Mahasiswi Korban Tak Nyaman Lagi di Kampus: Butuh Satgas Stop Kekerasan Seksual

Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus marak terjadi. Sering kali korban justru disalahkan bahkan dibungkam. Pelakunya adalah orang di lingkungan kampus seperti civitas akademika, dosen dan mahasiswa.

Hal yang mencengangkan dari kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi adalah bahwa para pelaku merupakan civitas akademika baik dosen maupun mahasiswa.

Padahal perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat aman dan ternyaman untuk menimba ilmu sekaligus merupakan komunitas orang-orang berpendidikan. Namun malah berubah menjadi tempat paling berbahaya akibat ulah para predator kekerasan seksual.

Hal lain yang perlu disorot dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi adalah kebijakan dan kesigapan kampus dalam menangani kasus ini.

Dari banyak kasus yang terjadi di kampus, penanganan kasus kekerasan ini kurang disikapi dengan bijak. Tak jarang muncul perlakuan yang kurang berpihak pada korban bahkan lebih menyudutkan para korban kekerasan itu sendiri.

Para korban yang mengalami kekerasan seksual juga sering kali dikucilkan dan cenderung disalahkan. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga jika ada oknum-oknum yang memberi ancaman pada korban agar mau tutup mulut dan memilih untuk menutupi kasus dengan tujuan agar akreditasi serta nama baik kampus tidak tercoreng.

Belum lagi jika pelaku mempunyai kekuasaan atau jabatan tinggi di kampus, tidak menutup kemungkinan pelaku kekerasan seksual justru akan melaporkan balik dan menuntut korban karena telah mencemarkan nama baik pelaku. Hal inilah yang membuat kebanyakan korban kekerasan seksual tidak berdaya untuk melawan dan melaporkan pelaku. Bahkan sering kali korban lebih memilih untuk diam atau membuka kasusnya melalui media sosial daripada ke pihak kampus atau lainnya.

Bukan hanya itu saja, sebagian orang juga masih menganggap kekerasan seksual merupakan aib sehingga tidak jarang membuat korban menjadi takut untuk menceritakan kasus ini kepada orang-orang di sekitarnya. Padahal kekerasan seksual dan ancaman yang diterima korban bukan hanya membuat mereka trauma tetapi juga dapat mengguncang fisik, mental, dan psikis korban.

Sebenarnya sejumlah sindiran pada pelaku kekerasan seksual bisa dilihat di media sosial. Termasuk sindiran terhadap para pelaku kekerasan seksual di kampus yang dapat dilihat pada film pendek berjudul “Demi Nama Baik Kampus” yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud RI).

Cerita yang disajikan dalam film pendek tersebut sama seperti gambaran kejadian kekerasan seksual di kehidupan nyata. Terlihat jelas korban kekerasan disalahkan, diancam, dan dituntut balik oleh pelaku kekerasan seksual. Bahkan kampus yang seharusnya melindungi korban lebih memilih untuk melindungi pelaku dan menutupi kasus kekerasan seksual demi nama baik kampus.

Lewat film tersebut kita bisa melihat betapa mirisnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Adanya faktor kepentingan dan kekuasaan (power) yang dimiliki oleh pelaku sering kali membuat korban kekerasan seksual selalu dibungkam. Hal seperti ini sangat tidak adil bagi para korban karena korban sudah dirusak masa depannya, lalu dirusak lagi secara mental dan psikisnya. Harusnya yang didapatkan pelaku kekerasan seksual adalah dihukum seadil-adilnya.

Bicara tentang kekerasan seksual seakan-akan tidak pernah ada habisnya, terlebih kekerasan seksual pada perempuan di kampus. Sejatinya kasus kekerasan seksual bukan lagi hal baru di tanah air dan makin hari justru makin banyak korbannya. 

Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi persoalan besar. Bahkan akhir-akhir ini banyak kejadia kasus kekerasan seksual terutama terhadap perempuan di berbagai media sosial dan media massa.

Dilansir dari situs Komnas Perempuan, Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2021 menunjukkan kasus kekerasan seksual (terlebih kekerasan berbasis gender) mengalami peningkatan 50% dibandingkan tahun 2020. Tidak hanya itu, pada tahun 2021 Komnas Perempuan menerima 338.496 laporan mengenai kasus kekerasan seksual berbasis gender. Data tersebut memperlihatkan bahwa kekerasan seksual masih menjadi kasus yang banyak terjadi di Indonesia.

Mirisnya, dari data kekerasan seksual yang tercatat di Komnas Perempuan kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Bahkan rata-rata korban kekerasan seksual di perguruan tinggi banyak dialami oleh perempuan.

Hal ini dibuktikan oleh beberapa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang pernah menjadi sorotan publik beberapa waktu terakhir. Seperti kasus kekerasan seksual di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2022 serta kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Sriwijaya dan Universitas Riau pada 2021.

Satgas Untuk Tangani dan Cegah Kekerasan Seksual

Akibat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi membuat Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Peraturan ini mewajibkan semua perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di kampus. Satgas beranggotakan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang harus berperan aktif dan bertanggung jawab dalam menangani serta mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Satgas penting dibentuk di kampus karena dengan adanya satgas para korban kekerasan seksual tidak akan merasa sendiri dan mereka bisa langsung melaporkan kejadian yang mereka alami tanpa perlu merasa takut dan was-was. Selain itu, satgas juga sangat penting karena mereka dapat mencegah kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus sehingga semua perguruan tinggi dapat kembali mewujudkan lingkungan perguruan tinggi yang bersih dan aman dari tindakan kekerasan seksual.

Seli Muna Ardiani di Konde.co pernah menuliskan ini pada September 2022. Melalui tabulasi sederhana, Seli mendapati hanya 52 kampus di Indonesia yang merespons kebijakan pembentukan Satgas PPKS. Tepatnya, 52 dari 3.115 Perguruan Tinggi di bawah Kemenristekdikti, baik negeri maupun swasta (BPS, 2022). Data ini saya rangkum dari pencarian digital sejak Agustus 2021 hingga 28 Agustus 2022.

Dari data tersebut, maka terdapat 3.063 kampus yang sama sekali belum terdengar suaranya. Setidaknya berdasarkan publikasi di internet. Sementara 52 kampus yang merespons pembentukan Satgas PPKS juga berada pada tahap yang berbeda-beda. Melalui pencarian dengan tagar #satgasppks di Instagram, saya mendapatkan 17 tagar kampus dengan total data 14 kampus. 

Penggalian lainnya juga Seli lakukan dengan kata kunci satgasppks untuk akun Instagram; hasilnya terdapat 18 akun dengan total data tambahan sebanyak 11 kampus. Proses terakhir adalah pendataan melalui berita di situs web; dengan kata kunci satgas ppks mendapat tambahan data 27 kampus. 

Dari 52 kampus yang membentuk satgas PPKS, kemudian Seli bagi lagi berdasarkan empat kategori: (1) sudah memiliki satgas sebanyak 19 kampus, (2) proses rekrutmen dan seleksi satgas sebanyak 21 kampus, (3) proses rekrutmen dan seleksi pansel (Panitia Seleksi) terdapat 7 kampus, (4) serta 4 kampus yang memiliki akun Instagram satgas tetapi kosong/tanpa keterangan. 

Meski tidak bisa dijabarkan satu per satu nama kampus berdasarkan kategori di dalam tulisan ini, beberapa catatan mengenai kinerja Satgas PPKS di kampus tertentu patut diperhatikan.

Di samping itu, sejatinya tidak hanya Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual saja yang bertugas mengusut persoalan kekerasan seksual. Akan tetapi sebagai manusia ciptaan Tuhan yang mempunyai hati dan nurani sudah semestinya kita turut andil dalam mencegah kekerasan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan sekitar.

Kita tidak boleh hanya tutup mata, ikut menyudutkan, dan menyalahkan korban kekerasan seksual. Sejatinya korban adalah korban, bukan orang yang harus disalahkan dan dikucilkan. Namun justru pelaku kekerasan seksuallah yang perlu disalahkan, diadili dan dihukum.

Audi Vidya Dwi Putri

Mahasiswi Universitas Negeri Malang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!