Stop Pemaksaan Busana di Iran dan Indonesia, Aktivis Protes Aturan Pemaksaan Jilbab

Para aktivis perempuan bersama para Diaspora Iran dan suku Hazara dari Afghanistan yang tinggal di Indonesia, melakukan aksi memprotes perlakuan Pemerintah Iran atas kematian Mahsa Amini, perempuan Iran yang dianggap tidak memakai jilbab dengan benar dan meninggal setelah itu.

Koordinator aksi, Ririn Sefsani mendesak pemerintah Indonesia untuk bersuara dan mendesak Iran untuk menghentikan kekerasan, penangkapan, pemukulan, penembakan terhadap rakyatnya sendiri yang sedang memperjuangkan hak asasi. 

“Indonesia seharusnya memberikan contoh bahwa perempuan diberi hak dalam memilih busana. Iran juga seharusnya menghormati hak anak dan perempuan tersebut, bukan justru merampasnya atas nama agama,” ujarnya dalam aksi damai di Jakarta, Selasa (18/10) yang diikuti Konde.co.

Ririn menegaskan, pemakaian hijab seharusnya bukanlah kewajiban yang dipaksakan. “Hijab adalah pilihan, ia optional, bukan mandatory, bila Iran mau bersikap adil dan bersiap menjadi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” kata Ririn.

Gerakan ini, dikatakan Ririn menjadi langkah awal untuk mengakhiri diskriminasi pemerintah Iran terhadap perempuan. Mahsa Amini hanya satu contoh perempuan yang ditindas, masih banyak kasus yang menindas hak perempuan yang dilakukan pemerintah Iran.

“Semoga aksi protes ini merupakan langkah awal agar diskriminasi terhadap perempuan berakhir, kami datang kesini menyampaikan protes kepada pemerintah Iran agar berhenti melakukan tindakan tidak berprikemanusiaan dan menindas kaum perempuan juga kebebasan berekspresi warganya!,” lanjutnya.

Para peserta aksi berjejer menggunakan kaos putih bertuliskan ‘Perempuan, Hidup, Kemerdekaan’. Mereka membentangkan papan protes bertuliskan ‘Hentikan Membunuh Orang yang Tak Bersalah’ hingga seruan protes atas terbunuhnya tak kurang dari 200 warga Iran karena menuntut hak asasi dasarnya atas pemaksaan berjilbab.  

Aksi long march dari Taman menteng ke Kedutaan Besar Iran pada Selasa, 18 Oktober 2022, menjadi berapi-api. Diaspora Iran dan suku Hazara dari Afghanistan menyuarakan pendapatnya dalam aksi damai di sepanjang jalan Hos Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.

Bersamaan dengan itu, para massa aksi dari Indonesia, memakai kebaya dan baju identik merah dan hitam. Mereka memakai baju adat dan pernak-pernik baju adat sebagai simbol dukungan masyarakat Indonesia terhadap rakyat Iran. 

Perbedaan bahasa tak jadi soal, tujuan yang sama membuat persaudaraan warga Indonesia dengan diaspora Iran dan Afghanistan seperti keluarga besar. Mereka terus menyerukan kebebasan dan penghormatan terhadap hak perempuan. 

Ketua Perkumpulan Jaga Pancasila Zamrud Khatulistiwa (Galaruwa), Santiamer Haloho mengungkapkan rasa prihatin atas nasib perempuan Iran. Mereka dapat perlakuan tak adil, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, semata-mata karena memilih busana yang diatur negara. Mereka  memperjuangkan hak asasi mereka sebagai manusia dan menolak aturan pemaksaan hijab.

“Kami mendesak pemerintah Republik Islam Iran untuk lakukan investigasi ulang, yang independen, dengan metode transparan dan jujur, guna mencari duduk perkara kematian Mahsa Amini,” lanjut Haloho. 

Sementara itu, Meidiana Fauzia Datuk dari Forum Betawi Bersatu mengatakan aksi damai ini adalah solidaritas buat rakyat Iran, perempuan dan anak-anak, bukan semata masalah hijab, tapi hakikat kemanusiaan, yang menentang segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia. 

Ia juga menyerukan ajakan kepada warga Indonesia, dan dunia, bersatu mendukung perjuangan rakyat Iran mewujudkan negara Iran yang demokratis, negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

“Pecahnya aksi demonstrasi di seluruh penjuru Iran, semestinya menjadi alarm untuk rezim Iran untuk berhenti mempertahankan pemerintahan yang otoriter,” katanya. 

Konde.co mencatat, Mahsa Amini, perempuan Iran meninggal di tahanan saat Ia ditangkap oleh polisi moral Iran. Mahsa dihukum karena dinilai tidak mengenakan jilbab dengan benar. 

Peristiwa itu, tak elak menyulut solidaritas perempuan di seluruh Iran bahkan dunia untuk berjuang dan melawan berbagai pembatasan yang ingin diterapkan pada tubuh dan kehidupan mereka.

Sejak Revolusi Islam 1979, Iran memang menerapkan aturan wajib jilbab. Hingga kini, peraturan pengenaan jilbab itu ditegakkan oleh polisi moral. Mereka mensurvei penduduk perempuan untuk menilai soal “pelanggaran” pakaian publik. Para perempuan yang mengenakan jilbab secara “tidak pantas” dinyatakan bersalah. Sanksinya mereka bisa didenda atau dipenjara – bahkan mirisnya seringkali dilecehkan dan dianiaya ketika mereka sedang “direhabilitasi”.

Bukan hanya wajah Amini, berderet wajah-wajah tak bersalah dibunuh oleh polisi moral Iran. Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei, mengadopsi aturan yang lebih tegas terhadap penerapan perilaku sesuai kaidah Islam konservatif di lingkungan masyarakat setelah sebelumnya aturan ketat soal berpakaian telah secara bertahap berkurang di bawah pemerintahan mantan presiden Hassan Rouhani.

Sejak 1983, negara Iran memasukkan berbagai pasal wajib jilbab dalam sistem hukum mereka, buat perempuan sejak umur tujuh tahun. Hukumannya, dari sekadar “dinasehati” sampai penjara 1,5 tahun buat pelanggaran soal hijab. Perempuan juga tak bisa sekolah, bekerja atau masuk ke kantor pemerintahan tanpa hijab. 

Unjuk rasa sampai saat ini masih terus bergulir di Iran. Rakyat Iran marah terhadap pemerintahnya. Kemarahan publik atas kematian Amini memicu unjuk rasa di lebih 90 kota di Iran selama tiga pekan terakhir. #IranProtest libatkan ratusan ribu orang, lelaki maupun perempuan, dengan slogan, “Perempuan, Kehidupan, dan Kemerdekaan.” Ratusan perempuan Iran membakar hijab mereka sebagai protes atas aturan wajib jilbab, yang dijadikan hukum pidana di Iran sejak 1983. Hashtag mereka adalah #HairforFreedom. 

Berbagai protes tersebut dihadapi dengan operasi keamanan, yang berujung kerusuhan hingga memicu kematian setidaknya 185 orang per hari ini, serta penangkapan ribuan orang, termasuk setidaknya 28 wartawan. Mereka termasuk Niloofar Hamedi, wartawan pertama yang datang ke rumah sakit Kasra, memotret orang tua Jina, serta memberitakannya. Hamedi ditangkap petugas intel Iran pada 22 September 2022.

Ada beberapa perempuan dihukum lebih lama dengan pasal berlapis. Pada 2019, Nasrin Sotoudeh, seorang pengacara Iran, yang membela para perempuan yang protes wajib hijab, dihukum penjara 38 tahun dengan pasal berlapis. 

Gelombang protes menyebar di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, ratusan warga Indonesia turut menyuarakan keprihatinan atas krisis di Iran,  beberapa organisasi di antaranya  Galaruwa, Indonesia Bangkit/Tiga Pilar, Forum Betawi Bersatu, Gerakan Rakyat Peduli Bangsa, Forum Dai Nusantara, Majelis Adat Dayak Nasional.

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!