Pada 9 Mei 2022, Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang merupakan terobosan hukum terbaru yang diharapkan bisa melindungi setiap warga negara Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual bukan datang dari ruang kosong, ia ditemukan berdasarkan analisa mendalam dari laporan kerja-kerja panjang lembaga pengada layanan, Women Crisis Center/ WCC dan pendamping korban, baik di tingkat komunitas atau individu di seluruh Indonesia serta laporan-laporan yang masuk ke Komnas Perempuan
Keluasan pemaknaan kekerasan seksual dalam UU TPKS ini menjadi harapan baru terutama bagi penyintas kekerasan seksual yang mencari keadilan dan pemulihan yang komprehensif. Dan tugas untuk membumikan keluasan bentuk kekerasan seksual ini adalah menjadi tanggung jawab berbagai pihak, salah satu yang terpenting adalah media. Namun tak semua media memperjuangkan kepentingan perempuan.
Untuk berita kekerasan seksual, media secara kasar terbagi menjadi dua entitas. Ada kelompok media yang berpegang teguh pada aturan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan menghormati hak-hak penyintas. Tetapi ada media, terutama media yang mementingkan clickbait yang dengan sesuka hatinya memberitakan kasus kekerasan seksual tanpa mengindahkan Kode Etik Jurnalistik, seperti menuliskan identitas, mengambil berita dari sumber yang tidak kredibel, tidak menuliskan narasumber sama sekali, mencampurkan opini pribadi, dan bahkan mengambil sudut pandang berita dari sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus. Meskipun media tersebut adalah media resmi yang terverifikasi oleh Dewan Pers sekalipun.
Apalagi di zaman sekarang semua orang bebas membuat akun sosial media, akun blog, akun YouTube dan berlomba menyampaikan berita dengan keakuratan yang diragukan dan menggunakan bahasa-bahasa yang bombastis demi mengejar traffic, tapi mestinya menghormati kode etik adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.
Berita-berita sepotong juga jadi masalah tersendiri karena kebutuhan minimum berita yang dinaikkan setiap harinya, sehingga satu berita utuh dipotong-potong menjadi berbagai berita yang sebetulnya intinya sama sekali tidak memberitakan apa yang seharusnya diberitakan.
Berita kekerasan seksual tidak jarang berakhir menjadi ajang penghakiman kepada penyintas karena disajikan tidak dengan keakuratan dan perspektif penyintas, kasus yang sejatinya merupakan kekerasan seksual dengan pemberitaan yang salah dianggap menjadi tindakan suka sama suka dan ini kerap terjadi terutama dalam kasus pemaksaan aborsi, perkosaan remaja dan kekerasan seksual berbasis siber.
Penggunaan diksi yang salah tidak hanya berakibat penyintas tidak bisa mendapatkan keadilan dan pemulihan tetapi menjadikannya mengalami kekerasan dua kali, identitasnya disebar dan ia mendapat stigma buruk dari sekitarnya.
Peran media dalam menyiarkan kasus kekerasan seksual memang seperti pedang bermata dua, tapi tidak dapat dipungkiri ada kasus-kasus kekerasan seksual yang awalnya tidak mendapat perhatian khusus dari aparat akhirnya bisa selesai dan penyintas mendapat keadilan berkat kerja media melalui pemberitaan yang masif dan menekan agar kasus diselesaikan dengan adil dan semestinya.
Salah satu dukungan terbesar hingga disahkannya UU TPKS pun tidak lepas dari peran besar media yang terus menerus memberitakan tentang progress dari UU ini saat masih jadi RUU dan tertahan bertahun-tahun di DPR tanpa ada kemajuan yang berarti.
Setelah RUU ini sah menjadi UU, tentu peran media tidak berhenti sampai sana, sekarang tugas media adalah memperbaiki diksi-diksi yang digunakan dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual sesuai dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tercantum dalam UU TPKS.
Untuk itulah diperlukan kerjasama yang konsisten antara Komnas Perempuan, lembaga pengada layanan, WCC dan komunitas-komunitas yang peduli pada isu kekerasan seksual dengan media melalui pelatihan-pelatihan untuk memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam UU TPKS dan UU TPKS itu sendiri secara utuh agar setiap media memahami penjelasan dari bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut dan bisa menggunakan bentuk kekerasan seksual yang tepat untuk menuliskan berita.
Jika media yang turut mengawal kasus ini dengan pemberitaannya juga menggunakan diksi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berada di UU TPKS, maka masyarakat akan terpantik untuk mengetahui bentuk-bentuk lain kekerasan seksual selain perkosaan dan pada akhirnya, berkat pemberitaan media yang menggunakan diksi tersebut maka masyarakat mengetahui bahwa bentuk kekerasan seksual itu beragam dan bisa turut mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menuntut pelaku tidak hanya dengan satu bentuk kekerasan seksual tapi beberapa bentuk sekaligus agar masa hukuman menjadi maksimal (meskipun tidak bisa lebih dari maksimal masa tahanan yang diatur dalam UU).
Memang belum tersedia panduan khusus untuk penulisan berita kekerasan seksual dan ini juga jadi PR penting bagi Dewan Pers untuk sesegera mungkin membuat panduan khusus penulisan berita kekerasan seksual serta frasa-frasa yang harus digunakan di dalamnya sebagai bagian dari membumikan bentuk-bentuk kekerasan seksual agar media bisa memainkan perannya yang maksimal sebagai corong informasi yang akurat bagi publik.