Dianggap Punya Duit dan Kaya Raya: Stigma Menyerang Perempuan Etnis Minoritas 

Orang Tionghoa di Indonesia sering distigmakan sebagai orang kaya, punya duit banyak, ini yang sering menjerat mereka, padahal negara ini masih kerap buruk memperlakukan mereka.

Stigma sebagai orang yang punya uang dan kaya, seolah sudah melekat terhadap etnis Tionghoa di wilayah tempat tinggal Henny Lim. 

Bukannya sebagai pujian, anggapan itu sebetulnya adalah satir. Ujungnya, stigma bahkan diskriminasi.   

Henny Lim mencontohkan, penyebutan kaya itu berlanjut dengan adanya pungutan-pungutan yang harus mereka tanggung untuk mengurus administrasi di lingkungan sekitar. Padahal, semestinya setiap warga negara indonesia (WNI) harusnya mendapatkan perlakuan setara dan tanpa diskriminasi. 

“Pembuatan Adminduk (administrasi penduduk) itu harusnya gratis, tapi gak nyampe di kami, kami harus punya uang,” ujar Henny Lim.  

Imbasnya tentu bisa diprediksi. Jika Adminduk saja sulit untuk mengurus atau dipersulit, mana bisa mengurus program kebijakan pemerintah yang semestinya juga bisa jadi hak mereka. Semisal penyaluran bantuan untuk mereka,  sebab tak semua etnis Tionghoa itu sebetulnya kaya, namun ketika bantuan datang, selalu dilewati.

Henny Lim mengatakan, banyak pula dari etnisnya yang bukan saja minoritas secara sosial budaya, namun juga ekonomi. Mereka banyak pula yang tak berpenghasilan layak. Para perempuannya juga ada yang tak berpenghasilan karena menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT). Ada sebagian lainnya, yang merintis usaha kecil-kecilan hingga mencukupi kebutuhan sehari-hari. 

Kondisi ekonomi masyarakat bisa menjadi semakin sulit, saat mereka terjebak terlilit utang rentenir. Sebab, akses layanan keuangan seperti pinjaman perbankan yang tak selalu mudah bagi mereka.

“Kami melihat banyak di wilayah kami bank-bank keliling dengan bunga yang menjerat ketika butuh modal usaha.. agak sulit (pinjaman perbankan—red) banyak persyaratan dan gak semua disetujui, akhirnya kesulitan mendapatkan pinjaman,” katanya. 

Dari situlah, Henny menceritakan awal mula terbentuknya inisiasi koperasi simpan pinjam yang anggotanya banyak dari kalangan etnis minoritas di wilayahnya. Saat ini total mencapai sekitar 786 anggota, yang 90% perempuan termasuk dari etnis Tionghoa. 

“Dukungan program peduli yang memberi kami pelatihan, penguatan kelembagaan dan perempuan, mengajak kami juga audiensi ke Pemkot,” imbuhnya. 

Dia menambahkan, sistem koperasi itu adalah anggota bisa meminjam 2x jumlah tabungan untuk keperluan umum. Sementara, bisa 3x jumlah tabungan untuk keperluan produktif usaha. Kaitannya dengan jaminan penyerta, hal itu sesuai dengan kondisi dengan biaya jasa 2% yang digunakan sebagai modal operasional. 

“(Pinjaman itu) Untuk modal usaha, bisa juga untuk pendidikan anak, hajatan ketika belum punya uang, dan lainnya,” sambungnya. 

Bukan saja manfaat finansial yang didapat, Henny sebagai Ketua Koperasi Lentera Banteng Jaya itu bilang, koperasi itu juga membantu upaya pemberdayaan. Utamanya bagi perempuan etnis minoritas. 

Melalui kelompok koperasi itu juga, dirinya bersama para anggota bahkan juga bisa mendorong pemerintah setempat untuk memberikan haknya. Termasuk soal hak adminduk yang gratis dan tak ribet. 

“Harapannya meskipun kita kelompok kecil, etnis minoritas, jangan patah semangat, kita tetap berusaha semampu kita,” kata Henny.

Perempuan Adat Jadi Tumpuan, Tapi Diabaikan

Hal lain juga dialami perempuan adat. Kita mesti tau, perempuan adat begitu berjasa dalam situasi krisis pangan. Salah satunya saat momen pandemi Covid-19. Saat banyak masyarakat termasuk di kota kehilangan sumber-sumber penghidupan dan pangannya, perempuan adat justru menjadi tumpuan yang mengkonsolidasikan diri. 

Perempuan adat yang hidup di kampung-kampung menggiatkan pertanian kolektif hingga melakukan pengawetan stok makanan, sehingga bisa didistribusikan ke berbagai wilayah yang membutuhkan. 

Persekutuan Perempuan Adat Nusantara atau Perempuan AMAN menyebut, sebanyak 31 juta jiwa penduduk Indonesia diberi makan oleh perempuan adat. Sebanyak 70% di antara aktivitas berladang itu dilakukan oleh para perempuan adat. 

“Krisis ekonomi 1998, 1999, pandemi, itu kemana sih orang-orang pulang? Ke kampung. Siapa yang memberi makan? Perempuan adat. Mereka yang mengelola ruang-ruang,” ujar Devi Anggraini, Direktur Perempuan AMAN, di kesempatan sama dengan Henny Lim, dalam diskusi ‘Gerak Langkah Perempuan Adat dan Etnis Minoritas dalam Pemberdayaan Ekonomi’ oleh INKLUSI yang dihadiri Konde.co, Senin 17 Oktober 2022

Pada masa itu, Devi mengungkapkan situasi itu ditunjukkan oleh 55 wilayah pengorganisasian perempuan AMAN. Tersebar pada sebanyak 6 region besar di Indonesia di antaranya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Maluku, Sulawesi serta Bali, Nusa Tenggara. 

Namun mirisnya, Devi menyebut, perempuan adat yang berjasa menjadi tumpuan dan menopang kelangsungan hidup. Justru, seringkali diabaikan. Bahkan dianggap sebagai kegiatan domestik yang tak penting dan tak memiliki nilai politis. 

“Perempuan adat tidak pernah dilihat sebagai subjek,” lanjutnya. 

Tak kalah penting lainnya, perempuan adat selama ini justru diusir dari ruang hidupnya sendiri. Ini bisa dilihat dari masifnya peminggiran terhadap mereka atas nama proyek-proyek pembangunan dan peningkatan ekonomi yang merusak. 

Terlebih, situasi saat ini yang masih didominasi perspektif maskulin dan “menomorduakan” perempuan termasuk perempuan adat. Menjadikan daya tawar mereka semakin lemah. Seperti minimnya keterlibatan perempuan adat sebagai pemegang posisi strategis. 

“Transformasi individual perempuan harus terjadi karena itu yang menjaminkan sustainability (keberlanjutan), perubahan relasi di tingkat keluarga dan kampung,” katanya. 

Perempuan AMAN menjadi salah satu dari sekian banyak pihak yang terus memperjuangkan berdayanya perempuan adat. Mulai dari penyadaran di tingkat kampung hingga nasional. Bahkan, upaya mendorong masuknya poin-poin penting jaminan perlindungan perempuan adat dalam rekomendasi komite CEDAW. 

Salah satu program terbarunya yaitu Perempuan AMAN bekerjasama dengan HUMA tahun 2021 untuk memfasilitasi Peraturan Desa mengenai Wilayah Kelola Perempuan Adat di Area muara dan Mangrove yang menjadi “kuasa” Perempuan Adat mempraktekkan pengetahuannya. 

Keberadaan UU No. 6/2014 juga dapat secara positif digunakan oleh Perempuan Adat untuk menggunakan hak individunya sebagai warga negara. Misalnya menjadi dari BPD bahkan kepala desa meski persyaratannya masih berat bagi Perempuan Adat. 

“Contoh pengakuan Kampung Adat di Rakyat Penunggu dan Kampung Adat di Kabupaten Jayapura yang akan didaftarkan dan diregistrasi di ATR,” katanya. 

Akademisi CRCS UGM, Samsul Maarif, mengatakan inisiasi berbagai stakeholder dan pemerintah penting untuk terus dikonsolidasikan. Berbagai kebijakan yang masih tumpang tindih (overlapping) dan menghalangi satu sama lain berkaitan dengan masyarakat adat haruslah dicarikan solusinya.  

Senada dengan Devi, perempuan adat semestinya harus menjadi subjek. Bukan objek pembangunan atau peningkatan nilai ekonomi. Perempuan adat haruslah ditempatkan sesuai dengan eksistensi yang bermakna bagi dirinya. 

Dalam 5 tahun terakhir, Perempuan Aman telah melakukan pendokumentasian yang berdasarkan pada pengalaman, praktek dan kejadian yang menimpa perempuan adat. Dalam pendataan ditemukan fakta bahwa 90% perempuan adat masih belum dilibatkan dalam proses pembangunan yang akan masuk ke wilayahnya. Dan dari survei tersebut, 98% responden menyatakan bahwa wilayah adatnya telah mengalami perubahan, namun belum melibatkan suara mereka sebagai perempuan.

“(Makanya harus) Memberikan pengakuan terhadap perempuan adat, meskipun masih sedikit, beberapa Pemda memberikan pengakuan, milestone untuk tindak lanjut,” pungkasnya. 

Problem pengakuan memang jadi persoalan serius di Indonesia. Ada banyak kelompok marjinal di Indonesia yang punya problem soal pengakuan, seperti keberadaan mereka yang tidak diakui di lingkungannya, atau bahkan tidak diakui sebagai warga negara. Problem ini masih diperjuangkan hingga kini.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!