Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Radikal Ajarkan Bagaimana Melawan Penindasan Tubuh Perempuan

Feminisme radikal meyakini bahwa sistem patriarki adalah penyebab ketimpangan struktural dalam masyarakat, maka sistem Patriarki ini harus dibongkar dan dilawan

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022

Sejumlah feminis radikal sering mendapat kecaman seperti ini:

“Oh, ini kumpulan perempuan yang membenci laki-laki?”

“Kelompok perempuan yang menuntut kebebasan seksual ya?”

Anggapan atau gambaran semacam ini bisa jadi pernah muncul dalam benakmu ketika mendengar kata feminisme radikal. Tapi, apakah memang demikian? Bagaimana prinsip dasar yang diusung aliran feminisme radikal? Kita telusuri bersama, yuk!

Feminisme radikal pada dasarnya meyakini bahwa sistem patriarki adalah penyebab ketimpangan struktural dalam masyarakat. Patriarki sendiri dipandang sebagai sistem yang menempatkan laki-laki sebagai kelompok sosial yang memegang kekuasaan ekonomi dan politik baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat dan memiliki kontrol atas kelompok sosial perempuan (entah itu terhadap tubuh, pekerjaan, ataupun seksualitas mereka, dll) yang mengakibatkan subordinasi perempuan oleh laki-laki.

Sistem patriarki ini secara universal ada di hampir setiap masyarakat yang dikenal. 

Itulah sebabnya, aliran feminisme ini disebut radikal secara etimologi berasal dari bahasa Latin rādīx, akar, digunakan sebagai makna kata sifat atau berkaitan dengan akar atau menuju ke akar.

Singkatnya feminisme radikal bertujuan untuk membongkar seluruh sistem patriarki yang ada di dunia ini. Jadi yang disasar adalah sistem, sehingga yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh atas sistem. Bukan sekadar melakukan penyesuaian atas sistem yang ada melalui perubahan kebijakan, dan sejenisnya.

Hal ini yang membedakan feminisme radikal dengan feminisme liberal dan feminisme Marxis. Feminisme liberal hanya menuntut persamaan hak, karena dalam pandangan feminisme liberal, penyebab utama dominasi perempuan oleh laki-laki adalah ketimpangan hak-hak sipil dan politik. Sementara feminisme Marxis membatasi dirinya pada analisis ekonomi penindasan perempuan dan percaya bahwa penghapusan kapitalisme akan cukup untuk membebaskan perempuan.

Secara sederhananya, feminisme radikal menentang institusi politik dan sosial yang ada secara umum karena dinilai secara inheren terikat dengan patriarki, seperti misalnya institusi keluarga, lembaga agama, dll. Feminisme radikal cenderung berfokus pada perubahan budaya yang menyebabkan sistem menjadi patriarkis dan struktur hierarki terkait.

Karena itu sebagaimana diungkapkan Nancy Mandell (1995), “Hanya penghapusan patriarki dan penghancuran kontrol laki-laki yang akan membebaskan perempuan.” 

Jadi jelas bahwa feminisme radikal menentang patriarki, bukan laki-laki. Hal ini yang sering disalahpahami dari feminisme radikal dan feminisme secara umum.

Menyamakan feminisme radikal sebagai pembenci laki-laki sama artinya menganggap bahwa patriarki dan laki-laki tidak dapat dipisahkan secara filosofis dan politis. Dengan kata lain, feminisme radikal tidak membenci individu laki-laki cisgender. Ia menentang patriarki sebagai sebuah sistem.   

Gagasan-Gagasan Utama Feminisme Radikal

Penindasan perempuan oleh laki-laki dalam kerangka patriarki termanifestasi dalam kontrol atas tubuh perempuan, termasuk seksualitas dan pengibuan (motherhood) perempuan.

Untuk itu seperti diungkapkan Camille Cottais (2021) perkawinan menurut feminis radikal merupakan institusi patriarki karena mengasimilasi perempuan sebagai milik pribadi laki-laki (ayah mereka dan kemudian suami mereka). Ini memperkuat kontrol laki-laki atas tubuh perempuan, khususnya hak-hak reproduksi perempuan.

Perkawinan dengan demikian dipahami sebagai kontrak, dengan perempuan bersumpah untuk patuh dan tunduk kepada suaminya, sementara laki-laki memastikan untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Bahkan saat ini perkawinan dapat dilihat sebagai institusi yang melanggengkan ketimpangan. Misalnya melalui pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar yang sebagian besar masih dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, feminis radikal menuntut kebebasan yang lebih besar dalam hal cinta sekaligus juga seksualitas. 

Selain institusi perkawinan, terdapat sejumlah institusi lain yang juga terlibat dalam kontrol atas tubuh perempuan, salah satunya negara. Ini dilakukan lewat undang-undang yang membatasi perempuan dalam aborsi atau kontrasepsi. Feminis radikal juga membongkar kondisi ini, karena dalam aborsi dan kontrasepsi, yang disorot hanyalah perempuan, tetapi bukan laki-laki, sistem dan institusi yang menjadi penyebab semua ini.

Institusi agama seperti gereja juga telah lama membatasi perempuan pada perannya sebagai ibu. Seksualitas dalam perkawinan cenderung hanya dilihat dalam kerangka prokreasi dan menolak gagasan seksualitas untuk tujuan rekreasi atau kebebasan perempuan menentukan pilihan atas tubuhnya.

Feminisme radikal juga menyoroti institusi medis. Baik karena dokter yang menolak melakukan aborsi maupun karena pengembangan metode kontrasepsi yang berbahaya oleh perusahaan farmasi. 

Melalui serangkaian kontrol yang dilakukan oleh lembaga keagamaan, medis, dan keluarga, serta lembaga perkawinan seperti dipaparkan di atas, kita dapat melihat bahwa perempuan dijadikan sebagai objek dan direbut dari tubuhnya, kesehatannya, dan seksualitasnya.

Karena itulah feminisme radikal menggunakan slogan seperti “my body belongs to me” yang mencerminkan keinginan perempuan untuk merebut kembali kendali atas tubuh mereka yang telah dirampas oleh masyarakat patriarki. Karena siapa yang mengendalikan tubuh seseorang, ia mengendalikan hidupnya dan dengan demikian mendapatkan kembali kekuasaan. 

Feminisme radikal percaya bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan adalah cara patriarki untuk mengontrol, mendominasi dan melanggengkan subordinasi perempuan.

Untuk itu feminis radikal berjuang melawan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga, yang berkat perjuangan feminis radikal bentuk kekerasan ini menjadi lebih terlihat dan dikenali.

Feminisme radikal juga menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah fenomena individu yang tidak membahayakan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan. Sebaliknya ia merupakan permasalahan kolektif, yang dimungkinkan dan bahkan didorong oleh masyarakat patriarki. Dengan demikian feminis radikal menekankan pada aspek kultural dari kekerasan seksual.

Feminisme radikal percaya pada gagasan the personal is political. Gagasan ini didasari pemikiran bahwa patriarki mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seseorang. Dengan begitu gagasan ini menekankan pada dimensi politik dari masalah-masalah yang terkait dengan seksisme yang sebelumnya dikategorikan ke dalam ranah privat. Isu-isu ini tidak hanya bersifat individual dan privat tetapi mempengaruhi semua perempuan karena isu tersebut terkait dengan masyarakat patriarki.

Sebagai contoh, pembagian dan pengaturan peran dalam keluarga atau rumah tangga seperti pengasuhan anak, pembagian kerja rumah tangga, pengaturan keuangan, dll terkait erat dengan peran dan harapan gender yang berlaku dalam masyarakat. Jadi keputusan dan pilihan yang diambil seorang perempuan terkait perannya dalam rumah tangga bukan semata-mata sebuah pilihan personal melainkan ada dimensi politis di situ.

Singkatnya hal-hal yang dianggap berada dalam ranah privat seperti seksualitas, cinta, pengibuan, hubungan perkawinan, aborsi, kontrasepsi, kekerasan, dll, harus dianggap sebagai masalah publik dan sistemik.

Feminis Radikal Libertarian dan Feminis Radikan Kultural

Dari sudut pandang feminis radikal, isu kekerasan seksual, industri budaya, iklan seksis, prostitusi dan pornografi berkontribusi terhadap objektivikasi perempuan. Namun di antara feminis radikal sendiri terdapat perbedaan pandangan atas sejumlah isu, mulai dari soal reproduksi, motherhood hingga pornografi.

Menurut Rosemarie Putnam Tong (1998) perbedaan pandangan tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua aliran utama feminisme radikal yakni feminis radikal-libertarian dan feminis radikal-kultural. 

Terkait reproduksi perempua,n feminis radikal-libertarian memandang reproduksi alamiah sebagai penyebab opresi terhadap perempuan. Feminis radikal-libertarian berargumen bahwa kemampuan reproduksi perempuan serta peran dan tanggung jawab seksual berfungsi untuk menindas perempuan dalam masyarakat patriarki, dan membatasi kemampuan perempuan untuk menjadi manusia seutuhnya.  

Sementara dalam pandangan feminis radikal-kultural, reproduksi alamiah adalah sumber pembebasan perempuan. Feminis radikal-kultural melihat kekuatan perempuan untuk menciptakan kehidupan baru sebagai sumber utama dari kekuatan perempuan.

Feminis radikal-kultural berteori bahwa penindasan perempuan tidak disebabkan oleh biologis dan kemungkinan reproduksi perempuan, melainkan oleh kecemburuan laki-laki terhadap kemampuan reproduksi perempuan dan keinginan laki-laki untuk mengendalikan perempuan melalui teknologi reproduksi baru.

Mengenal Pemikir dan Aktivis Feminis Radikal

Kate Millet adalah seorang  feminis radikal yang terkenal dengan menuliskan pemikirannya dalam Sexual is Political yang secara luas dipandang sebagai manifesto gerakan feminisme radikal.

Dalam bukunya, Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. 

Millett mengembangkan gagasan bahwa laki-laki telah melembagakan kekuasaan atas perempuan, dan bahwa kekuasaan ini dibangun secara sosial bukan sesuatu yang alamiah atau terberi. Teori ini menjadi landasan bagi pendekatan baru pemikiran feminis yang kemudian dikenal dengan feminisme radikal. 

Sexual Politics pada dasarnya merupakan analisis kekuasaan patriarki. Millet menawarkan kritik terhadap patriarki dalam literatur Barat. Ia mengidentifikasi peran seksisme dan heteroseksisme yang ditulis novelis modern. 

Millet menggunakan analisis sastra untuk membedah karya 4 penulis laki-laki terkemuka (Henry Miller, Norman Mailer, D.H. Lawrence dan Jean Genet) dan memperlihatkan bagaimana patriarki mengatur hidup kita dan menyusup ke dalam imajinasi kita. Penggambaran perempuan terutama perempuan lesbian dalam karya keempat penulis tersebut sebagian besar merendahkan.   

Feminis lainnya, Shulamith Firestone dalam bukunya Dialectic of Sex berpendapat bahwa ‘sistem kelas seksual’ adalah bentuk stratifikasi pertama. Sistem semacam itu ada sebelum sistem berbasis kelas dan kapitalisme. 

Menurutnya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi dasar bagi pembagian kerja yang berbeda. Hal ini diatur melalui ‘keluarga biologis’. Sistem kelas seksual merupakan dasar dari semua sistem kelas lainnya. Laki-laki menikmati kekuasaan mereka atas perempuan dalam keluarga biologis dan berusaha memperluasnya ke ranah kehidupan sosial dan ekonomi lainnya. 

Oleh karena itu, Firestone berpendapat bahwa sistem kelas seksual memunculkan sistem kelas ekonomi, bukan sebaliknya seperti yang disarankan Engels.

Feminis Mary Daly menyebut dirinya sebagai feminis radikal lesbian. Ia merupakan seorang filsuf, teolog sekaligus akademisi. Bukunya Beyond God the Father dianggap sebagai teks dasar teologi feminis, meskipun buku ini juga mendapat banyak kecaman. Banyak teolog feminis menganggap kritik Daly terhadap gereja/agama terlalu keras, sementara banyak filsuf feminis berpendapat bahwa terlibat dengan teologi sama sekali tidak diperlukan dan tidak membantu pembebasan perempuan. 

Dalam Beyond God the Father, Daly berargumen bahwa Kekristenan adalah institusi yang sepenuhnya patriarkal. Salah satu hal yang menjadi fokus Daly adalah bahasa kekristenan, terutama caranya dalam mengagungkan laki-laki. Daly berargumen bahwa Tuhan dikonstruksi menggunakan hampir seluruhnya dengan bahasa-bahasa yang maskulin.

Gagasan-gagasan feminis radikal tersebut tentu tidak luput dari kritik. Namun terlepas dari kritik yang ada, feminisme radikal telah mengubah diskusi dalam masyarakat kita terkait upaya menentang kekerasan terhadap perempuan. Ia berhasil mengakhiri keheningan tentang pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga karena semua orang harus bersuara dan melawan kekerasan seksual.

(Gambar/ Image: Freepik)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!