Aktivis: Pengesahan UU KUHP Merupakan Pukulan Mundur untuk Perempuan dan Demokrasi 

Pengesahan UU KUHP berlangsung sangat cepat, yaitu dalam 1 jam sidang DPR. UU ini disahkan diantara gelombang massa aksi penolakan yang dilakukan para aktivis di Indonesia. Ini merupakan periode kemunduran untuk perempuan dan demokrasi.

Proses pengesahan KUHP relatif begitu cepat. Tak sampai satu jam dari agenda yang ditetapkan pada 6 Desember 2022 kemarin, pukul 10.56 WIB sudah sah jadi UU. 

Rapat paripurna pengesahan KUHP dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di gedung Nusantara II, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (6/12). Hadir pula beberapa pimpinan lainnya seperti Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel dan Lodewijk F Paulus. Sementara, Ketua DPR Puan Maharani tak tampak hadir. 

Pengesahan KUHP tetap diketok oleh Dasco meski sempat diwarnai interupsi dari perwakilan Partai Keadilan Sejahtera/ PKS yang menilai RKUHP bisa berpotensi membungkam kritik dan anti-demokrasi. 

Sebelum pengesahan KUHP pada Selasa (6/12) ini, Komisi III DPR RI dan pemerintah telah mengambil keputusan tingkat I soal draft RKUHP. Mereka menyepakati RKUHP dibawa rapat paripurna untuk disahkan. Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir dan dihadiri Wamenkumham Edward OS Hiariej. 

Aliansi Masyarakat Sipil memprotes pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan pada Selasa (6/12) pagi. Massa aksi ini menyampaikan aspirasinya dengan ‘berkemah’ di depan gedung DPR. 

Pantauan yang dilakukan Konde.co, kalangan aktivis dan masyarakat tersebut mulai mendatangi depan gerbang pintu DPR sejak pukul 14.35 WIB. Mereka mulai mendirikan tenda kemah serta menata berbagai properti seperti balon, matras, kursi kemah, kompor, hingga poster yang dipasang di antara kawat berduri yang telah mengelilingi sekitar pintu masuk DPR. 

“Di tengah bencana dan kehilangan kedua kalinya DPR RI mengesahkan peraturan cacat prosedur!” demikian tulisan dalam salah satu posternya. 

Massa Aksi Melakukan Aksi Protes dengan Berkemah di depan Gedung DPR RI (Foto: Nurul Nur Azizah/Konde.co)

Massa aksi lantas menyampaikan aspirasinya. Salah satunya, Direktur LBH Jakarta, Citra Referendum yang menyesalkan pemerintah dan DPR yang tidak transparan dalam pembahasan RKUHP. Draft RKUHP juga baru bisa diakses pada tanggal 30 November 2022, sementara tak lama kemudian sudah disahkan. 

“Kenapa (pemerintah dan DPR—red) kok egois masih mau ngesahin, padahal pasal-pasal bermasalahnya masih di dalamnya. Terburu-burunya begini, kita baru dapat draft 30 November paling cepat disahkannya di 6 Desember. Tentu butuh waktu mengkaji, bagaimana masyarakat memang bisa berpartisipasi?” ujar Citra di depan gedung DPR RI, Selasa (6/12). 

Menyoal sosialisasi, Citra juga mengatakan bahwa pemerintah selama ini belum benar-benar melakukannya. Sebab, bentuknya hanya berupa roadshow RKUHP yang diklaim dalam rangka sosialisasi. Sementara, pendapat-pendapat masyarakat tak jadi pertimbangan berarti. 

“Yang dilakukan pemerintah roadshow ke beberapa kota itu kan sosialisasi bentuknya, presentasi, diberikan waktu masyarakat untuk berpendapat iya, hanya didengar secara teknis, tidak dipertimbangkan pendapatnya,” imbuh Direktur LBH Jakarta tersebut. 

Perwakilan mahasiswa yang hadir dalam aksi protes itu, Fitriyani menyampaikan bahwa koalisi akan terus melakukan protes, selagi pendapatnya belum didengar dan dipertimbangkan. 

“Kita tidak pernah didengar, apa salahnya kalau kita protes?” katanya.

Pihaknya mengatakan akan bersikap sama: menolak KUHP meskipun sudah disahkan. Selain melakukan aksi-aksi protes dan menyampaikan aspirasi, koalisi juga bakal terus menguatkan masyarakat. Termasuk soal edukasi soal penolakan KUHP yang pasal-pasalnya bermasalah. 

“Ini bentuk kita saling belajar, untuk mengabarkan masyarakat ada KUHP, akses informasi kita kan gak merata,” katanya. 

Unjuk Rasa Penolakan RKUHP (Sumber Gambar: Kabar Sejuk)

Amnesty International Indonesia melihat, pengesahan UU KUHP merupakan ‘pukulan mundur’ terhadap hak asasi manusia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan kondisi ini sangat mengerikan untuk jaminan HAM di Indonesia.

“Apa yang kita saksikan merupakan pukulan mundur bagi kemajuan Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar selama lebih dari dua dekade. Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR setuju mengesahkan hukum pidana yang secara efektif melemahkan jaminan hak asasi manusia sungguh mengerikan.”

Amnesty melihat, KUHP baru yang kontroversial dan melampaui batas ini hanya akan lebih memperburuk ruang sipil yang sudah menyusut di Indonesia. Pemberlakuan kembali ketentuan yang melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pemerintahan yang sedang menjabat serta lembaga negara akan semakin menghambat kebebasan berpendapat sambil mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai. Larangan demonstrasi publik tanpa izin jelas dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai.

“KUHP yang baru secara praktis memberikan wewenang kepada mereka yang berkuasa di masa sekarang dan ke depan untuk menekan pendapat yang tidak mereka sukai melalui penegakan hukum yang selektif. Ini dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kritik damai dan kebebasan berkumpul.”

Melarang hubungan seks di luar nikah merupakan pelanggaran atas hak privasi yang dilindungi oleh hukum internasional. Ketentuan ‘moralitas’ tersebut bahkan berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual atau menyasar warga hanya karena mereka memiliki identitas dan ekspresi gender tertentu seperti komunitas LGBTI. Hubungan seksual konsensual tidak boleh diperlakukan sebagai kriminal.”

“KUHP ini seharusnya tidak pernah disahkan sedari awal dan merupakan kemunduran dramatis dari kemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Alih-alih menghancurkan kemenangan hak asasi yang diperoleh dengan susah payah, pemerintah Indonesia dan DPR seharusnya memperbaiki kondisi kemunduran kebebasan sipil dan memenuhi komitmen hak asasi manusia dan kewajiban konstitusional mereka untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” kata Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia melihat bahwa UU ini disahkan di tengah kritik publik yang meluas atas ketentuan yang berpotensi disalahgunakan dan disalahtafsirkan untuk membatasi hak asasi manusia secara berlebihan, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai, privasi, serta hak reproduksi seksual.

KUHP baru mengembalikan pasal-pasal yang melarang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden – yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 – baik secara langsung maupun melalui sarana audio visual atau digital, masing-masing dapat dihukum hingga 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Di dalamnya termasuk pasal-pasal yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap lembaga pemerintah dan negara yang sah, dan juga melarang demonstrasi publik tanpa izin yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Ketentuan luas ini dapat disalahgunakan untuk menekan kritik yang sah dan pertemuan damai.

Undang-undang mempertahankan penjara sebagai hukuman untuk pencemaran nama baik dan penodaan agama, sementara tetap mempertahankan ketentuan makar yang selanjutnya dapat membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Hubungan seks di luar nikah diancam hukuman pidana satu tahun penjara dan kohabitasi di luar nikah selama enam bulan penjara. Ini juga berpotensi mengkriminalisasi promosi kontrasepsi sambil mempertahankan aborsi sebagai tindakan kriminal.

Selain itu, ketentuan baru tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam KUHP yang menghilangkan prinsip retroaktif bertentangan dengan hukum internasional hak asasi manusia dan berpotensi menutup akses korban pelanggaran HAM berat masa lalu terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang komprehensif.

Unjuk Rasa Penolakan Pengesahan RKUHP (Sumber Gambar: Kabar Sejuk)

Kilat Pengesahan KUHP dan Potensi Masalah di Baliknya 

Di balik pengesahan RKUHP jadi UU, apa saja potensi masalahnya termasuk bagi perempuan?

Berdasarkan analisis Aliansi Masyarakat Sipil setidaknya terdapat 6 pasal bermasalah yang paling berpotensi mengancam perempuan.

1.Pasal Living Law Tentang Tidak Adanya Batasan Hukum di Masyarakat

Pasal pasal living law pada pasal 2 KUHP ini, dianggap berbahaya sebab tidak adanya batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Seseorang dapat dipidana bila ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya. 

Pasal ini membuka ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan, meskipun perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan. 

2.Pasal Kontrasepsi Yang Bisa Mengkriminalisasi 

Adanya pasal soal kontrasepsi pada pasal 410, pasal 411, dan pasal 412. Pasal ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang yang mengedukasi kesehatan reproduksi.

3.Pasal Kesusilaan yang Berbahaya bagi Kebebasan Berekspresi

Pasal yang mengatur kesusilaan yaitu pada pasal 172 dan pasal 408. Kaitannya dengan ini, para pekerja seni dapat dipidana dengan pasal ini apabila karyanya dianggap melanggar kesusilaan. Pasal ini berbahaya bagi kebebasan berekspresi para pekerja seni. 

4.Pasal Tindak Pidana Agama

Pasal yang mengatur tindak pidana agama, di antaranya  pasal 300, pasal 301, pasal 302. Pasal ini dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi masyarakat yang bukan umat beragama. 

5. Pasal Berita Bohong yang Membungkam Kebebasan Pers

Ada pula pasal soal berita bohong, yaitu pasal 263, pasal 264. Pasal ini merupakan pasal berbahaya karena bisa membungkam kebebasan pers. Padahal, aturan tentang pemberitaan telah diatur melalui mekanisme UU Pers yang kewenangannya ada di bawah Dewan Pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar aksi secara offline dan online di berbagai kota pada Minggu-Senin (4-5 Desember 2022) untuk menolak pasal-pasal bermasalah di RKUHP. 

AJI masih menemukan 17 pasal bermasalah dalam draf RKUHP versi 30 November 2022 yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mengancam kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. 

6.Pasal Pidana untuk Pelaku Disabilitas

Tanggung jawab pidana penyandang disabilitas pada pasal 38, pasal 39, pasal 103 ayat (2), pasal 99 ayat (4) juga dinilai tak memberikan keadilan. 

Pada pasal 39, aturan ini tidak bisa diberlakukan secara merata (status based discrimination). Dalam konteks disabilitas psikososial, perlu dipertimbangkan fluktuasi dari kondisi mental seseorang, pendekatan dari pasal ini tidak bisa all or nothing.

Sementara pada pasal 103, Ia tidak memenuhi kepastian hukum karena berpotensi menghasilkan penahanan tanpa batas waktu dan bergantung pada kesediaan pengampu. 

(Sumber Gambar: Kabar Sejuk)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!