‘Woman King’ di Zaman Modern Perjuangkan Hak-hak Perempuan

Lembaga PBB UN Women berharap contoh yang dilakukan para pejuang perempuan Abomey dalam film "The Woman King" bisa menginspirasi perjuangan para perempuan di wilayah Afrika lainnya.

Film Hollywood ‘The Woman King’ mendapat banyak pujian atas gambaran para pejuang perempuan yang gagah berani di Kerajaan Dahomey, Benin pada tahun 1800-an.

Kini, di wilayah yang sama di negara Afrika Barat itu, ada seorang ratu modern, yang masih memperjuangkan hak-hak perempuan.

‘The Woman King’ adalah sebuah kisah Afrika yang diangkat ke dalam film, mengenai para perempuan petempur yang dipimpin oleh Jenderal Nanisca. Film itu menuai banyak pujian karena akting, penyutradaraan, dan tema pemberdayaan perempuan yang diusungnya.

Film itu berlatar tahun 1800-an di Kerajaan Dahomey. Kini, wilayah yang sama dikenal dengan nama Abomey. Kisah tentang pejuang perempuan dan Jenderal Nanisca telah menggema selama berabad-abad di sana dan seluruh Benin.

“Kami mengajari para pemuda-pemudi nilai-nilai yang sama, anak perempuan setara dengan anak laki-laki. Mereka punya kemampuan dan kompetensi yang sama dengan laki-laki,” ujar Nan Zognidi, ratu Abomey masa kini.

Peran Zognidi sebagai ratu hanya seremonial. Namun, sebelum dia menjabat peran itu, ia pernah menjadi seorang aktivis hak-hak perempuan.

Kini, ia menjalankan program untuk mengajari anak-anak literasi finansial, serta sejarah dan budaya kerajaan itu. Ia juga mendorong kepemimpinan di kalangan abdi dalem istana. Pkadomi Syvestre salah satunya.

“Ratu mendorong saya untuk melakukan aktivitas politik untuk pemberdayaan perempuan,” katanya.

Patung salah seorang pejuang perempuan Abomey diresmikan awal tahun ini di ibu kota perdagangan Benin, Cotonou.

UN Women, PBB yang mengurus urusan pemberdayaan perempuan, berharap contoh yang dilakukan para pejuang perempuan Abomey bisa menginspirasi wilayah Afrika lainnya.

Di Afrika, perempuan yang terlibat dalam politik biasanya tidak dipandang secara positif oleh masyarakat.

“Perempuan, yang terlibat dalam politik biasanya tidak dilihat secara positif oleh masyarakat… Hanya ada 25% perempuan yang terpilih jadi anggota dewan,” kata Soulef Guessoum dari UN Woman.

Kurang dari target 30% yang ditetapkan PBB pada 1995 dan jauh di bawah separuh yang dianggap banyak pihak sebagai target utama.”

Marion Ogeto adalah pengacara HAM yang bekerja dengan Equality Now, lembaga nirlaba urusan pemberdayaan perempuan. Ia mengatakan pejuang perempuan Abomey menginspirasi.

“Komunitas ini sudah bergerak lebih dulu, dengan mengadvokasikan tentara yang anggotanya hanya perempuan. Itu saja sudah sangat mengagumkan dan lebih dari itu, mereka punya seorang pemimpin perempuan, seorang raja perempuan dan berada di posisi di mana ia bisa duduk di meja yang sama dengan raja serta lainnya dan memberitahu raja ‘bukan ini cara mengatasi situasi, kita harus melakukan X, Y dan Z.’”

Bagi Zognidi, pelajaran paling penting yang bisa dipetik dari para pejuang Abomey adalah…”Semua yang dilakukan laki-laki, bisa dilakukan perempuan hari ini. Kita tidak bisa mengatakan perempuan itu lemah, itu salah.”

Mereka juga sekuat laki-laki, tambahnya. [vm/rd]

(Sumber: Voice of America/ VOA)

(Foto: IMDb)

Henry Wilkins

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!