DPR Sahkan RKUHP Menjadi Undang-Undang Ditengah Gelombang Penolakan

Meski mendapat penolakan dari sejumlah pihak, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Selasa (6/12).

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin rapat paripurna terlibat perdebatan dengan Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Iskan Qolba Lubis yang melakukan interupsi saat proses pengambilan keputusan.

Dalam interupsinya, Iskan mengatakan Fraksi PKS masih memiliki dua catatan terhadap RKUHP. Dia menyebutkan, pertama mengenai Pasal 240 tentang siapa saja yang menyatakan menghina pemerintah dan lembaga negara dihukum tiga tahun.

“Ini pasal karet yang akan menjadikan negara Indonesia dari negara demokrasi menjadi negara monarki. Saya meminta supaya pasal ini dicabut. (Pasal) ini juga kemunduran dari cita-cita reformasi,” tutur Iskan.

Catatan kedua, tambah Iskan, adalah Pasal 218 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Dia menegaskan rakyat berhak mengkritik pemerintah atau pemimpinnya karena tidak ada pemimpin yang bebas dari dosa.

Iskan menyatakan akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar kedua pasal tersebut dicabut dari Undang-undang KUHP.

H. Santoso dari Fraksi Partai Demokrat mengharapkan agar dalam pelaksanaannya nanti, Undang-undang KUHP itu tidak merugikan hak-hak masyarakat, terutama soal kebebasan berpendapat. Seperti koleganya dari Fraksi PKS, dia menyoroti pula pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, serta pasal soal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara agar tidak berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat, termasuk wartawan.

Setelah mendengarkan pandangan dari semua fraksi, Sufmi meminta persetujuan kepada semua anggota yang hadir.

“Selanjutnya kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang (paripurna DPR), apakah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dsetujui untuk disahkan menjadi undang-undang? Setuju.”

Saat menyampaikan laporannya dalam rapat paripurna tersebut, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menjelaskan RKUHP merupakan upaya rekodifikasi, terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana yang ada di Indonesia, dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini.

Dia menegaskan vahwa RKUHP membawa misi dekolonialisasi, demokratisasi, harmonisasi dan konsolidasi tentang hukum pidana di Indonesia.

“Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan kolonial Belanda yang telah berlaku selama ini, yaitu 76 tahun lebih, telah berperan sebagai sumber utama hukum pidana di Indonesia. Namun keberadaan pengaturan dalam KUHP saat ini sudah tidak relevan lagi, tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum nasional,” ujar Bambang.

Oleh sebab itu, lanjut Bambang, diperlukan pembaruan untuk mengakomodasi perkembangan hukum pidana sekaligus sebagai upaya penciptaan hukum nasional yang mencakup pembangunan substansi produk hukum. RKUHP juga menandai berbagai perkembangan hukum modern di masyarakat dengan tujuan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan dalam proses pemidanaan terhadap terpidana, proses penindakan bukan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

RKUHP juga bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan konflik hukum di dalam masyarakat, meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, serta memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch menilai Undang-undang KUHP melanggar banyak sekali standar baku hukum hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh parlemen Indonesia.

Dia mencontohkan mengenai bab penodaan agama, padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights/ICCPR) pada 2005. Menurut ICCPR, negara yang sudah meratifikasi konvensi tersebut harus mulai menghilangkan pasal-pasal soal penodaan agama.

Yang terjadi, lanjut Andreas, Indonesia bukan menghilangkan malah menambah pasal tentang penodaan agama dari satu pasal menjadi enam pasal. Dia mengatakan ada satu pasal baru dalam Undang-undang KUHP yang tidak ada satu pun negara di dunia yang mengadopsinya, yakni pasal tentang seseorang yang meninggalkan agama.

“Nah di Indonesia orang yang meninggalkan agama menjadi non-believer itu dihukum dua tahun penjara. Atau orang yang membuat orang lain, menganjurkan orang lain tidak beragama, itu dua tahun. Itu baru, tidak pernah ada dalam sejarah kepulauan ini,” ujar Andreas.

Andreas menyoroti pula soal hukum yang hidup di masyarakat yang sifatnya tidak tertulis, sehingga dapat ditafsirkan sebagai hukum adat atau syariat Islam.

Menurut Andreas, pasal lain yang bertentangan dengan HAM internasional adalah memperkenalkan alat kontrasepsi kepada remaja bisa dihukum penjara. Kemudian pasal yang mengurus hubungan seks antar orang walau ada pengamannya dan kumpul kebo karena ini privasi orang.

Dia menambahkan kalau setiap pasangan kumpul kebo dihukum, maka Indonesia membutuhkan sangat banyak penjara. Dia mengklaim ada jutaan pasangan di Indonesia yang hidup tanpa surat nikah resmi, seperti kawin siri atau nikah adat.

Alhasil, menurutnya, KUHP yang baru akan menurunkan derajat perlindungan HAM di Indonesia dalam waktu yang lama. Andreas menyebutkan KUHP yang baru tidak menjamin kebebasan pers, malah menciptakan suasana yang represif.

Selain persoalan yang sudah diungkapkan Andreas, koalisi masyarakat sipil menilai masih ada pasal-pasal yang bermasalah seperti soal hukuman mati, larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, soal penghormatan pada badan peradilan, pasal soal kohabitasi yang dinilai bisa membuat korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku.

Andreas Harsono mendorong supaya masyarakat sipil di Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar pasal-pasal yang dinilai melanggar demokrasi dan HAM dibatalkan.

Sementara itu, di depan gedung MPR/DPR Senayan, puluhan orang dari berbagai elemen melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut pemerintah merevisi atau membatalkan beberapa pasal yang masih bermasalah. 

Voice of America

Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!