, Farwiza Farhan yang kesehariannya bekerja untuk merawat kelestarian alam Leuser, Aceh. Ia pernah dicaci maki karena tidak mengenakan jilbab.

“Cacian yang diterimanya melebihi cacian terhadap mereka yang melakukan korupsi atau bahkan kekerasan seksual.”

Khalida Zia juga mengisahkan bagaimana perempuan di Aceh kemudian juga  diatur di hampir semua lini kehidupannya. Bukan hanya dalam berpakaian atau cara mengenakan jilbab, tapi juga cara membonceng kendaraan pun diatur, waktu berkegiatan yang diatur, dan masih banyak lagi.    

Dari Padang, Sumatera Barat Ebriska Sagala yang non muslim dipaksa mengenakan jilbab sejak duduk di bangku SMP hingga SMK.

“Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup karena merasa tertekan akibat diskriminasi yang dialaminya sebagai minoritas,” kata Ebriska.

Dari Bima Nusa Tenggara Barat, Profesor Atun Wardatun mengaku resah melihat penggunaan jilbab sudah diwajibkan sejak bangku sekolah dasar. Meski di daerah itu sejak lama mengenal tradisi rimpu yang diterapkan pada perempuan dewasa.  

Dari Maluku, ada kisah bagaimana ada mahasiswi yang tidak diizinkan masuk ruang kuliah. Karena meski berjilbab, dia menggunakan celana panjang, dan bukan rok panjang. 

Di Jakarta, Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah, dan banyak perempuan lain mengaku pernah ditegur orang yang tidak dikenalnya karena orang tersebut menilai cara berjilbab mereka tidak benar.

Kisah-kisah pengaturan kehidupan perempuan termasuk pengenaan jilbab ini terungkap dalam acara Open Mic Solidaritas untuk Iran: “Nyawa Perempuan Lebih Penting dari Selembar Kain” pada Selasa (4/10/2022) yang dihelat Association Moslem Action Network (AMAN) Indonesia.

Open mic yang menghadirkan aktivis perempuan dari berbagai pelosok Tanah Air ini menjadi cermin keresahan para aktivis perempuan menyikapi fenomena pemaksaan jilbab yang ditemukan di banyak daerah di Indonesia.

Kisah dan kesaksian mereka menunjukkan betapa masifnya upaya untuk membakukan cara penggunaan jilbab yang benar menurut kelompok tertentu yang lantas disebutkan sebagai standar moral.

‘Polisi moral’ ini bisa ditemukan di mana-mana, termasuk di Indonesia. Dia bisa siapa saja, tak hanya tokoh agama atau guru agama. Tapi bisa orang terdekat seperti keluarga kita, seorang guru olahraga, youtuber, selebritas, teman atau bahkan orang yang sama sekali tidak pernah kita temui.

Mirisnya, aturan ini seolah dibakukan. AMAN Indonesia mencatat sebanyak 50 ribu sekolah di 24 provinsi yang siswanya mayoritas muslim mewajibkan penggunaan Jilbab. Demikian juga dengan Mereka yang tidak mengenakan jilbab dikucilkan, sehingga menimbulkan tidak nyaman, dan sebagian korban ingin bunuh diri.

Rubiyanti Kholifah menegaskan bahwa pengaturan ini bertentangan konstitusi Negara dan esensi ajaran agama. Karena, ujarnya, tidak ada satu pun agama di dunia yang membenarkan pemaksaan dalam penyebaran ajaran agama.

“Saya meyakini ajaran agama harus mengutamakan kemanusiaan di atas segalanya,” ujarnya.

Yuni Chuzaifah, mantan Ketua Komnas Perempuan 2010-2014 mengamini. Ia menyebut apa yang menimpa Mahsa Amini mewakili potret perempuan di banyak negara di dunia. Di mana pikiran, tubuh dan perilakunya diatur sedemikian rupa sehingga mereka tak bisa menjadi dirinya sendiri.

Penafsiran agama yang patriarkis telah menempatkan perempuan sebagai manusia subordinat yang seluruh hidupnya seolah bisa diatur oleh orang lain.  Ketika negara terlalu masuk ke agama, maka kekerasan berpindah lokus dari ranah publik hingga jauh masuk ke ranah domestic, termasuk dalam pakaian dan tubuh perempuan yang seharusnya menjadi kebebasan setiap orang.

“Perempuan harus merebut ruang aman, untuk bagaimana kita menentukan sendiri hidup kita termasuk dalam cara berpakaian,” tegas Yuni.    

Pemimpin redaksi Konde.co, Luviana mengatakan tragedi yang menimpa Mahsa Amini memberikan magnet perjuangan untuk media-media di dunia, memberikan kesadaran kepada media tentang pentingnya berjuang.

“Kita jangan sampai tunduk pada kebijakan selembar kain dan publik harus mengetahui persoalan ini melalui media,” ujarnya

Pembatasan media massa di Iran, termasuk jaringan internet, membuat pemerintah Iran memperoleh sorotan tajam dan semakin tersudut. Media di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia terus mengawal kasus kematian Mahsa Amini. Hal ini menunjukkan pentingnya solidaritas internasional bagaimana media dan kampanye-kampanye ikut membuka ruang ruang baru

Berbagai media di dunia yang menyoroti bagaimana pemerintah Iran terlalu jauh masuk ke ranah privat terkait dengan hak berbusana sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Penerapan otoritas negara dalam ranah privat telah menyebabkan Mahsa Amini tewas. Kematian Amini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Kemarahan publik sebagaimana yang tercermin dari berbagai reportase reportase media juga diakibatkan rendahnya kredibilitas pemerintah Iran. Tidak ada upaya serius dari pemerintah Iran untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan keterlibatan dan kelalaian aparat pelaksana teknis terkait kasus tersebut.

“Kasus Amini membuka mata bahwa media jangan lagi mempertentangkan hal ini (kebijakan pemaksaan jilbab oleh Negara, red) atas nama kebijakan redaksi, atas nama situasi, maupun atas nama pendapatan dan iklan. Pemaksaan jilbab adalah pembunuhan kebebasan berekspresi yang harusnya diperjuangkan di media,” tandasnya.

Perempuan selalu jadi tertuduh

Jika bicara soal moralitas dan integritas, perempuan sering menjadi pihak tertuduh. Masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan, moralitas akan terjaga jika hidup dan tubuh perempuan diatur sedemikian rupa. 

Atas nama moral atau agama, eksistensi perempuan dibatasi bahkan hendak ditiadakan mulai dari cara berpakaiannya. Kesalehan perempuan lantas diukur dari caranya berpakaian. Tak sebatas apakah dia berjilbab atau tidak, tapi juga jilbab seperti apa yang dia kenakan. 

“Bicara soal pakaian bukan tafsir tunggal, cara berpakaian adalah hak untuk berekspresi perempuan,” tegas Suraya Kamaruzzaman dari Balai Syura Aceh yang telah lama berjuang melawan pembatasan berpakaian di Aceh.

Ia menegaskan setiap daerah, dan bahkan setiap orang punya caranya sendiri dalam beragama dan berpakaian. Suraya  menegaskan, kasus Amini harus menjadi penyulut api perjuangan dan menjadi mengingat, bahwa apa yang disuarakan banyak perempuan sejak lama hingga hari ini tidak boleh berhenti. 

Perlawanan terhadap pengaturan tubuh perempuan harus terus disuarakan di seluruh Indonesia, agar apa yang terjadi di Iran tidak sampai terjadi di Indonesia. Kesalehan seseorang tak ditentukan dari caranya berpakaian apalagi dari selembar kain yang menutupi kepalanya. 

Nyawa setiap manusia harus dihargai setara. Ketika masyarakat tidak bisa menghargai manusia sebagai manusia hanya akan melahirkan kekerasan dan diskriminasi Perempuan apapun agamanya berhak untuk beragama dengan cara bahagia. Perempuan berhak mencintai agamanya dengan cara yang dipilihnya. 

“Cara beragama yang dipaksakan hanya akan melahirkan penolakan, dan yang lebih buruk adalah membuat orang tidak lagi percaya pada agama,” pungkas Ufi Ulfiyah dari Fatayat NU.

Foto: Deutsche Welle

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!