Suara Perempuan di Parlemen Hanya 20%, Indonesia Harus Belajar Pada Swedia dan Selandia Baru 

Suara perempuan parlemen di Indonesia hanya sekitar 20%, sedangkan Selandia Baru naik secara signifikan dari 20% menjadi 49%. Indonesia masih butuh affirmative action untuk menaikkan suara perempuan.

Pernah dengar tentang keberhasilan Selandia Baru dalam meningkatkan representasi perempuan di bidang politik? 

Representasi perempuan dalam bidang politik di Selandia Baru telah meningkat secara signifikan dari angka 20% menjadi 49,2% sejak tahun 1993 hingga tahun 2021. Hal ini salah satunya disebabkan oleh terbukanya kesempatan bagi perempuan di Selandia Baru untuk terjun ke dalam politik melalui ruang-ruang khusus yang terinstitusionalisasi, misalnya lewat organisasi sayap partai. 

Hal ini mencerminkan bahwa Selandia Baru berhasil mendorong bukan hanya keterwakilan prosedural, namun juga keterwakilan substantif yang dapat mengakomodasi kepentingan perempuan melalui kebijakan-kebijakan afirmatif. 

Lantas, apa yang dimaksud dengan kebijakan afirmatif? Bagaimana implementasinya? Apa sajakah keuntungannya, terutama bagi perempuan?

Kebijakan afirmatif dideskripsikan sebagai langkah atau upaya untuk mengeliminasi diskriminasi akibat disparitas atau rendahnya keterwakilan dalam posisi yang signifikan bagi kelompok-kelompok tertentu. Hal ini mencakup langkah-langkah positif yang ditujukan untuk meningkatkan representasi kelompok perempuan dan minoritas di beberapa area krusial seperti ketenagakerjaan, pendidikan, dan budaya. Kelompok perempuan dan minoritas perlu didorong keterwakilannya di ranah tersebut karena secara historis mereka pernah dieksklusikan dan dibatasi partisipasinya dengan cara yang tidak adil.

Salah satu perwujudan kebijakan afirmatif untuk mendorong keterlibatan perempuan di ruang publik yakni adanya upaya peningkatan representasi perempuan secara prosedural dan substantif dalam ruang-ruang politik. 

Seringkali, kebijakan afirmatif juga diimplementasikan melalui intervensi negara melalui peraturan yang mendorong kesetaraan akses dan kesempatan. Misalnya, melalui peningkatan kuota perempuan di tingkat legislatif maupun melalui pengadaan program-program yang dapat mendorong partisipasi perempuan di bidang politik seperti pemberian sosialisasi dan pendidikan politik ke perwakilan-perwakilan kelompok perempuan. Kebijakan afirmatif sangat membantu kelompok yang sebelumnya pernah mengalami penindasan, eksklusi, atau diskriminasi sehingga dapat kembali berkompetisi dan memiliki kesempatan yang sama dengan kelompok lain.

Kebijakan afirmatif untuk mendorong representasi perempuan di bidang politik ini dapat dilihat juga di Indonesia. Salah satunya adalah penerapan kebijakan kuota 30% bagi perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif untuk pertama kalinya di Indonesia yang kemudian diatur melalui Undang-Undang  Nomor 12  tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi, peraturan ini masih terlalu normatif dan belum ada sanksi yang dapat dikenakan apabila kebijakan ini tidak dilaksanakan. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik juga sudah menekankan pentingnya keadilan gender dalam kepengurusan partai.

Kebijakan yang mendorong partisipasi politik perempuan terus menerus disempurnakan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang pada akhirnya secara eksplisit mewajibkan partai politik untuk menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai. 

Kebijakan ini juga diperkuat dengan adanya penerapan sistem zipper atau penempatan nomor selang-seling antara kandidat laki-laki dan perempuan dalam pemilihan umum sehingga diharapkan dapat menjadi lebih inklusif bagi kandidat perempuan. 

Sebelum kebijakan ini diterapkan, keterwakilan perempuan di parlemen berada pada angka 8,80% dan laki-laki berada pada 91,20%. Namun kini, persentase perempuan berada pada angka 20,87% dan laki-laki 79,13%. Setelah dua dekade, terdapat kenaikan yang signifikan dalam persentase keterwakilan perempuan di parlemen setelah diterapkannya kebijakan afirmatif tersebut.

Kebijakan Afirmatif Tidak Hanya Pada Politik Praktis

Kebijakan afirmatif untuk perempuan ternyata tidak melulu hanya pada hak berpolitik praktis, tetapi juga terkait  hak maternitas para perempuan Indonesia. Hak maternitas merupakan hak asasi manusia yang melekat pada perempuan karena fungsi reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi, pemenuhan dan perlindungan hak maternitas adalah tanggung jawab semua pihak, terutama negara. 

Pemenuhan hak maternitas juga merupakan salah satu pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender sehingga tidak boleh berdampak pada pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik, pembatasan pemenuhan hak bekerja dan berserikat bagi perempuan pekerja.

Komnas Perempuan menilai bahwa pemenuhan hak maternitas berpaut-erat dengan hak-hak fundamental lainnya, yakni hak atas kesehatan yang mencakup kesehatan reproduksi dan hak atas kerja layak sebagaimana dimandatkan Tujuan 5 dan 8 Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 

Dengan demikian, perempuan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan mendapatkan perlakuan khusus dalam pelaksanaan profesinya terkait fungsi reproduksinya yang secara biologis berbeda dengan laki-laki. Dalam hal ini, kebijakan afirmatif dapat mengambil peran dalam memenuhi hak maternitas perempuan serta meminimalisir diskriminasi gender atas fungsi reproduksi perempuan yang sejatinya inheren di dunia kerja. 

Belakangan ini, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebagai inisiatif DPR. RUU KIA mengatur sejumlah perubahan yang ditujukan kepada para pekerja perempuan yang sejatinya berhak atas cuti pasca melahirkan. Sebelumnya, cuti pasca melahirkan hanya diberikan selama tiga bulan dalam UU Ketenagakerjaan. Dengan disahkannya RUU KIA, cuti tersebut akan diperpanjang menjadi menjadi enam bulan. Perubahan durasi cuti melahirkan dalam RUU KIA bertujuan agar ibu dapat hadir dalam masa golden age pertumbuhan anak dan menekan tingkat stunting

RUU KIA tidak akan hanya berlaku kepada perempuan pekerja yang melahirkan, tetapi juga bagi para suami ibu melahirkan. RUU KIA akan menambahkan jatah cuti suami ibu melahirkan menjadi 40 hari. Disamping itu, perempuan pekerja yang melahirkan berhak atas gaji secara penuh atau 100% untuk tiga bulan pertama dan 75% untuk tiga bulan berikutnya. RUU ini juga memandatkan bahwa setiap ibu yang melaksanakan cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.

Dibalik respon positif masyarakat setelah dipublikasikannya RUU KIA, peraturan ini ternyata juga menuai kontroversi. Pasalnya, cuti dengan jangka waktu enam bulan yang tertuang dalam RUU KIA dapat mendorong sikap diskriminatif dalam perekrutan dan promosi pekerja perempuan di dunia kerja. 

Selain itu, perbedaan jumlah cuti antara pekerja perempuan dan laki-laki juga seolah mengafirmasi konstruksi masyarakat terkait peran gender perempuan di ranah domestik yakni mengasuh dan membesarkan anak. Padahal, ranah domestik merupakan ranah privat masyarakat sehingga negara tidak sepatutnya melakukan intervensi terkait peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. 

Peran perempuan dan laki-laki sebagai orang tua dalam pengasuhan anak seharusnya menjadi suatu kerjasama yang dinamis atas persetujuan kedua belah pihak dan tidak sepatutnya dibebankan kepada salah satu pihak tertentu. 

Berangkat dari alasan tersebut, timbul pertanyaan apakah RUU KIA merupakan manifestasi yang tepat dari sebuah kebijakan afirmatif yang berperspektif gender?. Apabila dibandingkan dengan Swedia, cuti melahirkan juga diberikan pada perempuan dan laki-laki pekerja. Namun, para orang tua berhak atas parental leave atau cuti orang tua selama 480 hari (sekitar 16 bulan) untuk setiap anak yang lahir. Jumlah hari cuti tersebut dapat dibagi rata antara orang tua bayi yang baru dilahirkan. Namun, terdapat sejumlah perbedaan signifikan dalam penerapannya. Masing-masing perempuan dan laki-laki pekerja wajib mengambil cuti melahirkan selama 90 hari yang diberikan khusus untuknya. Jika tidak mengambil cuti wajib tersebut, jumlah hari cuti tidak dapat ditransfer ke pasangannya. Sementara, orang tua tunggal berhak atas cuti 480 hari penuh. Selama mengambil cuti, negara wajib membayar orang tua 80% dari gaji mereka. 

Dengan kebijakan tersebut, laki-laki dan perempuan bisa tetap menjalani profesinya dan secara koordinatif mendampingi anak pasca melahirkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang sejatinya berupaya untuk menghapuskan konstruksi peran gender yang ada di masyarakat termasuk peran domestik. 

Melihat perbedaan antara kebijakan cuti melahirkan di Swedia dan Indonesia sebagaimana diusung dalam RUU KIA, menarik untuk diperhatikan terkait tingkat keterwakilan perempuan dalam parlemen dua negara tersebut. 

Hingga kini, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia baru menyentuh sekitar 20,87%. Sedangkan, Swedia memiliki sekitar 46,13% perempuan di jajaran legislatif parlemennya. Disparitas perspektif gender dalam pembuatan kebijakan afirmatif kedua negara tersebut menegaskan pentingnya peran perempuan dalam pembuatan kebijakan, terutama terkait kebijakan afirmatif yang berdampak langsung terhadap perempuan. 

Sejatinya, perempuanlah yang paling memahami dapat mewakili kepentingan golongannya sendiri. Maka dari itu, pembuatan kebijakan afirmatif hendaklah diiringi dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan representasi substantif perempuan dalam pembuatan kebijakan. 

Pada akhirnya, hal ini menentukan apakah kebijakan afirmatif kemudian menguntungkan atau justru merugikan perempuan itu sendiri. 

Penulis adalah Aliifah Nazeeya, Hana Ariqah Elfira, Christine Ranice Natasha, Salsabella Adista Trisnu, Fathya Naila Farranajla, Jesika Nanda Naibaho yang aktif bergiat di InPower Indonesia.

InPower Indonesia

InPower Indonesia merupakan organisasi non-profit yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam partisipasi politik dan pembuatan kebijakan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!