‘Kamu Janda, Bersyukur Masih Ada yang Suka”: Kalimat Beracun Ini Bikin Janda Terjebak Relasi Toksik!

Tak mudah menjadi janda, ketika mereka terjebak dalam relasi toksik dengan pasangan barunya dan mau keluar dari relasi itu, mereka justru mendapatkan pernyataan sengit,”kamu janda mestinya bersyukur masih ada yang suka.”

Status janda masih distigmakan buruk di tengah masyarakat patriarki sampai kini. 

Perempuan dengan status cerai hidup ataupun cerai mati, seringkali mendapat tekanan sosial dan psikologis. Termasuk saat mereka berencana memulai hubungan baru dan menikah. Stigma-stigma akan status janda masih acapkali dijumpai. 

Mirisnya, dampak dari stigma itu membuat mereka bisa terjebak dalam hubungan toksik. Sebab mereka seperti “dipaksa” menerima segala bentuk perlakuan pelecehan dan kekerasan dari lingkungan mereka.

Para janda kerap menerima pernyataan beracun seperti:  

“Udah jadi janda, awas jaga baik-baik suami kalian” 

“Bersyukur ada laki-laki yang mau padahal kan kamu janda” 

“Janda gatel paling jadi simpenan biar hidup mewah”. 

Stigma-stigma negatif terhadap janda, menempatkan mereka sebagai perempuan yang dianggap “liar” yang identik dengan kehidupan yang bebas, boleh dilecehkan, dianggap aib, dan anggapan misoginis yang merendahkan perempuan lainnya. 

Ibarat ‘lingkaran setan’, stigma-stigma itu tak jarang berdampak pada tekanan psikologis hingga krisis penerimaan diri. Misalnya saja, janda yang distigma itu jangankan berpikir untuk membuka diri untuk laki-laki, memaknai identitas diri menjadi orang yang menarik dan cantik saja sulit. Bahkan, anjlok

Perasaan insecure yang dialami para janda ini, kemudian menjadikan mereka merasa tidak cukup layak untuk mendapatkan hal-hal baik dalam hidup. 

Hal itu seperti juga terjadi pada Lulu, bukan nama sebenarnya. Setelah tujuh tahun dia melalui proses move on dari mantan suami yang melakukan kekerasan fisik (KDRT), dia sempat mengalami ketakutan dan kekhawatiran yang menyakitkan ketika akan membuka relasi untuk hubungan baru. 

Dia bercerita, pernah bertemu dengan seorang laki-laki yang awalnya mengaku belum menikah. Namun ternyata, setelah dia menjalin hubungan dengannya, laki-laki itu baru itu ketahuan berbohong. 

“Saya mengkonfirmasi perihal temuan saya di medsos bahwa ternyata laki-laki ini punya dua akun, di akun satunya dia memamerkan kehangatan dirinya dengan keluarganya (sudah beristri),” cerita Lulu kepada Konde.co beberapa waktu lalu. 

Lulu mengaku hancur menerima kenyataan bahwa ia menjadi korban penipuan, namun beberapa kalimat yang sebenarnya beracun, membuat Lulu sempat luluh dan mau melanjutkan hubungan dengan laki-laki beristri ini. Dia juga menjanjikan, bakal menikahi Lulu sebagai istri kedua.  

Di saat itu, laki-laki itu bilang ke Lulu,“bersyukur masih ada aku yang suka sama kamu, memang siapa yang mau sama janda beranak sekarang, kebanyakan mereka pasti mau uang kamu saja,” kata Lulu menirukan kalimat yang dia ucapkan. 

Sebagaimana khas pasangan manipulatif yang mengeluarkan jurus love bombing, yaitu tindakan verbal dan fisik berlebihan untuk mengambil hati pasangan, Lulu sulit keluar dari relasi itu. 

”Berulang kali saya ingin putus, laki-laki ini kerap memelas dan bilang bahwa cuma saya yang ada di hatinya, tidak munafik saya juga akhirnya berharap untuk dinikahi,” ungkapnya.

Janda seperti kondisi Lulu ini harus dikuatkan dan didukung oleh lingkungannya agar keluar dari relasi beracun.

Buruknya Dampak Stigma

Founder Save Janda, Mutiara Proehoeman, membenarkan jika dampak dari stigma akan berakibat sangat buruk bagi janda.

”Konotasi negatif membuat para janda menjalani hidup dengan begitu berat, merasa tidak berguna, kesepian, takut ditelantarkan, takut tak dianggap dan tidak percaya diri, ” ujarnya kepada Konde.co, Rabu, 19 Oktober 2022.

Dampak psikologis dari sebutan janda saja sudah berat, lanjut Mutiara, dalam konstruksi masyarakat patriarki, status janda kerap dijadikan cara untuk menyerang psikologis.

”Janda menanggung beban yang sangat berat dalam kultur masyarakat kita, stigma terberat bagi seorang janda adalah dari orang-orang terdekat yang seharusnya jadi support system,” katanya.

Bagi seorang janda, kata Mutiara, menikah kembali setelah terbiasa hidup sendiri juga tidak mudah, akibat stigma, janda justru kerap kembali menjalin hubungan yang jauh lebih buruk dari kondisi pernikahannya yang hancur sebelumnya.

Ini disebabkan dampak psikologis yang dirasakan janda, sehingga ia akhirnya menikah karena perasaan kesepian dan rasa ingin diterima, sehingga janda berpotensi mendapatkan pasangan yang manipulatif yang membuat seolah tak ada pria yang mau karena status jandanya. 

“Janda juga berpotensi mendapatkan kekerasan dan pelecehan seksual, laki-laki kebanyakan menganggap janda mudah dipermainkan,” lanjut dia.

Untuk menghindari hal buruk itu, Mutiara menyarankan janda untuk mencari pertolongan ahli dan mencari lingkungan yang positif agar keluar dari lingkungan orang-orang yang kerap memberi stigma buruk.

”Selamatkan mental dulu jika menghadapi depresi, bisa ke Psikolog atau konsultan pernikahan, support sistem yang baik juga bisa membuat janda lebih kuat dan jauh dari perasaan kesepian, merasa tidak berguna atau merasa diri sendiri jelek dan tak pantas diterima,” tuturnya.

Ravika Alvin Puspitasari pernah menulis di Konde.co, seorang perempuan janda pernah mengatakan, bahwa kondisinya menjadi rumit ketika banyak yang kemudian mengawasi perilakunya setelah menjadi janda. Padahal ketika ia bersuami, ia tak merasa diawasi. Namun ketika menjadi janda, malah sering diawasi dan dijadikan bahan pergunjingan, seperti apa yang dilakukannya, apa yang sedang dipakainya

Namun ini berbanding terbalik dengan status laki-laki yang menduda yang bernilai positif di lingkungan masyarakat. Ini karena dominasi laki-laki yang selalu lebih berkuasa atas semua peran yang dianggap penting dalam masyarakat yang selalu memenangkan laki-laki, sehingga perempuan janda posisinya terjepit, menjadi obyek dan bukan subyek

Belum lagi jika menjadi janda yang sudah mempunyai anak, maka ia akan mendapatkan beban ganda yang sangat berat. Beban ganda atau biasa disebut double burden ini adalah beban pekerjaan yang tidak sama dengan laki-laki. Beban ganda seringkali menimbulkan kerentanan dan ketidakadilan bagi perempuan, terutama pada janda yang miskin.

Beban ganda ini tak hanya berujud fisik bahwa ia bekerja di wilayah publik dan di domestik, namun juga ketika ia dianggap tidak mampu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Jika stigma ini yang terus berkembang, maka habislah hidup menjadi janda. Sudah tidak diakui keberadaannya, masih mendapat stigma sebagai orang yang tak becus mengurus rumah, tak bisa mengurus anak. Bebannya sebagai janda akan semakin besar. Padahal seorang janda harus keluar terlebih dahulu dari kemelut perkawinannya, menata hidupnya kembali. Jika stigma ini yang selalu disematkan pada janda dan jika banyak yang susah menerima keberadaannya sebagai janda, maka tamatlah hidupnya

“Janda itu pantas mendapatkan jodoh yang lebih baik terlepas dari banyak tantangan dalam pernikahan, “ pungkasnya. 

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!