Paska Gerakan #MeToo, Kekerasan Seksual Masih Tersembunyi Dalam Wajah Perfilman Indonesia

Gerakan #MeToo dalam industri film Hollywood untuk melawan pelecehan seksual di lingkungan pekerja film, berhasil diikuti para aktivis film di berbagai negara. Lalu bagaimana pengaruh gerakan ini dengan kondisi perfilman Indonesia yang banyak dihadapkan pada wajah kekerasan seksual?

Film “Penyalin Cahaya” adalah sebuah film yang dinilai banyak aktivis sebagai film kritis, namun sayangnya berakhir tragis.

Di satu sisi film ini mengangkat soal pelecehan seksual, namun ternyata di dalamnya terdapat pelecehan dimana korban dan pelaku bekerja dalam tim produksi tersebut.

Diah Irawaty, founder LETSS Talk bersama Konde.co kemudian mengadakan talkshow yang berjudul Wajah Kekerasan Seksual Dalam Industri Film Indonesia pada 16 Oktober 2022. Talkshow ini dilakukan untuk mengajak breaking the silence dalam industri film Indonesia

“Kasus kekerasan seksual sebagaimana diketahui makin marak di Indonesia, khususnya dalam pembuatan film yang melibatkan banyak orang mungkin saja terjadi kekerasan seksual. Berkaca dari gerakan #MeToo di Amerika, banyak korban yang mengungkap kasusnya dan pelaku berhasil dimasukkan ke penjara. Ironisnya bahkan pelaku merupakan film maker yang bertemakan kemanusiaan, justice, rasisme.”

LETSS Talk dan Konde.co mencatat, film Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak dua dekade terakhir dari segi produksi dan kreatifitas. Banyak sekali konten kritis, tidak hanya memberikan tempat bagi film mainstream, tapi juga film-film alternatif. Dengan tema-tema yang ada pada masa sebelumnya yang dianggap tabu dan terlarang, film sekarang sudah mengalami perkembangan pesat.

Namun di balik ini, ada tuntutan film untuk menjadi bagian dari gerakan sosial dan kemanusiaan seperti isu pekerja, dan yang paling santer saat ini yaitu gerakan stop kekerasan seksual. Bagaimana industri film merespon ini semua?

Seberapa banyak pekerja film yang bersedia bicara tentang kekerasan seksual?

Nan T. Achnas, seorang sutradara dan produser film yang banyak mendapatkan penghargaan nasional dan internasional seperti Kuldesak, Pasir Berbisik, dan Bendera, menyampaikan bahwa selama ini jika ada kasus, baik decision maker nya, baik itu produser, writer sebagai pembuat film, pasti akan membicarakan, mengekspos bentuk sexual harassment yang terjadi di ruang kerja produksi film.

“Saya dan teman-teman berada di sebuah transisi sejarah perfilman Indonesia, setahun menjelang reformasi tidak ada yang membuat film selama satu dekade. Setelah itu mulailah Christine Hakim dan Garin Nugroho membuat film dilanjutkan dengan pembuat film yang lain. Kebanyakan dari yang menjadi decision maker adalah perempuan. Saya hampir tidak pernah mendengar pelecehan karena sebagian besar decision maker dalam industri film adalah perempuan. Sekarang banyak produksi film dan banyak kejadian-kejadian itu perlu adanya kesadaran terhadap apa yang terjadi sekarang,” ungkapnya.

Yessy Gusman seorang aktris  Indonesia era 80an dengan filmnya yang terkenal di antaranya Gita Cinta Dari SMA, Romi dan Juli, serta Puspa Indah Taman Hati bercerita, ketika ia main film era 1978-1981, ia tidak melihat ada pelecehan seksual ini, ini mungkin karena ia sangat terproteksi oleh keluarga, selalu ditemani oleh ibu atau kakak ketika syuting.

“Saya selalu ditemani keluarga saya, atau teman saya Rano Karno, jadi saya tidak pernah mengalami kekerasan seksual secara langsung. Mungkin ada kedekatan misalnya antara pemain dan sutradara, tapi saya tidak tahu apakah itu kekerasan seksual atau memang simbiosis mutualisme.”

Namun Yessy mengingat ada beberapa cerita dari teman-teman pekerja film. Waktu itu ia mendengar cerita dari pemain baru yang seorang laki-laki. Laki-laki ini ditawari bermain film, kemudian dia diundang oleh produser untuk datang ke suatu rumah dan akhirnya dikunci di rumah tersebut, dia berdoa lalu berusaha mencari pintu yang terbuka, akhirnya pukul 2 malam dia bisa menemukan pintu yang terbuka dan lari dari sana.

“Lalu juga cerita berikutnya dari seorang make up man yang mengaku memiliki hubungan dengan pemain yang ia kenal telah memiliki istri dan anak. Ternyata pemain ini tidak mau melanjutkan hubungan mereka, lalu make up man ini marah dan mengancam akan menutup akses dan jalur-jalur masuk pemain ini di dunia film. Saya mendengar cerita itu dan semuanya laki-laki yang menjadi korban. Saya tidak tahu apakah kasus ini termasuk kekerasan, ancaman atau bukan,” kenang Yessy

Aktivis perempuan dan pembuat film dokumenter, Olin Monteiro punya banyak data soal kekerasan dan pelecehan seksual yang selama ini terjadi di industri film Indonesia.

Selama ini ia banyak melakukan survei soal ini di industri film. Saat bekerja di Yayasan SET di awal-awal tahun 2000 an misalnya, Olin juga melihat banyak aktris, pekerja film yang mengalami pelecehan seperti catcalling.

Survey yang pernah Olin Monteiro lakukan terhadap 120 orang baru-baru ini, dari yang mengisi form, ada 98 orang yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini mereka alami mulai dari saat casting, misalnya disuruh buka baju, diraba, mendapat body shaming. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat fantastis karena banyaknya jumlah korban.

“Seperti dikatain, kamu gemuk ya, ini yang termasuk pelecehan verbal. Mereka melapor kepada produser atau sutradara baik film atau sinetron, namun mereka tidak mendapat perlindungan. Kamu jangan ribut-ribut deh, masak karena gitu aja kamu bawel.”

Pelecehan seksual memang dianggap biasa, dianggap bercandaan saja di industri film ini. Olin menjelaskan, baru beberapa organisasi atau perusahaan film yang sudah memiliki kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual.

Olin menyatakan, dari kasus kekerasan seksual yang melibatkan salah satu kru film Penyalin Cahaya juga menjadi contoh fakta bahwa ada iklim yang tidak kondusif dalam dunia film.

Enison Sinaro, seorang sutradara film dan sinetron di antaranya sinetron yang berjudul Menghitung Hari, dan Anakku Terlahir Kembali, dalam diskusi ini bercerita bahwa di era 1993-1998, tidak ada kasus pelecehan seksual di lingkungan film. Kalaupun ada mungkin sebatas affair antara pemain atau kru atau sutradara, yaitu cinta lokasi yang dilakukan tanpa ada salah satu yang keberatan.

”Jika dianggap dunia film rentan dengan pelecehan, di dunia film tidak seseram itu, tidak sebegitunya. Mungkin ada rumor bahwa beberapa pemain baru yang menggunakan jalur belakang atau instan untuk masuk ke dunia film, lalu akhirnya dimanfaatkan oleh petualang-petualang di dunia film, tapi untuk itu saya rasa dia melakukannya tanpa keberatan,” ujarnya.

Sandy Nayoan, aktor film dan sinetron senior yang memerankan judul-judul sukses seperti Tutur Tinular dan Sengsara Membawa Nikmat menceritakan, pada eranya, ia tidak menemukan cerita kekerasan seksual. Namun Sandy Nayoan juga mengamati pada saat adegan-adegan tertentu kemudian orang-orang di sekitarnya berteriak soal baju artis yang roknya kurang ke bawah, dll.

“Kurang bawah, roknya kurang atas, ada memang beberapa suara-suara seperti itu yang termasuk kekerasan seksual non fisik. Kalaupun suka sama suka, syuting itu memakan waktu yang cukup lama, jadi mungkin saja ada cinta lokasi antar pemain misalnya.”

Konde.co pernah mewawancarai tiga korban pelecehan seksual di dunia film, mereka bercerita bagaimana mereka pernah dipegang-pegang, diajak dialog di ruang terpisah, ada aktor yang meraba paha, menarik pinggul dan punggung saat sesi foto. Data ini tidak berbeda dengan data yang dimiliki Olin Monteiro yang melakukan survey tentang kekerasan seksual di dunia film

Enison Sinaro memang melihat jika pada zamannya, jika ada perempuan lewat, maka laki-laki akan cenderung melakukan catcalling, namun Enison berkata bahwa itu adalah bagian dari pergaulan yang biasa dilakukan di zaman itu, dan tidak bertujuan untuk melecehkan.

“Budayanya pada saat itu menggoda perempuan di jalan tidak dianggap pelecehan, karena mereka menganggap perempuan yang digoda juga tertawa dan suka-suka saja, namun sekarang hal itu dianggap pelecehan.”

Nan T Achnas mengatakan bahwa seorang produser seharusnya mendefinisikan apa itu pelecehan seksual baik verbal maupun fisik, batasan-batasan itu harus dibacakan ke semua kru film dengan sanksi yang tegas untuk mendukung perubahan di industri film.

“Saya pernah menegur seorang kru yang ketahuan mencolek kru lain. Saya tidak ingin ada kejadian seperti itu dalam filmnya. Korban harus melapor dan ada tindakan, bukan hanya ditertawakan. Saya berusaha menciptakan culture of respect dalam set filmnya. Menciptakan ruang aman bagi perempuan di lokasi syuting, sama pentingnya dengan film itu sendiri,” tegasnya.

Sandy Nayoan bercerita kadang adakalanya terpaksa sejumlah pemain ganti baju bersama dengan pemain laki-laki dan perempuan karena keterbatasan lokasi, dan ini menjadi hal yang biasa. Bahkan saat memasang mic clip on pada aktris, juga dijadikan sebagai objek bercandaan untuk memegang tubuh aktris. Hal seperti itu sudah dianggap biasa dan merupakan bagian dari pekerjaan.

Olin Monteiro mengatakan bahwa biasanya korban di film ini hanya sekadar berani membicarakan pelecehan yang dialaminya kepada teman dekatnya saja karena mungkin takut tidak lagi mendapatkan job di film atau kontraknya tidak diperpanjang.

Olin juga menghormati keputusan korban untuk tidak menyebarkan hal tersebut karena tidak mengenakkan yang mereka alami. Tapi yang menggembirakan, generasi sekarang lebih terbuka untuk bicara dan progresif.

“Generasi sekarang lebih outspoken dan progresif. Lisa Bona Rahman dan Jonatan Pasaribu melakukan gerakan dalam Kampanye Sinematik Gak Harus Toxic, melakukan gerakan ketika ada volunteer yang dianggap cantik mendapat ajakan kencan dengan iming-iming menjadi moderator misalnya, dan lumayan banyak yang bersuara dan membela korban,” kata Olin Monteiro

Perubahan apa yang Bisa Dilakukan?

Sandy Nayoan berharap, untuk mengantisipasi pencegahan kekerasan seksual, aturan-aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh harus dituangkan dalam kontrak kerja.

“Saya pribadi akan menegur langsung jika melihat ada perilaku pelecehan yang terjadi.”

Sandy menyarankan diadakan sosialisasi di kantor-kantor perfilman secara intensif supaya banyak orang di perfilman yang melek akan hal ini.

Menurut Olin sudah banyak kerjasama gerakan perempuan dan industri film. Olin menyarankan dibentuk komisi khusus atau dewan etik untuk mengawasi kasus kekerasan seksual, abuse, bullying di dunia seni untuk menciptakan ekosistem bebas dari kekerasan seksual.

Yessy Gusman menganggap ada perbedaan budaya di Indonesia jika dikaitkan dengan gerakan #MeToo. Ia berpendapat jika ini dapat diawali dengan melakukan pendekatan budaya dengan pendidikan stop kekerasan seksual.

“Contohnya membuat talk show seperti ini, bahwa zaman sudah berubah, hal-hal seperti ini tidak boleh lagi. Ada aturan-aturan hukum yang jelas dalam penanganannya. Media sosial dapat menjadi pilihan akhir jika korban merasa sudah melapor namun belum mendapatkan keadilan.”

Nan T Achnas bercerita, untuk memulai sesuatu dengan perubahan, produser, sutradara harus mengumumkan di awal jika korban mendapatkan pelecehan, harus melapor ke siapa, memberikan awareness pada kru dan pemain. Hal ini harus menjadi tanggungjawab pihak film maker.  

Nan punya tips tertentu, misalnya ia tidak akan memasukkan orang yang bermasalah dalam tim filmnya, seperti jika orang tersebut korupsi atau melakukan pelecehan.

“Bagi saya, ada dua hal fatal untuk merekrut orang dalam film. Yaitu apakah dia pernah korupsi anggaran film, atau pernah melakukan pelecehan. Harus ada list untuk tidak memasukkan orang itu lagi ke dalam film. “

Enison menambahkan, harus ada aturan jelas dalam investigasi kasus-kasus ini. Sehingga jangan sampai merugikan salah satu pihak yang dituduh misalnya, agar tahu bagaimana harus bereaksi yang tepat sebelum mengeluarkan pelaku dari perfilman.

Yessy Gusman mengatakan soal pentingnya sebuah Production House memiliki SOP penanganan kekerasan seksual,  sehingga korban yang berani melapor harus mendapat jaminan perlindungan dan tidak membuat enggan untuk kembali meng hire korban setelah kejadian yang menimpanya.

Olin Monteiro menambahkan, saat ini sudah ada 2 (dua) Production House yang mensosialisasikan tentang penanganan kekerasan seksual, agar pemain atau kru yang mengalami segera melapor kepada produser atau sutradara yang kedepannya mungkin dapat dijadikan model bagi PH-PH yang lain.

Nan mengatakan film mencakup isi perseptual, isi representasional ke sebuah dunia yang kita lihat sebagai dunia yang berdasar dari kebenaran, tidak lepas dari apa yang kita alami. Jadi aturan stop kekerasan seksual salah satu yang penting untuk dibuat dalam film sebagai upaya perubahan.

“Sekarang sudah ada Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan orang-orang di film harus menyebarkannya, melakukan diskusi-diskusi untuk membicarakan ini. Talkshow ini akan menjadi catatan bagi gerakan perempuan untuk sosialisasi UU TPKS ke depannya,” kata Olin Monteiro.

(Foto: Jogjaaja.com)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!