‘Kan Sering Meliput, Masa Gak Berani Lapor?’ Sulitnya Jurnalis Kala Jadi Korban Kekerasan Seksual

Ekosistem di media masih maskulin dan patriarki. Bukan saja jumlah jurnalis perempuannya yang minim, tapi juga perspektifnya belum ramah gender.

Ancaman kekerasan seksual itu bisa menimpa siapapun. Tak terkecuali, kalangan jurnalis. Meskipun jurnalis sering liputan soal isu kekerasan seksual, tapi bukan berarti dia ‘kebal’ dengan adanya potensi pelecehan dan kekerasan seksual.

Begitulah poin kunci yang disampaikan Kustiah Hasim dari Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Perkosaan di Kemenkop UKM (TAKON Kemenkop) dalam diskusi ‘Mengungkap Kasus Kekerasan Seksual di Perusahaan Media’ Rabu (9/11) yang diikuti Konde.co

Kustiah yang juga berprofesi sebagai jurnalis itu menambahkan, jurnalis yang jadi korban kekerasan seksual juga seringkali dipertanyakan: Kenapa bisa jadi korban? Kan harusnya melek sama kekerasan seksual? Karena sudah sering liputan dan menyuarakan isu itu?

“Ada perasaan menyalahkan dirinya lebih besar (jurnalis korban kekerasan seksual—red). Dia ketakutan, kalau dia dibully, dirundung,” kata dia. 

Sementara di satu sisi, Kustiah menilai, ekosistem di media nyatanya masih begitu maskulin dan patriarki. Bukan saja jumlah jurnalis perempuannya yang minim, tapi juga perspektifnya yang belum ramah gender. Sehingga, kekerasan berbasis gender (KGB) bisa banyak terjadi. 

Sirkel jurnalis yang relatif sempit, juga jadi kendala tersendiri kenapa jurnalis korban kekerasan seksual, susah lepas. 

“Lingkaran jurnalis ini lebih sulit sebenarnya, lingkarannya itu-itu saja,” ujar Kustiah. 

Minimnya penerapan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di media juga memperparah keadaan. Bahkan, ada pula media yang belum punya sama sekali. Ini yang menjadikan kekerasan seksual bisa jadi tetap langgeng. 

Dengan adanya SOP itu, menurutnya perusahaan media tidak akan lagi kelabakan jika ada kasus terjadi. Sebab sudah ada pedoman penanganan. Selain itu, upaya-upaya pencegahan juga membantu memutus normalisasi kekerasan seksual. 

“Perusahaan media harus punya SOP, tidak boleh pandang bulu, jangan sampai ada toleransi pertemanan dekat, karena karya jurnalistiknya keren, ini soal HAM juga,” terangnya. 

Kasus Kekerasan Seksual di Media: Butuh SOP

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta, Mona Ervita, mencontohkan satu kasus kekerasan seksual yang menimpa jurnalis yang tengah Ia dampingi. Tidak adanya SOP perusahaan media, menjadikan kasusnya terkatung-katung selama bertahun-tahun. Kondisi medianya begitu maskulin dengan banyaknya pekerja laki-laki, tidak bisanya mengidentifikasi bentuk kekerasan seksual, serta minimnya perlindungan bagi korban. 

Kasus itu menimpa jurnalis perempuan di Geotimes, IW, pada sekitar 2015. Ada dugaan percobaan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sesama rekan kerja. Korban melaporkan ke pimpinan redaksi, namun tidak mendapatkan penanganan yang memadai. 

Hingga kemudian, pada sekitaran Februari 2022, korban membuat thread di twitter soal kasus tersebut. “Korban ke-trigger, dia speak up kalau atasannya ini berdalih melindungi pelaku, karena tidak ada kejelasan,” ujar Mona sebagai bagian dari tim pendamping korban.

Tim pendamping korban sudah mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi. Namun, hingga kini perusahaan media itu malah merekomendasikan korban untuk menyelesaikan kasusnya secara litigasi di kepolisian. 

“Pertama tidak ada SOP, perusahaan media ini sebenarnya saya tidak tahu kayak (masih) beroperasi deh kayaknya, atasannya (mantan pemred–red) sudah tidak bekerja di situ lagi, bagaimana kita bisa menuntut. Dalihnya perusahaan media,” terangnya. 

Buntunya penyelesaian di internal perusahaan media, tim pendamping lantas meminta Komnas Perempuan untuk membentuk tim independen pengungkapan kasus. 

“Korban tuntutannya sederhana sebenarnya, dia ingin adanya pengakuan adanya kekerasan seksual itu dan meminta maaf (terduga pelaku dan atasan yang mengabaikan kasusnya—red),” katanya. 

Dari kasus kekerasan seksual yang menimpa jurnalis perempuan ini, Mona menggarisbawahi bahwa memang sosialisasi tentang kekerasan seksual perlu dilakukan serta SOP di perusahaan media juga mendesak diterapkan. 

Sebab kasus IW adalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di media. AJI Jakarta tahun 2020 pernah mengadakan survei termasuk menyorot terkait SOP penanganan kekerasan dan pelecehan seksual, hanya 4 responden dari 32 orang yang menjawab bahwa perusahaannya memiliki SOP Penanganan Kekerasan Seksual.

Tanggapan dari kantor tempat bekerja korban pun tak menyenangkan, sebab hanya 1 jurnalis yang melapor kemudian diproses dan diberi pendampingan, sedangkan jurnalis lainnya, 8 korban menjawab direspons tapi tidak dilanjutkan, 3 korban disalahkan, 4 korban diintimidasi pelaku, 2 korban diintimidasi tempat kerja pelaku, 4 korban diintimidasi oleh kantor, 9 korban tidak ditanggapi, 1 korban dianggap tidak lazim.

Minimnya kebijakan yang sensitivitas gender termasuk soal kekerasan dan pelecehan seksual itu, bisa dibilang, juga akibat andil Pemangku kebijakan di media yang masih begitu maskulin dan didominasi laki-laki. 

Data paling mutakhir yang diterbitkan AJI tahun 2012 bertajuk ‘Jejak Jurnalis Perempuan’ mencatat, pada setiap 10 jurnalis hanya ada 2 sampai 3 jurnalis perempuan. Hanya di pusat media, Jakarta, komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki mencapai 40:60. Sementara petinggi redaksi perempuan hanya berkisar di angka 6%, artinya 94% bukan pengambil keputusan keredaksian.  

“Mendesak perusahaan media menerapkan SOP. Itu goal-nya,” ucap advokat pro bono di Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) itu. 

Dyah Ayu Pitaloka dari Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal yang juga tim penanganan kekerasan seksual di AJI Indonesia, mengatakan bahwa di AJI sudah ada SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Ini bisa berlaku untuk anggota AJI yang kini terdiri dari ribuan jurnalis di puluhan kota di Indonesia. 

Saat ini, AJI Indonesia juga sedang menyusun survei yang tujuannya untuk memberikan rekomendasi bagi media-media di Indonesia terkait pentingnya ada SOP tersebut. 

“Kami akan melihat masalah di ruang redaksi. Harapannya ada sosialisasi di ruang redaksi. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi dan melibatkan jurnalis,” kata Dyah. 

Pahami Kondisi Korban Kekerasan Seksual

Psikolog Vitria Lazzarini menjelaskan kondisi korban kekerasan seksual itu begitu kompleks. Bisa jadi reaksi dan dampaknya berbeda-beda. Baru akan terjadi kekerasan seksual saja, sudah bisa membuat efek ketakutan yang luar biasa. Bahkan, traumatik. 

“Mereka gak bisa kontrol tubuh mereka sendiri. Bahkan sampai sudah banyak penelitian neuropsikologis efeknya ke otak luar biasa sekali. Mempengaruhi berpikir dan bertindak, dampaknya tidak hanya dialami saat terjadi (kekerasan seksual–red),” ujar Vitria. 

Lebih jauh lagi, korban kekerasan juga bisa mengalami gangguan kognitif dan mental. Munculnya rasa bersalah dan tidak percaya diri. Pola pikir ini bisa seperti kilatan flash back yang sangat kuat dan intens. 

“Emosi negatif ini sangat gak enak. Mempengaruhi perilaku keseharian, tadinya pekerja cepat jadi lebih lambat, orangnya aktif jadi lebih pasif, lebih murung,” terangnya. 

Vitria menekankan, kondisi tiap orang bisa begitu berbeda. Fase pemulihan korban kekerasan seksual pun tidak linear. Namun, bisa berkelok-kelok. Naik turun. 

“Ketika mereka sudah berfungsi sekalipun dalam keseharian, mereka masih on going process. Proses pemulihan itu gak enak. Bukan kayak jalan tol. Pemulihan itu kayak ular tangga. Kita kadang di atas karena ada dukungan, tapi bisa juga drop jika ada triggering,” ucapnya.  

Maka dari itu, support system begitu penting bagi korban kekerasan seksual. Utamanya kepercayaan dari orang-orang terdekat yang memiliki perspektif korban. Di samping juga dukungan pemulihan psikologis hingga advokasi.  

“Akan sakit sekali kalau dia tidak dipercaya dari lingkungan terdekatnya. 

Akses ke lembaga layanan pengaduan. Itu juga jadi kunci. Yang membuat seorang itu bisa pulih jauh lebih cepat,” pungkasnya.

Ilustrasi/gambar: freepik.com

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!