“Fashion Has No Gender” Laki-laki Juga Bisa Ekspresif Dan Kreatif

Maskulinitas toksik membelenggu laki-laki agar tak keluar dari ‘man box’. Termasuk dalam hal profesi seperti fashion yang diidentikkan tak pantas bagi laki-laki karena dianggap kurang ‘macho’.

Dunia fashion itu sebenarnya soal bagaimana setiap orang bisa mengekspresikan kreativitas, dan itu berhak digeluti oleh semua orang, termasuk laki-laki. Namun selalu ada anggapan seperti ini:

Dunia fashion itu kan gak cocok buat laki-laki. Kurang ‘macho’. Gak laki banget, deh!.”

Kalau kalau nemu orang yang suka mengucapkan hal serupa, waspadalah karena kamu sedang berada di lingkungan yang maskulin toksik (toxic masculinity)

Kondisi ini erat kaitannya dengan tekanan budaya bagi laki-laki untuk bersikap dan mengerjakan sesuatu hanya yang bisa dibilang maskulin. Gak cuma itu, laki-laki juga diikat dengan nilai-nilai konstruksi sosial yang harus menunjukkan sikap kekuasaan, kekuatan sampai pantang mengekspresikan emosi ataupun kreativitasnya. 

Pandangan laki-laki penggemar dunia fashion sebagai suatu yang menye-menye itulah, yang kemudian menyeret laki-laki dalam ‘man box’ atau ‘kotak laki-laki’ yang begitu patriarki. Padahal, fashion harusnya bisa berlaku untuk semua gender: karena semua berhak mengekspresikan kreativitasnya.  

Fashion has no gender, jadi menurut saya gender apapun boleh bekerja di industri fashion. Spektrumnya luas,” ujar pekerja di Industri Fashion, Adi, kepada Konde.co pada 10 November lalu.

Laki-laki lulusan pendidikan Bahasa Inggris ini mengatakan dia cukup beruntung karena berada di lingkungan yang tak maskulin toksik. Sebab mereka tidak menganggap bahwa pekerja laki-laki yang berkecimpung di dunia fashion itu ‘kurang laki’. 

Dirinya pun juga menganggap bahwa konstruksi sosial yang mengatakan bahwa laki-laki itu harus tertutup dengan ekspresinya, tidak punya empati, dan tidak peka. Itu tidaklah benar.

“Seorang lelaki bisa bersikap terbuka, empati, memiliki reputasi sopan santun dan sadar sosial,” kata laki-laki pemilik bisnis Fashion Awsm Tribe dan ayam geprek ini.

Bagi dirinya, upaya mengkotak-kotakkan laki-laki dan perempuan termasuk ragam gender lainnya secara fisik dan mental itu juga tak ada gunanya. Sebab setiap individu memiliki kebutuhan tersendiri sebagai manusia. 

“Selayaknya manusia, kalau lelah ya istirahat, kalo sedih ya boleh menangis. Kadang dalam mengejar passion juga banyak rintangan, norma patriarki tersebut yang akhirnya kadang menjadi mental block, terutama di lingkup hidup bermasyarakat,” katanya.

Dalam pandangan Adi, gerakan feminisme merupakan salah satu cara untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kondisi tanpa kekerasan berbasis gender. 

“Terutama dalam relasi gender, maka, ini harus menjadi tanggungjawab semua orang, perempuan atau laki-laki,” kata Ari. 

Untuk memperjuangkan feminisme menurutnya juga tak terbatas gender perempuan, dirinya yang mengidentifikasikan sebagai seorang laki-laki juga bisa turut serta. Dia bersepakat dengan istilah Male Feminist.

“Banyak nilai-nilai feminisme yang bisa diraih kok, apalagi memerangi patriarki kan perlu banyak sekali lapisan. Dan, sekali lagi, dengan pandangan seperti ini, feminisme perlu menjadi gerakan sosial kemanusiaan yang butuh keterlibatan kita semua,” tambahnya.

Butuh Lebih Banyak Laki-Laki Baru

Menyoal stereotip fashion yang tak cocok untuk laki-laki, Ketua Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) Eko Bambang Subiantoro mengatakan sebagaimana seperti kerja domestik, hal itu tidak memiliki gender. Alias semestinya bisa dikerjakan semua gender. 

”Sebuah konstruksi sosial yang perlu dikoreksi karena menyebabkan kekeliruan, kerja domestik adalah kerja sama, tidak ada gender, kerja bersama tidak boleh ada yang merasa diberatkan salah satunya dalam rumah tangga, ” ujar Eko kepada Konde.co

Kaitannya dengan kerja-kerja domestik—sebagai yang paling kental stigmatisasi terhadap pembagian kerja berdasarkan gender, Eko mengatakan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Sebab hal itu adalah keterampilan hidup.  

“Ini tidak mudah, sejak awal sejak kecil dianggap tabu kalau pegang cucian, memasak, apa yang harus dilakukan pelan-pelan bagi keluarga,” tambah Eko.

Eko juga mengungkapkan, masyarakat sebaiknya mulai memutus mata rantai dari pengkotak-kotakan peran berdasarkan gender tersebut. Upayanya harus terus mulai dilakukan bersama. Mulai dari lingkup keluarga.  

Eko mengajak agar para laki-laki yang mempunyai perspektif baru soal kesetaraan gender itu pun bisa memutus rantai ketimpangan dan diskriminasi yang terjadi. Salah satunya dengan menyadari adanya privilese yang dalam masyarakat patriarki juga menjadi toksik sebab memberi “kekuasaan”. 

”Hal ini (bisa jadi—red) dijadikan legitimasi, memukul dianggap sesuatu yang biasa, itu yang menjadi budaya, kalau didik dengan cara seperti itu, sampai besar, harus ditutup mata rantainya,” jelasnya.

Di masa depan, Kata Eko, memberdayakan keluarga, saling berbagi, mereka ada yang terbentuk kesadaran dari kognitif, ada yg terbangun dari tindakan. 

“Untuk membantu orangtuanya, ada yg sudah terbiasa sejak kecil, itu konsep gender, penekanan untuk menguatkan mereka dari kecil, dari pendidikan, pergaulan, interaksi yang punya konsep keadilan gender, mengubah pola pikirnya, mencoba punya perilaku baru,” tuturnya.

Salah satu upaya yang telah dilakukan gerakan Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) yang didirikan Eko ini, adalah mendorong lebih banyak lagi laki-laki yang turut bergerak menghapus stereotip laki-laki. Termasuk, kaitannya dengan laki-laki di dunia fashion.  

Melalui sosial media twitter ALB, Eko bersama teman-temannya berupaya menghapus stigmatisasi bahwa: laki-laki tak boleh menangis, laki-laki tak boleh berdandan, laki-laki tak harus peduli dengan urusan rumah, sampai laki-laki seolah bisa dengan kuasanya melakukan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Gerakan laki-laki baru ini, dalam kelahirannya telah berperan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk lebih meluaskan gerakan dan mengajak keterlibatan laki-laki dalam melawan dunia yang patriarki. 

Sebab tak hanya perempuan yang bisa melawan kekerasan, laki-laki pun harus bisa melawan konstruksi maskulinitas yang selama ini berkelindan. 

Fauzan Zailani dalam website Aliansi Laki-laki Baru mencatat, bahwa hambatan partisipasi laki-laki dalam ranah domestik seringkali justru berasal dari norma-norma tradisional yang berkembang di masyarakat mengenai citra diri laki-laki, peran dan relasi laki-laki dengan perempuan. 

Laki-laki dianggap semakin laki-laki jika ia memiliki sumberdaya uang, status dan kekuasaan. Laki-laki dicitrakan memiliki peran di ranah publik, menjadi pemimpin (termasuk dalam keluarga) dan pencari nafkah, karena itu dibebaskan dan ditabukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Hubungan laki-laki dan perempuan dimaknai secara subordinatif, laki-laki lebih diutamakan, dimuliakan, dipatuhi dan dilayani, sementara perempuan sebaliknya. 

Secara ekonomi peran perempuan hanya dianggap membantu memenuhi kebutuhan ekonomi, sekalipun bisa berpenghasilan lebih tinggi dibanding laki-laki. Perempuan akan lebih dihargai jika ia mau dan mampu menjalankan peran-peran domestiknya, sembari diharapkan dapat membantu laki-laki memenuhi kebutuhan ekonomi, manakala laki-laki mengalami kesulitan. Konsep dan norma gender inilah yang harus ditransformasikan agar lebih cair, lebih fleksibel dan tidak bersifat statis, tapi dinamis.

 Laki-laki dapat berperan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah, karena ini merupakan keterampilan dasar untuk hidup dan kebutuhan hidup yang mesti dimiliki dan dipenuhi bagi setiap orang. 

Ada banyak laki-laki yang sebenarnya mampu dan memiliki keterampilan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, namun menjadi tidak bisa melakukannya setelah menikah. Demikian pula dalam tugas pengasuhan dan perawatan. Setiap laki-laki pasti pernah merasakan kebutuhan kehadiran ayahnya dalam masa tumbuh kembang dirinya. 

Demikian pula dalam peran-peran perawatan, setiap orang memiliki potensi untuk sakit hingga membutuhkan perawatan, sehingga keterampilan merawat ini menjadi kebutuhan setiap orang, karena ia tidak mungkin hidup sendiri.

Walaupun ada yang meragukan: benarkah laki-laki bisa benar-benar meninggalkan dunianya yang membentuknya menjadi patriarki? Namun gerakan laki-laki baru dalam kelahirannya menjadi sesuatu yang sangat penting untuk lebih meluaskan gerakannya dan mengajak keterlibatan laki-laki dalam melawan dunia yang patriarki, karena tak hanya perempuan yang bisa melawan kekerasan, laki-lakipun harus bisa melawan konstruksi maskulinitas yang membangun mereka selama ini.

(Ilustrasi/gambar: freepik.com)

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!