Kamu dan Pacarmu Beda Agama dan Mau Menikah? Cari Tahu Landasan Hukumnya

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan yang berbeda agama. Kondisi ini mengakibatkan kekosongan hukum yang memunculkan perdebatan publik. Lantas langkah apa yang bisa dilakukan pasangan yang berbeda keyakinan/agama namun ingin melangsungkan pernikahan?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: Yth. Klinik Hukum untuk Perempuan, perkenalkan nama saya Daniella (25 tahun/perempuan/ Buddha), pacar saya bernama Afrizal (27 tahun/laki-laki/Islam). Kami berpacaran sudah 5 tahun berjalan dan berencana akan segera menikah dengan restu dari kedua orang tua kami. Namun dengan catatan saya tidak diperbolehkan berpindah agama oleh ayah saya. Demikian juga dengan pacar saya, ia tetap teguh untuk memeluk agamanya sebagai seorang Muslim/Islam dan tidak memaksa saya untuk berpindah agama sesuai agamanya. Jadi kami sepakat tetap dengan agama masing-masing. Yang menjadi pertanyaan dari keresahan saya adalah, dapatkah kami melangsungkan pernikahan secara hukum, sementara kami berbeda agama? Jika pernikahan beda agama bisa ditempuh, bagaimana prosedurnya? Mohon penjelasannya. Terimakasih banyak. (Daniella, Jakarta)

Jawab: Halo Daniella, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan, sebelum saya membahas mengenai pernikahan beda agama bagaimana hukumnya, perlu saya jelaskan terlebih dahulu bahwa, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya setiap perkawinan yang dilangsungkan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh pasangan yang beragama Islam maka pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama kecamatan tempat perkawinan dilakukan. Sementara, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.

Terkait dengan pernikahan beda agama, pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan yang berbeda agama, sehingga ada kekosongan hukum. Karena ada kekosongan hukum maka menjadi perdebatan publik, banyak masyarakat yang berkeyakinan bahwa pernikahan berbeda agama tidak diperbolehkan. Hal ini mengakibatkan permasalahan pernikahan berbeda agama menjadi hal yang pelik, selain harus melewati gesekan antar keluarga, dan masyarakat sekitar, juga harus melewati birokrasi yang berbelit. Tak heran jika banyak pasangan berbeda agama untuk dapat melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama, setelah sah kembali menjalankan agamanya masing-masing.

Opsi lain bagi pasangan yang berkecukupan secara finansial adalah menikah di luar negeri. Pasangan beda agama yang memutuskan menikah di luar negeri akan mendapatkan akta perkawinan dari KBRI atau KJRI di negara tempat pernikahan dilangsungkan, dan ketika kembali ke Indonesia, pasangan tersebut selanjutnya dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.

Sebetulnya, Majelis-Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) mengimbau bahwa pernikahan pasangan yang berbeda agama tidak perlu dipermasalahkan lagi. MATP dalam hal ini memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masing-masing majelis agama untuk menentukan ketentuan pernikahan sesuai dengan ajaran dalam agamanya termasuk mengatur pernikahan beda agama. Namun, hampir semua majelis agama pada praktiknya tidak membolehkan umatnya menikah dengan pasangan yang berbeda agama, sehingga hal ini tetap menjadi masalah, walau MATP menyatakan tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Dengan kondisi ini, langkah apa yang bisa ditempuh oleh Daniella dan pasangannya ataupun pasangan-pasangan lainnya yang berbeda keyakinan/agama namun ingin melangsungkan pernikahan? Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan selain cara menikah di luar negeri, yakni:

1. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama

Pernikahan dilakukan menurut hukum salah satu agama, bisa disepakati bersama untuk memutuskan apakah akan menikah menurut hukum Islam atau Buddha. Setelah pernikahan, Daniella dan Afrizal dapat mencatatkan pernikahannya di kantor catatan sipil (KCS) setempat jika menikah secara Buddha atau di kantor urusan agama (KUA) jika menikah secara Islam. Setelah pernikahan sah secara hukum, maka Daniella dan Afrizal dapat menjalankan keyakinan/agamanya masing-masing di dalam rumah tangga.

Dasar hukum pernikahan penundukan sementara pada salah satu hukum agama adalah Fatwa Mahkamah Agung, tentang Pengecualian dalam Fatwa Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019, bahwa perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi, jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Buddha (non-Islam) maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

2. Meminta Penetapan Pengadilan Negeri

Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan juga berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.” Dasar hukum ini dapat digunakan oleh Daniella dan Afrizal untuk meminta penetapan pernikahan beda agama di Pengadilan Negeri wilayah setempat dimana Daniella dan Afrizal melangsungkan pernikahan baik secara agama Islam dan secara agama Buddha (bisa dilangsungkan 2 kali pernikahan agama), setelah itu mengajukan permohonan penetapan pernikahan/ perkawinan ke Pengadilan Negeri.

Putusan Pengadilan Negeri dapat menjadi kekuatan hukum bagi Daniella dan Afrizal untuk dapat mencatatkan pernikahan beda agama ke Kantor Catatan Sipil, yang mana tidak boleh ditolak, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf l UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban untuk mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Sebagai acuan hukum permohonan penetapan perkawinan di pengadilan negeri, ada 2 putusan pengadilan yang dapat dijadikan dasar hukum (yurisprudensi) selain putusan Mahkamah Agung sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, yaitu:

A. Putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby, yang amar putusannya menetapkan sebagai berikut:

(1) Mengabulkan Permohonan Para Pemohon;

(2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya;

(3) Memerintahkan kepada Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk melakukan pencatan perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut;

(4) Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon sejumlah Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah);

B. Putusan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL, yang amar putusannya menetapkan sebagai berikut:

(1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;

(2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk mendaftarkan perkawinannya di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan.

(3) Memerintahkan agar Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut.;

(4) Menolak Permohonan Para Pemohon selain dan selebihnya;

(5) Membebankan biaya perkara ini kepada Para Pemohon sejumlah Rp210.000,00 (dua ratus sepuluh ribu rupiah);

Versi lengkap putusan tersebut bisa Daniella download di Direktori Putusan Mahkamah Agung, dengan men-searching langsung nomor lengkap dari putusannya. Sehingga isi lengkap dari putusan tersebut dapat dipelajari dan dijadikan landasan hukum (yurispridensi) pada surat permohonan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

Adapun tata cara pengajuan permohonan adalah sebagai berikut:

  1. Permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah pernikahan dilangsungkan.
  2. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal pemohon.
  3. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonanannya tersebut (Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg).
  4. Permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).
  5. Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberikan suatu penetapan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat dan dapat membantu Daniella untuk menyelesaikan masalah pernikahan beda agama yang direncanakan dengan Afrizal.

Referensi

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Putusan:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/PDT/1986.
  2. Fatwa Mahkamah Agung Nomor 231/PAN/HK.05/1/2019
  3. Putusan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby
  4. Putusan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN JKT.SEL

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!