7 Negara Di Dunia Punya Aturan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik, Seperti Apa?

Meningkatnya kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sering tidak sejalan dengan penanganan dan perlindungan korban. Bagaimana pemetaan penanganan KSBE di 7 negara di dunia?

Pada awal 2022, Komnas Perempuan menerima aduan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) dari seorang korban. Kasus tersebut berupa penyebaran konten intim tanpa kesepakatan (nonconsensual dissemination of intimate image/NCII). 

Pelaku kekerasan ini adalah mantan pacar korban yang tak diterima hubungan diputus.

Perkara ini telah diperiksa dan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” sebagaimana diatur di pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Majelis Hakim menjatuhkan pidana selama 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar Rp 800.000.000 subsider 3 (tiga) bulan.

Di atas adalah contoh sukses penanganan KSBE. Namun demikian, Komnas Perempuan mencatat adanya ‘pelanggaran’ dalam proses persidangan, yakni sidang dilakukan secara terbuka. Pengadilan juga sempat mempublikasi putusan ini ke Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan dan Direktori Putusan Mahkamah Agung dengan beberapa informasi, seperti identitas korban dan para saksi terpampang jelas sehingga bisa diakses publik. 

Juga dengan alat bukti elektronik berupa foto-foto tubuh korban yang disebarluaskan oleh pelaku tanpa persetujuan korban. Juga isi pesan bernuansa seksual yang dituliskan pelaku yang disebarluaskan ke keluarga dan teman-teman korban.

Kisah di atas menunjukkan adanya kegagapan dalam penanganan KSBE yang meski tergolong baru, angkanya terus meningkat tajam. 

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, selama periode 2017-2021, kasus kekerasan seksual berbasis elektronik meningkat 108 kali lipat. 

“Dari 16 laporan di 2017 menjadi 1721 laporan di Tahun 2021. Itu yang terlapor langsung ke Komnas Perempuan,” katanya saat Peluncuran Produk Belajar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara, Jumat 28 Oktober 2022 yang diikuti Konde.co

Meningkatnya KSBE sering tidak sejalan dengan penanganan dan perlindungan korban. Tidak jarang, seseorang yang menjadi korban justru dikriminalisasi atau seperti kasus di atas justru mengalami reviktimisasi.  

Menurut pasal 4 Undang Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KSBE merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Bentuk KBSE beragam, mulai dari perekaman bermuatan seksual tanpa persetujuan korban, menyebarkan informasi elektronik bermuatan seksual di luar keinginan korban, hingga penguntitan dengan sarana elektronik (stalking) untuk tujuan seksual.

KSBE nyata-nyata telah merusak kenyamanan dan keamanan pengguna ruang siber. Terlebih lagi bagi korban, yang sebagian besar adalah perempuan. Perempuan tak hanya sering menjadi korban tapi juga bisa dikriminalisasi dengan penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Pornografi.

Untuk itu, Komnas Perempuan menilai pemahaman mengenai kekerasan berbasis elektronik harus selalu diperbarui. Pengembangan pengetahuan tentang KSBE ini dilakukan dengan menelaah literatur penanganan di berbagai negara, berdiskusi dengan Kementerian/Lembaga/Pengada Layanan. Dari pengumpulan data ini lantas disusun rekomendasi dan instrumen penanganan KSBE yang dapat diterapkan di Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan dari tujuh negara yang telah punya aturan KSBE antara lain Jerman, Inggris Raya, Korea Selatan, Australia, Filipina, India, dan Pakistan, walaupun hanya tiga negara yang memiliki aturan yang cukup komprehensif.

“Australia, Filipina, dan Pakistan yang memiliki peraturan khusus mengenai KSBE yang cukup komprehensif. Sementara negara lain menjerat tindakan KSBE dengan tindakan kejahatan di internet secara umum saja,” ujar Siti Aminah dalam pemaparannya dalam acara yang sama.

Menurut hasil telaahnya, banyak aturan fokus pada tindakan penyebaran konten, penguntitan, intimidasi dan voyeurism. Dalam peraturannya sebagian negara lebih fokus pada unsur kesusilaan dan ketelanjangan di ranah siber bukan unsur tanpa izin atau consent korban.

Temuan lain terkait penanganan KSBE adalah payung hukum saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan sistem pelaporan, penanganan dan penjatuhan vonis yang efektif. Bahkan. Tak jarang aturan hukum digital justru dapat mengkriminalisasikan korban kekerasan, membatasi kebebasan berpendapat dan dimanfaatkan oleh pemerintah yang berkuasa untuk membungkam oposisi.

Kurangnya edukasi serta pemahaman aparat hukum mengenai kekerasan seksual juga terlihat menghambat penanganan kasus KSBE yang efektif dan tepat. Tak jarang korban mendapatkan stigma buruk dan mengalami viktimisasi dari polisi atau aparatur lain. Kendati demikian, terdapat negara yang telah berhasil menerapkan kebijakan penghapusan konten intim di media sosial tanpa menghalangi proses hukum yaitu Australia.

Penanganan dan pencegahan akan efektif jika melibatkan media massa/jurnalis, LSM dan lembaga lainnya.

“Sebab sosialisasi mengenai payung hukum, alur penanganan dan informasi lainnya mengenai KSBE dapat membantu perempuan mengenali tanda-tanda serta dapat melaporkannya dengan lebih mudah,” imbuh Siti Aminah Tardi.

Terkait pemulihan korban, selain aturan yang dapat membantu pemulihan dan pemenuhan hak korban, dibutuhkan program yang memudahkan korban dalam mengakses bantuan pemulihan. Salah satu yang banyak dibuat adalah helpline yang memfasilitasi konseling hingga akses ke bantuan hukum.

Dengan adanya helpline yang bekerja sama dengan sejumlah pakar, dapat sangat membantu korban mengingat sulitnya akses terhadap bantuan hukum dan psikologis bagi sebagian besar orang. 

Siti Aminah mencontohkan Revenge Porn Helpline di Inggris yang sangat membantu banyak korban KSBE dengan menghapus gambar-gambar intim korban dari internet.

“Dalam beberapa sumber, diketahui juga bahwa korban merasa terbantu dengan adanya helpline ini,” terang Aminah.

Mekanisme korban meminta surat pengadilan untuk mencegah terulangnya kasus KSBE dinilai sangat berguna terutama ketika menyangkut kasus penyebaran foto atau video intim di media sosial karena telah ada larangan hukum untuk individu yang kembali mengunggah konten tersebut

Terkait upaya pencegahan KSBE, peran pemerintah melalui legislasi hukum menjadi faktor penting untuk dapat melindungi perempuan dari risiko menjadi korban KSBE. Undang-undang dapat menjadi dasar bagi korban (mereka yang telah diancam dan berisiko menjadi korban) untuk dapat meminta perlindungan agar tidak mengalami kriminalisasi atau viktimisasi.

Selain pemerintah, peran masyarakat sebagai komunitas juga penting dalam mencegah KSBE. Inovasi teknologi yang digunakan untuk mencegah tersebarnya konten intim korban dan diharapkan dapat meminimalkan kerugian dan penderitaan bagi korban. 

“Edukasi terkait keamanan siber, etika bermedia, hingga kesadaran akan kekerasan berbasis gender adalah hal penting dan juga telah dilakukan oleh beberapa negara. Sejumlah situs juga telah dibuat untuk memberikan informasi terkait hal ini,” tegas Aminah.

Komnas Perempuan menilai Indonesia sebenarnya tergolong maju soal aturan hukum dalam penanganan KSBE. Namun demikian perlu dilakukan harmonisasi dari aturan-aturan terkait KSBE yakni UU ITE, UU TPKS, UU Pornografi maupun KUHP. 

Yang Indonesia belum ada adalah pusat layanan dan konseling bagi korban KSBE. Yang ada barulah lembaga yang menjembatani korban dengan pusat layanan. Berikut hasil telaah Komnas Perempuan terkait aturan KSBE di sejumlah negara.

 1. Jerman

Menggunakan hukum pidana untuk menjerat stalking, harassing, threatening, abusing, insulting pada konteks ruang daring seperti halnya Hukum Pidana Jerman

Act of Improve Enforcement of the Law in Social Networks 2017 mengharuskan perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang dianggap melanggar hukum dan jika ditemukan kekurangan sistemik dalam menangani masalah ini, dapat didenda hingga 50 juta Euro

Kewajiban perusahaan media sosial untuk menghapus konten KSBE, pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik. Pemerintah Jerman dengan NetzDG nya seringkali malah membatasi freedom of speech secara online

Alih-alih fokus pada konten seksual ilegal, perusahaan media sosial lebih sering menghapus pandangan-pandangan individu terhadap isu sosial, politik, dan jurnalisme independen. Ini untuk menghindari denda yang harus dibayar ke pemerintah dari perusahaan media sosial dengan lebih dari dua juta pengguna untuk menyediakan sistem pengaduan yang efektif dan menghapus atau memblokir konten yang melawan hukum hak korban untuk “menolak penyebaran yang tidak sah atau tampilan publik dari fotonya.”

Act on Protection against Violence mengatur bahwa korban kekerasan dapat mengajukan perintah perlindungan ke pengadilan terkait dengan pelecehan dan penguntitan yang dialami di ruang daring

2. Inggris

Inggris menjerat pelaku kasus kekerasan seksual siber melalui Serious Crime Act 2015, Protection Harassment Act 1997, Communication Act 2003, dan Justice and Courts Act 2015. Peraturan-peraturan tersebut berfokus pada tindakan intimidasi, pelecehan, revenge porn dan penguntitan

Hingga tahun 2018, program National Helpline UK telah menerima lebih dari 7.000 laporan mengenai KSBE. Namun, polisi setempat tidak selalu menanggapi dan menangani korban dengan tepat. Pemahaman polisi yang terbatas mengenai undang-undang Revenge Porn serta kurangnya keyakinan penegak hukum dalam menyelidiki kasus maupun menangani korban secara efektif.

The Cyber Helpline adalah sebuah gerakan dari komunitas sekuritas siber untuk mendukung dan memastikan setiap orang di Inggris Raya memiliki akses langsung kepada ahli dan bantuan keamanan siber saat mereka membutuhkan

Revenge Porn Helpline, lingkup kejahatan yang dibantu, diantaranya gambar intim yang disebarkan tanpa consent, ancaman untuk menyebarkan gambar intim, voyeurism, sextortion dan upskirting. Memberikan dukungan dan bantuan untuk menghapus dan melaporkan konten yang disebarkan oleh pelaku. Telah mendukung ribuan korban pelecehan gambar intim non-konsensual; mereka telah berhasil menghapus lebih dari 200.000 gambar intim individu non-konsensual dari internet.

Inggris memiliki situs-situs yang dibuat sebagai upaya pencegahan KSBE di negaranya, diantaranya: Get Safe Online dan StopNCII.org. Pemerintah membuat panduan bagi sektor privat untuk mengurangi KSBE melalui prinsip Safety by Design, di mana:

a) pengguna tidak dibiarkan mengatur keamanannya sendiri,

b) platform online harus inklusif,

c) informasi yang jelas dan dapat dimanfaatkan pengguna,

d) platform online memastikan keamanan anak.

Perusahaan teknologi di Inggris juga menerapkan dua langkah proses verifikasi yang dapat melindungi akun dari upaya akses ilegal yang dilakukan pelaku, juga mencegah reviktimisasi setelah korban berpisah dengan pelaku.

3. Korea Selatan

Korea Selatan memasukkan perbuatan KSBE dalam pasal Sex Crimes Act 2010 yang fokus pada pengambilan konten asusila, mendistribusikan, menjual, mengintimidasi dan pelanggaran kesusilaan dengan alat komunikasi. 

Peraturan ini menekankan pada unsur ketelanjangan atau seksualitas bukan unsur tanpa izin dan hukuman penjara yang pendek bagi para pelaku

Upaya pemulihan dilakukan pemerintah melalui call center dan support center yang telah disediakan. Digital Sexual Violence Support Centre yang juga dibuat oleh pemerintah Korea Selatan, menawarkan layanan konseling, pencarian, penggunaan platform, laman situs, dan blog untuk menghapus konten berupa gambar yang dilaporkan oleh korban

The Online Safety Act 2021 mulai berlaku yang mencakup larangan perbuatan intimidasi, tindakan keji atau brutal, penyebaran gambar/video intim, Sextortion, pengambilan foto/video yang tanpa izin korban, stalking dan lainnya dalam ruang siber.

Korea membentuk komisi independent The eSafety Commissioner (eSafety) yang berwenang menghapus konten ilegal secara informal melalui kerja sama dengan penyedia layanan media sosial dan pengguna. Hukum yang berlaku memungkinkan untuk pihak yang menghapus konten tersebut untuk mendapatkan sanksi perdata serta membantu korban untuk melanjutkan kasus ke jalur hukum.

4. Australia

Pemerintah Australia memiliki penanganan kasus KSBE yang lebih baik dan efektif. ESafety menerbitkan laporan tahunan untuk memberikan statistik tentang keluhan penyalahgunaan dunia maya dan tanggapannya. Misalnya, dari 16 Oktober 2017 hingga 31 Januari 2020, eSafety tercatat telah menerima 2.305 laporan penyalahgunaan berbasis

gambar saja dan hingga saat ini telah berhasil menghapus materi ini di lebih dari 90 persen kasus, meskipun hampir semua situs web dilaporkan telah diselenggarakan di luar negeri

Korban kekerasan secara langsung maupun daring dapat meminta surat pengadilan untuk mencegah terjadinya kasus yang dapat berulang. Peraturan ini sangat berguna terutama ketika menyangkut kasus penyebaran foto atau video intim di media sosial karena telah ada larangan hukum untuk individu yang kembali mengunggah konten tersebut.

Tersedia Hotline (1800RESPECT) selama 24 jam yang menyediakan layanan konseling dan dukungan online bagi mereka yang telah mengalami (korban) atau berisiko mengalami kekerasan seksual, baik secara langsung maupun online

5. Filipina

Filipina mengesahkan Republic Act 11313: Safe Spaces Act pada 2018 yang memberikan perlindungan dan penegakan sanksi bagi pelaku. Misalnya hukuman penjara 3-7 tahun dan denda 100,000 peso dan 500,000 peso bagi yang mengambil, mendistribusikan, menyalin tanpa izin gambar atau video yang menunjukkan tindakan seksual atau alat kelamin individu di internet.

Ada lembaga khusus untuk menerima dan menangani KSBE. NP Anti-Cybercrime Group sebagai lembaga operasional yang menerima laporan pelecehan seksual berbasis gender online, serta membangun mekanisme pengaduan online secara real time, dan menangkap pelaku. Lembaga Cybercrime Investigation and Coordinating Center berkoordinasi dengan PNPACG untuk menentukan tindakan yang diperlukan dan efektif guna memantau dan menghukum pelecehan seksual berbasis gender online.

Department of Justice (DOJ) Filipina sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunan protokol dan standar tentang pengumpulan bukti dan case build-up.

LSM seperti Foundation for Media Alternatives membuat kampanye di media sosial, program TV, dan radio untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang KSBE dan payung hukum yang melindunginya. LSM lainnya melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada penegak hukum agar mereka peka terhadap kasus KSBE dan menanganinya sesuai hukum yang berlaku.

Pemerintah Filipina menunjuk Women and Children Protection Center (WCPC) untuk memantau media sosial dan menyelidiki kasus, pelaporan daring, dan hotline dukungan (1343) untuk melaporkan konten-konten di media sosial.

6. India

India menindak KSBE dengan bentuk Voyeurism, trolling, penyebaran video dan foto, rekayasa gambar/video, penguntitan serta harassment di ruang fisik dan ruang siber. Larangan tersebut terkandung dalam Information Technology Act 2000 Sayangnya aturan tersebut belum berada di kerangka perlindungan korban atau hak atas integritas tubuh korban. Melainkan menekankan unsur ketelanjangan dan alat kelamin atas kepentingan kesusilaan.

India masih dianggap gagal mengurangi kejahatan dunia maya terhadap perempuan. Menurut laporan kejahatan NCRB di India pada 2017, Cyber Pornography, Revengeporn, Cyber Bullying dan Morphing merupakan kasus yang paling banyak diterima di kepolisian yaitu 4242 kasus.

Korban dapat mengadu melalui email atau menggunakan #IamTrolledHelp di Twitter. Tagar #IamTrolledHelp membantu perempuan meningkatkan alarm di Twitter selain dari email keluhan. Beberapa LSM juga membuat mekanisme pelaporan, pemantauan lebih efisien dan meningkatkan literasi digital.

7. Pakistan

Pakistan memiliki Prevention of Electronic Crime Acts 2016 (PECA) yang mengatur berbagai kejahatan elektronik, mengatur mekanisme penyelidikan, penuntutan dan hukuman. KSBE yang dilarang antara lain: merusak reputasi atau melanggar privasi seseorang cyberstalking serta memproduksi, mendistribusikan atau mengirimkan materi pornografi tanpa izin.

Pakistan menunjuk National Response Center for Cyber Crime (NR3C) dari Federal Investigation Agency (FIA) sebagai otoritas yang melakukan penyelidikan di bawah PECA.

Pelaksanaan hukum PECA di Pakistan seringkali malah menimbulkan kerugian. Misalnya saja pada penghinaan yang sebenarnya dapat backfire kepada korban dan “sexually explicit” juga tidak memiliki panduan jelas untuk menilai unsur ini sehingga dapat bertindak sebagai pasal karet yang mengkriminalisasi korban

Penanganan kasus KSBE di Pakistan masih minim, pada 2018 dan 2019 terdapat lebih dari 8.500 aduan namun hanya 19,5% saja yang dilakukan investigasi.

Pemulihan hak korban diatur dalam PECA section 14, korban dapat mengajukan permohonan kepada otoritas untuk mengamankan, memusnahkan, memblokir akses, atau mencegah transmisi informasi identitas seseorang.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!