Malam Minggu Kesepian, Mesti Hubungi Siapa?: Pengalaman Perempuan

Gimana cara kamu mengatasi kesepian? Sepertinya ini biasa dirasakan semua orang. Ada yang langsung bisa ketemu teman, tapi ada juga yang milih untuk ditemani anjing dan kucing, ada juga yang milih terhubung dengan teman-temannya di medsos. Sah-sah saja kalau kita menanyakan: kenapa bisa kesepian dan harus menghubungi siapa jika kesepian?

Punya pengalaman bekerja menjadi groomer salon anjing dan kucing membuat saya tidak heran saat kerap menerima permintaan pelanggan yang tinggal di apartemen untuk mendandani anjing dan kucing mereka. 

Kenapa mereka tetap memelihara binatang padahal pihak pengelola apartemen sudah melarang keras? Ada yang diam-diam memasukkan anabul kesayangannya ke dalam ransel saat akan membawanya jalan-jalan keluar apartemen, deg-degan akan ketahuan membawa hewan oleh penghuni lain saat di lift, serta memasang peredam suara agar suara gonggongan dan meongan tidak terdengar keluar. 

Semua itu rela dilakukan demi: mengusir rasa kesepian. Kalau ada anjing dan kucing, paling tidak ada yang menemani mereka mengusir kesepian. Betapa sulitnya mengusir kesepian.

Menjadi pekerja yang disibukkan dengan pekerjaan dan kehilangan waktu sosial, tentu membuat frustasi. Apalagi jika tinggal di kubik dengan sejauh mata memandang hanya sekat tembok seperti di apartemen atau kos-kosan yang menambah perasaan frustasi tadi menjadi terisolasi. 

Pulang kerja dalam keadaan lelah dan hampa. Tidak, kita tidak tinggal di hutan yang sepi atau sebuah pulau tak berpenghuni. Gedung apartemen memiliki banyak penghuni, tapi masing-masing sibuk dengan urusannya. Tidak tinggal sendirian, namun merasa kesepian.

Bukan hanya perempuan single yang sudah menikah pun mengalami problem serupa. Sebut saja Desy, seorang pekerja yang memutuskan resign setelah menikah, tidak mengira hidupnya akan kesepian setelah tidak lagi rapat atau makan siang bersama dengan teman-teman kerjanya. 

Saat hari Sabtu, kadang ingin menghubungi teman-teman, namun mereka juga punya keluarga masing-masing. Sementara suami, ah beberapa hal dalam pernikahan telah sukses membuatnya kecewa. Jika ia mengatakan bosan dan kesepian, pasti suami akan mengajaknya ke rumah keluarganya seperti yang rutin mereka lakukan dulu, namun berkunjung ke mertua ada saja yang membuat berselisih paham, sehingga Desy meminta sekali-sekali saja kesana. 

Mencoba pergi berlibur berdua dengan suami juga pernah dicobanya, namun sepanjang waktu juga hanya merasa bosan dan sedih karena mereka kehabisan topik pembicaraan. 

Desy sering merasa frustasi karena suami yang diharapkan dapat memberi ganti kasih sayang dari kesepiannya, ternyata tidak terjadi. Perbedaan pandangan, tujuan, kebiasaan, ego, segalanya membuat suami istri ini menjadi asing satu sama lain.

Sebuah studi tahun 2016 yang dipimpin oleh ahli epidemiologi Universitas Newcastle Nicole Valtorta, PhD,  mengaitkan kesepian dengan peningkatan 30 persen risiko stroke atau perkembangan penyakit jantung koroner ( Heart , Vol. 102, No. 13 ). 

Valtorta mendapat hasil bahwa risiko kesehatan yang tinggi dari individu yang kesepian kemungkinan berasal dari beberapa faktor gabungan: perilaku, biologis, dan psikologis. “Kurangnya dorongan dari keluarga atau teman, mereka yang kesepian dapat terjerumus ke dalam kebiasaan yang tidak sehat,” kata Valtorta. “Selain itu, kesepian telah ditemukan meningkatkan tingkat stres, menghambat tidur dan, pada gilirannya, membahayakan tubuh. Kesepian juga dapat meningkatkan depresi atau kecemasan.”

Menjadi kesepian dan tidak enakan juga sulit. Walau telah menjadi teman yang baik dengan mendengar cerita, menemani saat mereka butuh, tapi meminta mereka melakukan sebaliknya untuk kita bukan hal yang mudah bagi tipe orang tidak enakan. 

Opsi seperti menyetel Spongebob sampai tertidur, berolahraga, melakukan hobi lebih dapat menjadi pilihan ketimbang meminta orang lain menemani kita. Bahkan kesepian mungkin saja mengalahkan ketakutan terhadap hantu, bertemu kuntilanak alih-alih ketakutan, mungkin malah dijadikan bestie untuk teman cerita, tapi bagaimana memintanya pergi setelah selesai cerita ya? 

Banyak hal konyol bahkan mungkin dapat disesali sebagai efek kesepian. Membelanjakan uang tanpa sadar sebagai upaya menghibur diri, mencari perhatian publik dengan menyakiti atau membully orang asing di media sosial, atau sampai menjalani hubungan romantis dengan sembarang orang dapat terjadi saat sedang kesepian.

Apakah saya memiliki seseorang yang dapat saya ceritakan masalah saya? Apakah seseorang itu benar-benar dapat dengan tulus mendengar saya tanpa menghakimi dan menasehati saya sesuai pandangan pribadinya yang belum tentu sesuai dengan saya? 

Atau apakah saya harus mencari pasangan seperti orang-orang? Tapi bagaimana bila nanti ia menuntut ikatan serius? Saya belum siap untuk berbagi kehidupan bersama orang lain yang belum benar-benar saya percayai. 

Bagaimana jika kesepian ini hanya temporer dan saya ternyata tidak benar-benar mencintainya? Bukankah ini tidak adil baginya jika tahu bahwa kehadirannya untuk mengisi kesepian saja? Sekadar teman jalan saja di malam minggu. 

Eva Suryani dan Nikholas Hardi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta pernah menulis di The Conversation bahwa  kesepian menunjukkan potensi bahaya terhadap manusia. Kita perlu memperhatikan tanda-tanda kesepian dan mulai mengatasinya sejak dini sebelum semakin berat kasusnya.

Kesepian berbeda dengan kesendirian yang dilakukan secara sadar dan mampu menjaga keseimbangan antara interaksi sosial dan perilaku menyendiri. Seseorang dapat mempersepsikan dirinya kesepian saat hanya seorang diri dan tidak diinginkan orang lain, seperti ditolak, berpisah, atau ditinggal oleh orang lain.

Saat ini, belum ditemukan data yang konsisten terkait faktor risiko terjadinya kesepian, seperti kelompok usia dan jenis kelamin tidak selalu berkaitan dengan kesepian pada temuan setiap studi.

Faktor risiko yang membuat seseorang rentan mengalami kesepian dapat berupa orang dengan masalah kejiwaan, gangguan fisik kronis, dan jarang berinteraksi sosial. Bisa juga karena masalah ekonomi selama situasi pandemi seperti menurunnya penghasilan pegawai, meningkatnya angka pengangguran.

Eva Suryani dan Nikholas Hardi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta menulis di The Conversation soal cara mengatasi kesepian:

1. Kamu perlu membentuk pikiran yang positif mengenai pengalaman kesepian

Seseorang perlu merefleksi diri mengenai pengalaman kesepian dan suasana perasaan sendiri. 

2. Kamu perlu berupaya untuk menjalin relasi sosial

Kesepian merupakan tanda perlunya untuk menjangkau lingkaran sosial, termasuk teman lama dalam daftar kontak atau kelompok percakapan di aplikasi percakapan. Interaksi dimulai dengan mengucapkan salam secara rutin kemudian melanjutkan percakapan hingga interaksi sosial dapat dipertahankan.

Proses komunikasi yang telah berjalan membantu mengurangi kesepian.

3. Kamu Perlu Pertahankan aktivitas rutin

Seseorang perlu mempertahankan aktivitas yang sehat dan rutin termasuk memastikan kebutuhan primer seperti makan atau tidur telah terpenuhi dengan baik. Rutinitas harian sebaiknya dilakukan secara terstruktur meski lebih banyak aktivitas di rumah.

4. Carilah bantuan dari tenaga profesional

Individu memerlukan bantuan orang lain saat saat belum berhasil mengatasi kesepian dan perasaan tidak nyaman. Komunitas dukungan mitra bestari dapat membantu mendengar masalah, memberikan opini, hingga membantu menghubungkan dengan profesional kesehatan mental.

Profesional kesehatan mental telah terlatih untuk memberikan dukungan dan berusaha memahami permasalahan yang dialami seseorang. Kini intervensi profesional dapat diperantarai media digital melalui bantuan aplikasi atau tele-konsultasi yang meliputi pemberian informasi edukasi, perantara layanan konsultasi, pengkajian kesehatan mental, dan intervensi terapi.

Tetap semangat, malam minggu yang seharusnya berharga habis untuk mempertanyakan miskinnya hubungan sosial dengan orang lain, sementara Senin harus kembali menghabiskan waktu kembali bekerja.

Bagaimana dengan malam minggumu?

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!