3 Hal Yang Perlu Dikritik dari G20: Forum Bapak-Bapak, Isu Perempuan Bukan Prioritas

Sebuah perhelatan internasional tengah berlangsung di Bali 15-16 November 2022. Banyak kalangan hadir di sana, mulai dari pemimpin negara, aktivis hingga artis. Tim Konde merangkum laporan yang menyoroti hal-hal yang patut dikritik dari penyelenggaraan kegiatan yang menghabiskan anggaran negara lebih dari 500 miliar dan mengerahkan 18.000 aparat keamanan ini.

G20 yang berlangsung di Bali pada Selasa, 15 November 2022 adalah forum kerja sama multilateral. Tapi ini lebih bisa disebut sebagai forum bapak-bapak karena dihadiri oleh kepala negara yang isinya bapak-bapak yang menjadi pembicara utama di forum ini.

Berikut 3 hal rangkuman Konde.co tentang pertemuan G-20:

1. Forum Bapak-Bapak/All Male Panels 

Forum ini terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU) yaitu Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Argentina, Brazil, Inggris, Jerman, Italia, Perancis, Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Turki, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Indonesia, Australia, dan Uni Eropa. Dilansir dari situs kemenkeu.go.id, forum internasional G20 yang diselenggarakan sejak kemarin hingga hari ini, 15-16 November 2022 ini diangap menjadi bagian penting dunia karena merepresentasikan lebih dari 2/3 penduduk dunia, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.

Isu yang dibahas dalam G20 ini ada dua jalur yaitu finance track dan sherpa track. Finance Track adalah jalur pembahasan dalam fórum G20 yang berfokus pada fokus isu keuangan, antara lain: kebijakan fiskal, moneter dan riil, investasi infrastruktur, regulasi keuangan, inklusi keuangan, perpajakan internasional.

Sherpa Track adalah jalur pembahasan dalam forum G20 di bidang-bidang yang lebih luas di luar isu keuangan, antara lain: anti korupsi, ekonomi digital, lapangan kerja, pertanian, pendidikan, urusan luar negeri, budaya, kesehatan, pembangunan, lingkungan, pariwisata, energi berkelanjutan, perdagangan, investasi, dan industri, serta pemberdayaan perempuan.

Walau isu pemberdayaan perempuan masuk dalam pembahasan di forum G20, namun delegasi pemimpin dunia yang hadir diramaikan oleh mayoritas laki-laki seperti Joe Biden, Xi Jinping, Menlu Rusia Sergei Lavrov, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan lain-lain. Representasi kehadiran delegasi yang mayoritas laki-laki ini menjadikan forum G20 all male panels atau forum bapak-bapak.

Forum bapak-bapak ini menjadi tak terhindarkan karena para pemimpin negara masih didominasi laki-laki. Karena itulah sangat penting mendorong kepemimpinan perempuan.

2. Kepentingan dan isu perempuan belum jadi prioritas

Isu pemberdayaan perempuan memang telah dibahas sebelumnya pada G20 Ministerial Conference on Women’s Empowerment/MCWE Tanggal 26 Agustus 2022 lalu, namun belum jadi bagian penting dari forum. Karena faktanya, perempuan banyak yang dirampas sumber agrarianya, dikriminalisasi saat memuliakan benih ataupun saat memperjuangkan ruang hidupnya. 

Aktivis melihat, penanganan konflik sumber daya alam (SDA), tata ruang dan agraria belum dibahas secara intensif pada pertemuan ini. 

Berdasarkan pantauan Solidaritas Perempuan, meski 70% dari pasokan pangan dunia diproduksi oleh petani dan nelayan tradisional, tapi negara menyandarkan kepercayaannya pada korporasi dan meminggirkan kapasitas petani subsisten. Konflik agraria masih menjadi ancaman bagi perempuan dan masyarakat. 

Aktivis perempuan berpendapat, G20 juga merupakan forum yang berorientasi pada kepentingan ekonomi global dan isu-isu yang dibahas cenderung netral gender. Kepentingan dan isu perempuan belum menjadi bagian penting dalam forum yang akan menghasilkan kebijakan yang berdampak bagi banyak orang tersebut. 

Prinsip partisipatif dipandang belum menjadi kerangka kerja yang mendasari seluruh proses yang berjalan. Pihak-pihak yang terdampak kebijakan seperti perempuan di akar rumput justru tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi maupun berpendapat dalam forum-forum G20. Selain itu mekanisme yang digunakan dinilai sangat elitis. 

G20 membahas 3 isu penting yakni ketahanan pangan dan energi; arsitektur kesehatan global; dan transformasi digital. Ketiga isu ini sangat terkait dan akan berdampak terhadap perempuan secara umum termasuk perempuan yang ada di akar rumput. Namun pembahasan tentang ketiga isu tersebut belum menyasar kebutuhan perempuan seperti dipaparkan Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nurannisa Yura kepada Konde.co via telepon pada Selasa (15/11/2022). 

“Tapi sebenarnya diantara berbagai isu tersebut secara mendasar yang perlu kita lihat adalah sebenarnya G20 itu untuk kepentingan siapa? Kalau Solidaritas Perempuan melihat G20 ini sebenarnya hanya perpanjangan tangan dari G7 yang isinya negara-negara industri, negara-negara kaya yang kepentingannya adalah kepentingan bisnis internasional untuk memperluas investasi. Dan melihat negara-negara seperti Indonesia dalam konteks investasi maupun dalam konteks pasar,” kata Dinda. 

Ini bisa dilihat pada isu ketahanan pangan dan energi. Kepentingan perempuan petani tidak menjadi prioritas karena yang hendak dicapai bukan kedaulatan pangan melainkan keuntungan dari penjualan produk-produk pertanian. Sehingga kebijakan yang akan dihasilkan tidak berpihak pada perempuan petani melainkan industri pangan. 

“Perempuan petani misalnya yang sehari-hari menanam dalam jumlah terbatas tapi sebenarnya pertanian yang dilakukan itu lebih berorientasi pada keberlanjutan atau sadar lingkungan. Namun kepentingan negara-negara di G20 itu justru untuk industri pangan. Jadi menanam itu bukan untuk kedaulatan pangan petani itu sendiri dan masyarakat, tapi untuk bagaimana menjual produk pangan sebanyak-banyaknya ke negara lain,” jelasnya. 

Kondisi ini akhirnya akan menghasilkan berbagai kebijakan yang tidak membantu situasi perempuan petani ataupun produsen pangan tradisional skala kecil. Tetapi justru membuat mereka tidak bisa bersaing dan semakin sulit untuk bertani baik itu karena perampasan lahan yang kemudian terjadi karena investasi yang mudah ataupun karena kebijakan pangannya justru memaksa mereka untuk beralih dari benih yang tadinya tidak harus beli kemudian menjadi tergantung pada benih dari perusahaan. 

Sementara terkait isu energi, proyek-proyek energi yang diklaim sebagai proyek energi bersih yang gencar didorong pemerintah justru menimbulkan sejumlah persoalan dan berdampak terhadap perempuan di wilayah-wilayah yang menjadi lokasi proyek tersebut. 

Seperti proyek PLTA Poso yang tengah berjalan, yang justru menyebabkan sawah-sawah warga terendam dan mengakibatkan salah satu spesies ikan yang biasa digunakan dalam ritual adat—dimana perempuan banyak berperan—menjadi punah. 

Dinda mengungkapkan proyek ini diklaim sebagai salah satu contoh energi bersih di Indonesia yang kemudian dibahas dalam perundingan G20. Tapi dalam pelaksanaannya menimbulkan sejumlah persoalan dan ke depan akan menambah persoalan baru terkait dengan penghilangan sumber-sumber kehidupan masyarakat dimana perempuan juga kemudian akan terdampak. 

Begitu juga dengan proyek-proyek geothermal atau pembangkit listrik tenaga panas bumi di Purwokerto misalnya. Perlawanan warga atas proyek-proyek tersebut banyak dilakukan oleh perempuan. Karena ketika geothermal dibangun yang pertama kali rusak adalah air. Sumber air menjadi habis atau tercemar. 

Misalnya seperti yang terjadi di Purwokerto, air yang tadinya jernih dan digunakan masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya kemudian menjadi kuning. Padahal air sangat melekat dengan perempuan baik dengan kebutuhan reproduktifnya maupun dalam konteks konstruksi sosial yang mengaitkan tanggung jawab perawatan keluarga dan urusan domestik pada perempuan.

Demikian juga dengan isu kesehatan yang tidak menyasar pada kebutuhan perempuan. Dalam konteks pemulihan pandemi misalnya, sebenarnya terlihat dari orientasi program pemerintah yang basisnya adalah kepentingan ekonomi dalam konteks investasi. Jadi lebih menekankan pada bagaimana perekonomian terus berjalan pasca pandemi tetapi tidak melihat misalnya inisiatif-inisiatif perempuan yang membantu masyarakat dapat bertahan dalam situasi pandemi. 

“Misalnya inisiatif perempuan petani yang mereka punya lumbung pangan dan kemudian ikut berkontribusi terhadap jaringan-jaringan yang ada di kota yang saat itu kesulitan pangan karena terjadinya pandemi,” ujarnya. 

Lebih lanjut Dinda mengatakan kepentingan negara-negara G20 adalah untuk mendorong atau memperkuat rezim paten yang membuat obat menjadi tidak terjangkau dan mahal. Seperti halnya vaksin Covid yang justru dimiliki oleh negara-negara maju sehingga negara-negara berkembang tidak bisa menghasilkan vaksin sendiri. Seperti Indonesia yang harus membeli dan bahkan berutang untuk mendapatkan vaksin. 

Sementara itu menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati saat dihubungi Konde.co pada Selasa (15/11/2022) mengatakan, upaya untuk dapat mendorong agar rekomendasi kebijakan yang dihasilkan G20 mengakomodasi kepentingan perempuan cukup sulit dilakukan. 

Selama ini kalaupun ada isu perempuan atau isu gender yang dihasilkan, lebih merupakan rekomendasi yang dikeluarkan oleh engagement group. Seperti di Italia yang memegang presidensi sebelum Indonesia, isu-isu gender diangkat oleh kelompok perempuan seperti Women20 (W20) atau juga kementerian terkait. 

Mike mengungkapkan 3 isu prioritas yang dibahas dalam G20 juga merupakan isu makro dan elitis yang pembahasannya juga netral gender. Sebagai Koordinator Gender Equality, Disability Working Group, Mike mengaku sudah berupaya dan terus mendorong agar kepentingan perempuan minimal direkognisi serta memastikan bahwa kebijakan-kebijakan alokasi anggaran baik itu kesehatan, ekonomi, energi, dll tetap menggunakan kerangka analisis gender equality. 

Tetapi diakuinya hal ini sangat sulit dilakukan. Sehingga rekomendasi yang dihasilkan menjadi netral gender. Kalimat-kalimat rekomendasi tidak pernah menyiratkan bahwa kepentingan kelompok perempuan, kelompok disabilitas sudah tercakup di dalamnya. 

“Tetapi kita sendiri meskipun sudah sangat berkeras ya, kita sudah berjuang gitu ya, tetapi tetap sulit. Bagaimana misalnya kita melihat rekognisi itu lebih pada pengakuan saja. Misalnya pendanaan vaksin untuk masyarakat adat termasuk perempuan sebagai kelompok rentan lalu lansia, disabilitas. Itukan akan sangat menguatkan tetapi kita tidak pernah bisa,” ujar Mike. 

Lebih lanjut Mike menyoroti mekanisme G20 yang sangat elitis dan perspektif gender yang masih absen. 

“Mekanisme G20 inikan sangat elitis ya dimana yang bekerja pemerintah dengan ring-ring utamanya yang sebenarnya kita perlu pertanyakan apakah mereka juga sudah punya perspektif. Bagaimana mereka juga melihat bahwa sumbangsih dari persoalan ketimpangan pembangunan itu adalah problem berbasis gender yang tidak pernah diakui dan semua ini kembali pada mungkin pemahaman yang salah kaprah,” jelasnya. 

3. Dipenuhi dengan upaya pembungkaman dan pembatasan ruang demokrasi

Hal lain yang perlu disorot dari perhelatan besar ini adalah langkah-langkah pengamanan yang justru menutup ruang-ruang partisipasi masyarakat dan mengarah pada upaya pembungkaman dan pembatasan ruang publik yang dapat mengancam demokrasi. 

Pembatasan ruang publik telah terjadi sebelum dan menjelang hari H pelaksanaan G20. Sejumlah acara yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil terpaksa harus dibatalkan. Seperti acara diskusi dan pentas musik yang diadakan oleh 350Indonesia, sebuah organisasi non profit yang berfokus pada isu transisi energi. 

Tim pesepeda Chasing the Shadow Greenpeace Indonesia yang melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Denpasar dengan membawa pesan kampanye krisis iklim mendapat intimidasi dari kelompok ormas dalam perjalanan menuju Probolinggo. Mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan bermaterai untuk tidak melanjutkan perjalanan. Acara puncak yang rencana digelar di Bali pun terpaksa batal. 

Selain itu pertemuan internal yang dilakukan YLBHI bersama 18 kantor LBH di Sanur, Bali dibubarkan oleh aparat kepolisian. Pembubaran dilakukan setelah sebelumnya sejumlah orang yang mengaku petugas desa/pecalang mendatangi vila tempat kegiatan dan melakukan intimidasi. 

G20 menjadi forum eksklusif. Mekanisme yang ada tidak memberi ruang bagi masyarakat sipil terutama perempuan-perempuan yang terdampak oleh kebijakan pembangunan yang dihasilkan forum tersebut untuk bisa bersuara.

Bahkan ketika masyarakat hendak menggelar kegiatan sebagai ruang untuk melakukan refleksi bersama sekaligus mencermati kebijakan yang akan dihasilkan justru harus menghadapi ancaman dan intimidasi dari pecalang, intel, dsb, termasuk dilarang dan dibubarkan. Meskipun acara-acara tersebut diselenggarakan di lokasi yang jauh dari Nusa Dua, tempat G20 berlangsung. 

“Jadi boro-boro kita punya ruang untuk bersuara di dalam perundingan itu, ketika kita menciptakan ruang saja, itu justru diberangus. Dan ini sebenarnya menunjukkan juga bagaimana keberpihakan negara kita. Jadi suara masyarakat, suara perempuan nggak penting dibanding kepentingan aktor-aktor ekonomi di sana,” ujar Dinda Nurannisa Yura. 

Kondisi ini menurut Dinda perlu menjadi perhatian masyarakat dunia. “Sebenarnya yang perlu dicatat juga oleh masyarakat dunia adalah bahwa semakin sering Indonesia memegang presidensi, justru akan berkontribusi terhadap pembungkaman demokrasi di Indonesia. Setiap ada acara di Indonesia, pengerahan aparat, pembubaran diskusi dan pembungkaman jadi makin masif.” 

Menurut pandangan Mike Verawati, isu-isu terkait civic space atau masyarakat sipil masih memunculkan penolakan. Pemerintah masih menganggap bahwa ini adalah bentuk-bentuk perlawanan. Sehingga yang terjadi adalah seperti yang dialami sejumlah organisasi yang acaranya dibatalkan menjelang pertemuan G20. 

Sebenarnya pertemuan G20 ini bukan perhelatan internasional yang pertama di Bali. Forum-forum sejenis sudah pernah digelar sebelumnya. Seperti pertemuan WTO pada 2013 dan pertemuan IMF/world Bank pada 2018. 

Dalam pengamatan Dinda, dari tahun ke tahun pembatasan ruang publik makin ketat. Pada 2013 masyarakat masih bisa menggelar aksi dan orasi meski dengan sejumlah pembatasan. Pada 2018 aksi sudah tidak bisa dilakukan. Ketika itu kegiatan refleksi masih bisa diselenggarakan dan diikuti oleh sejumlah organisasi dari berbagai negara. 

Pada 2022 ketika masyarakat hendak mengadakan acara sejenis seperti yang pernah diadakan sebelumnya, tempat-tempat yang akan menjadi lokasi kegiatan didatangi oleh orang-orang yang mengaku pecalang dan melarang kegiatan tersebut.

(Gambar/ Ilustrasi: Freepik)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!