Miskonsepsi Feminisme di Stand-Up Comedy: Leluconmu Itu Bisa Jadi Kekerasan

Banyak miskonsepsi yang salah tentang feminisme, kali ini dilakukan dalam stand up comedy yang dilakukan Popon Kerok. Publik memprotesnya dengan membuat petisi publik pada Popon untuk stop lelucon yang seksis dan misoginis.

“Feminis cewek yang males dan ribet”

Kalimat itu mencuat dalam penampilan seorang komika Popon Kerok. Dia bercerita kalau dirinya pernah sampai ada pembatalan proyek kerjaan gara-gara konten stand-up yang dibawakannya gara-gara ia bicara soal perempuan

“Yang ngasih kerjaan cewek semua, nge-cut kerjaan,” imbuhnya lagi.

Para perempuan yang berencana memberikan pekerjaan kepada Popon itu, yang disebutnya pula sebagai kalangan “open minded” itu, Ia duga tak setuju dengan pandangan atau sikap Popon dalam menyampaikan materi termasuk berkenaan dengan isu LGBT. 

Awal November 2022 kemarin, nama Popon memang sempat trending di sosial media twitter. Muasalnya, Ia menyinggung kalangan LGBT melalui konten materi punya anak dengan metode surrogate mother (pengganti ibu). 

“Gue paling gedeg tuh, surrogate mother diciptain buat pasangan normal yang nggak bisa punya anak, mungkin karena mandul. Pasangan gay nggak punya anak bukan karena mandul, nggak ada tuh. Sperma harus ketemu sel telur buat jadi anak. Ini sperma lu ketemu ta* (kotoran),” ujar Popon dalam Stand Up Comedy Special Popon Minded di akun youtube Comika Media.

Masih di serangkaian penampilan yang sama, Popon lantas menyampaikan istilah ‘open minded’ tersebut. Dia menilai, kalangan ‘open minded’ ini sebagai kalangan yang sering berseberangan dengan pola pikirnya, termasuk kaitannya dengan mendukung LGBT. Sebaliknya, Popon menyebut dirinya “close minded” yang memegang pandangan umum sebagai orang yang kontra terhadap LGBT. 

Dalam konteks ini, Popon berasumsi, selama ini orang-orang “open-minded” ini meskipun jumlahnya minoritas, tapi memiliki kuasa yang besar. Mereka banyak menempati posisi-posisi strategis yang bisa menentukan kebijakan atau “nasib” orang. Seperti, memutus kontrak seperti yang Popon alami. 

“Gue merasa orang-orang open minded bisa nge-judge orang close minded dianggap bego, tolol, wawasan sempit, padahal gue cuma pegang prinsip lama yang diajarin guru-guru gue, orang tua gue. Gue merasa dia terlalu memaksakan pemikirannya, mereka yang open minded bisa jadi decision maker, orang yang close minded nggak punya power, orang-orang close minded nyerang Podcast Deddy Corbuzier turun subscriber berapa ribu. Jadi apa, nggak jadi apa-apa,” katanya. 

Petisi Publik pada Popon Untuk Stop Lelucon Seksis-Misoginis

Materi stand-up Popon pun mencuatkan reaksi ketidaksetujuan publik. Bukan saja ramai di sosial media, namun juga publik yang melayangkan petisi berjudul ‘Stop, Mendegrading Perempuan. Stop Menggunakan Tema Perempuan Untuk Objek Jualanmu!!!”

Koordinator Koalisi Bela Perempuan sebagai inisiator petisi itu, Zoe Vita Rustianti, menyampaikan bahwa pemikiran Popon atau ‘Popon Minded’ yang keliru soal persepsi feminisme itu semestinya tidak mendapatkan ruang. Sebab hal itu, seolah mengecilkan peran dan perjuangan feminisme selama ini untuk melawan ketidakadilan. 

“Petisi ini Bukan mendadak muncul, Popon kerap diingatkan oleh warganet soal banyak pernyataannya yang secara blak-blakan membenci feminisme,” katanya kepada Konde.co minggu lalu. 

Zoe mengungkap, tujuan dari petisi tersebut agar Popon lebih menghargai para perempuan dan tidak menggunakan isu perempuan dalam setiap candaan. Terlebih secara seksis dan misoginis. 

Seksisme ini merujuk pada adanya pandangan yang memposisikan laki-laki superior dan perempuan sebagai “nomor dua”.  Sedangkan, misoginis bisa berbentuk perlakuan tak bersahabat hingga bernada kebencian yang menyasar perempuan di tengah dunia laki-laki yang maskulin. 

”Karena kami melihat bagaimana kehidupan di Indonesia ini khususnya perempuan harus berjuang keras untuk mendapat keadilan dan kesetaraan itu sangatlah tidak mudah, kami semua para perempuan tidak malas, tidak ribet, bukan mau enaknya saja, sudah banyak juga yang telah dilakukan oleh para perempuan dan juga pencapaian oleh para perempuan,” katanya.

Menurut Zoe, para perempuan juga harus melewati banyak rintangan dan tantangan untuk bisa sampai seperti saat ini. Banyak para perempuan yang kuat, tangguh, mandiri dan berprestasi.

“So… stop menggunakan isu perempuan dan merendahkan perempuan!” kata Zoe.

Hingga kini, petisi itu telah ditandatangani oleh ratusan orang.  

Menyoal kasus yang sedang ramai ini, Komika Asep Suaji mendorong agar Popon bisa meminta maaf kepada perempuan sebagai bagian dari konsekuensinya dari materi open mic yang menyinggung perempuan.

“Saya pribadi tidak setuju dengan statement Popon dan ada beberapa komika lain juga, termasuk yang senior yang meng-confrontnya, walaupun ada juga yang mendukungnya,” ujar Asep Suaji ketika dihubungi Konde.co.

Asep bilang, untuk di stand up comedy sendiri ada yang berprinsip bahwa boleh menyampaikan apa saja atas nama freedom of speech and expression tersebut, yang penting harus mau bertanggung jawab atas apa yang disampaikannya dan siap menerima konsekuensinya.

Dalam situasi ini, Ia melanjutkan, memang dirasa perlu diusahakan untuk diadakan mediasi.

”Dialog atau diskusi langsung terlebih dahulu untuk membahas statement dan keberatan masing-masing pihak,” imbuhnya. 

Salah Kaprah Popon: Miskonsepsi Feminisme

Sosiolog Geger Riyanto memandang Popon Kerok jelas salah kaprah dalam memahami feminisme atau miskonsepsi feminisme.

”Ini dikarenakan laki-laki terlalu terbiasa didengarkan sepanjang sejarah. Ketika mereka dihadapkan dengan wanita yang berbicara, mereka langsung merasa terancam,” Ungkapnya kepada Konde.co, Minggu (7/11).

Geger juga menegaskan, laki-laki seharusnya sadar akan privilese-nya, bukan justru menyudutkan perempuan. 

“Laki-laki perlu sadar dengan privilesenya dan bagaimana hal ini sudah memupuk kenestapaan dan kemarahan perempuan untuk waktu yang sangat, sangat lama. Polarisasi Popon Kerok berujung menyudutkan feminis, misoginis  dalam stand up comedy,” katanya.

Polarisasi antara close minded Vs open minded yang dibuat Popon Kerok sebagai branding dirinya melambangkan miskonsepsi yang harus diluruskan.

”Miskonsepsi dari pemikiran Popon Kerok, utamanya karena dia tidak bisa lihat apa yang ada di belakang feminisme: ketimpangan posisi laki-laki dan perempuan,” katanya. 

The Conversation pernah pula membahas soal miskonsepsi feminisme yang dilakukan Komika Patra Gumala saat dia mengkritik soal parkir khusus perempuan di pusat perbelanjaan. Ia juga berasumsi bahwa adanya fasilitas khusus tersebut menunjukkan sikap standar ganda kelompok pendukung feminisme yang tak hanya menginginkan perempuan untuk mandiri, namun juga minta diistimewakan.

Pandangan umum – yang salah – soal feminisme adalah saat esensi kesetaraan gender hanya dilihat ketika perempuan bisa melakukan hal-hal yang sama seperti laki-laki. Selain tidak tepat, pandangan semacam ini juga cenderung menyesatkan, sehingga perlu diluruskan.

Lalu, bagaimana miskonsepsi feminisme soal parkir khusus perempuan? 

Sebagai sebuah gerakan, feminisme pertama kali lahir pada abad ke-19 untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang dalam sejarahnya dirampas oleh budaya dan struktur patriarki, sebuah anggapan yang menempatkan laki-laki pada posisi superior – lebih memiliki kuasa dan kontrol bahkan atas tubuh perempuan.

Sebelum ada gerakan feminisme, laki-laki telah memperoleh banyak sekali privilese seperti hak politik, akses menempuh pendidikan, dan mendapat pekerjaan. Sementara perempuan justru terkungkung di ranah domestik. Gerakan feminisme muncul sebagai upaya untuk membuat perempuan dapat menikmati hak yang setara dan adil dengan laki-laki, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, di ruang publik, bahkan di ranah domestik.

Untuk mencapai keadilan tersebut, perlakuan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki masih sangat mungkin diberlakukan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

Fasilitas parkir khusus perempuan, contohnya, diperlukan agar perempuan dapat terhindar dari ancaman kekerasan seksual, mengingat layanan parkir biasanya minim penerangan, sunyi, dan relatif jauh dari pintu masuk utama gedung. Begitu pula dengan gerbong kereta dan bus khusus penumpang perempuan yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan perempuan dalam mengakses sarana transportasi yang layak dan aman.

Itu semua merupakan bentuk ‘tindakan afirmatif’ yang dirancang untuk mencapai kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki dalam mengakses ruang publik yang aman. 

Ada kalanya perempuan memerlukan ‘tindakan afirmatif’ untuk membuka peluang yang setara ke berbagai macam akses ke ruang publik, bukan untuk menunjukkan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki karena tidak bisa menggunakan cara yang sama untuk ‘bersaing’ dengan laki-laki.

Musuh Feminisme Bukan Laki-laki, Tapi Patriarki

Feminisme terkesan hanya fokus memperjuangkan hak perempuan yang melibatkan relasi gender antara laki-laki dan perempuan saja. Hal ini cukup dapat dimengerti, mengingat pondasi gerakan feminisme di awal kemunculannya memang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang dalam sejarahnya direpresi oleh budaya patriarki.

Namun, seiring kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, feminisme tidak lagi hanya berbicara mengenai perempuan dan laki-laki, melainkan juga tentang identitas gender yang lain. 

Judith Butler, seorang teoritisi gender, mengemukakan kritiknya atas studi gender yang lebih banyak berbicara soal laki-laki dan perempuan, serta terkesan mengabaikan diskusi tentang kelompok gender non-biner.

Yang kemudian perlu ditekankan adalah, pemikiran feminisme tidak bertujuan untuk memusuhi laki-laki, melainkan melawan budaya patriarki yang selama ini dianggap meminggirkan perempuan dan lebih menguntungkan laki-laki.

Perlu diingat bahwa konstruksi patriarki sebenarnya tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga laki-laki itu sendiri. Hal ini terjadi karena patriarki melanggengkan maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang membuat laki-laki harus selalu tampil maskulin dan superior. Kondisi ini berdampak pada sulitnya laki-laki mengafirmasi pengalaman dan mencari tempat perlindungan ketika mereka mengalami pelecehan seksual.

Dalam konteks rumah tangga, kuatnya konstruksi patriarki membuat laki-laki memikul beban paling berat untuk mencari sumber penghidupan. Padahal, tanggung jawab finansial dalam rumah tangga sebenarnya sangat mungkin dipikul bersama dengan perempuan.

Dengan demikian, feminisme sejatinya bukan hanya milik perempuan, melainkan milik seluruh identitas gender dengan misi utama untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan di segala aspek.

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.

Let's share!