Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Postmodern, Ketidaksetaraan Gender Terjadi Karena Bahasa dan Budaya

Feminisme postmodern memperjuangkan penyebab ketidaksetaraan gender karena budaya dan bahasa. Ia menganalisis bahasa dan karya tulis untuk mengidentifikasi bias-bias yang terjadi

Apa yang terlintas di benakmu ketika melihat kata-kata berikut: man/woman; sun/moon; activity/passivity; Culture/Nature; Day/Night; Father/Mother? 

Iya benar, masing-masing kata adalah pasangan dan keduanya merupakan oposisi. Jika kita perhatikan lebih jauh, oposisi biner ini terkait erat dengan sistem nilai patriarki. Bahwa setiap oposisi dapat dianalisis sebagai sebuah hierarki, dimana kata yang dianggap mewakili aspek “feminin” (woman, moon, passivity, nature, night, mother) selalu dilihat sebagai yang negatif dan lebih rendah. 

Penulis sekaligus filsuf Helene Cixous, menyebut kategorisasi ini sebagai pemikiran biner patriarki. Rangkaian oposisi biner hierarkis ini bisa memiliki daftar yang sangat panjang, tetapi pada akhirnya akan selalu kembali pada “pasangan” fundamental laki-laki/perempuan. 

Upaya untuk membedah bahasa dan memahami bagaimana bahasa punya peran penting dalam menentukan cara berpikir kita merupakan salah satu bagian dari pembahasan feminisme posmodern. 

Feminisme postmodern pada dasarnya merujuk pada ide-ide postmodern serta konsep-konsep dari posstrukturalisme dan feminisme Perancis. 

Feminisme posmodern memahami stereotip gender sebagai konstruksi budaya patriarki yang dibentuk melalui bahasa. Untuk itu aliran pemikiran ini bertujuan melakukan dekonstruksi atas gender untuk membebaskan individu dalam mendefinisikan pemahaman mereka tentang apa artinya menjadi diri mereka sendiri.

Strukturalisme adalah gerakan yang memahami budaya terdiri dari struktur pelengkap yang didefinisikan bertentangan satu sama lain dan sering diatur dalam hierarki. Contohnya adalah laki-laki-perempuan; rasional-emosional. Poststrukturalisme menolak pandangan biner yang ada dan menunjukkan bahwa sejarah dan budaya memiliki dampak besar dalam mendefinisikan setiap subjek.

Sementara feminisme Perancis dipahami sebagai cabang feminisme gelombang ketiga yang dicirikan oleh fokus pada filsafat dan sastra daripada politik. Ia menghasilkan karya sastra yang metaforis, efusif dan berfokus pada teori tubuh.

Feminisme postmodern bertujuan untuk membedah penyebab ketidaksetaraan gender berbasis masyarakat, budaya dan bahasa. Ia menganalisis masyarakat, bahasa, dan karya tulis untuk mengidentifikasi bias seperti contoh di atas.

Teori feminis posmodern menjelaskan bahwa baik seks maupun gender dikonstruksi secara sosial melalui bahasa. Akibatnya, masyarakat yang berbeda memiliki konstruksi yang berbeda dari kedua jenis kelamin dan gender. 

Feminisme posmodern juga menyoroti bagaimana kita menciptakan biner gender yang restriktif dengan bahasa kita. Akibatnya, tren ini memungkinkan peran dan harapan gender yang ketat berkembang dalam masyarakat patriarki.

Feminisme postmodern, seperti halnya postmodernisme, menolak esensialisme dan oposisi biner karena kedua hal tersebut merupakan konstruksi patriarki yang menindas perempuan. Esensialisme dalam hal ini dimaknai dalam filsafat sebagai pandangan bahwa objek memiliki ciri-ciri tertentu dan hanya dapat didefinisikan demikian. Mereka tidak dapat memiliki karakteristik lain.

Tokoh feminisme postmodern antara lain adalah Helene Cixous, Luce Irigaray dan Julia Kristeva. Cixous menyoroti cara perempuan dikeluarkan dari bidang sastra. Dia berpendapat bahwa pengecualian tersebut disebabkan oleh fakta bahwa sastra telah dilihat sebagai aktivitas maskulin.

Cixous juga mengkritik cara perempuan digambarkan dalam sastra. Menurutnya mereka biasanya ditampilkan sebagai objek atau lebih rendah dari laki-laki. Untuk mengatasi hal ini, Cixous  menganjurkan gaya penulisan “feminin” yang lebih inklusif terhadap pengalaman dan perspektif perempuan. 

Gagasannya tentang écriture feminine sangat berpengaruh, karena pendekatan tersebut memungkinkan pemeriksaan ulang hubungan antara perempuan dan sastra.

Sementara Irigaray berfokus pada cara-cara di mana perempuan telah dipinggirkan oleh pemikiran Barat. Ia mengkritik teori Freud tentang kompleks Oedipus, karena teori tersebut bergantung pada pemahaman maskulin tentang seksualitas. 

Irigaray juga berpendapat bahwa teori Freud tentang perempuan didasarkan pada stereotip dan berfungsi untuk lebih meminggirkan perempuan. Selain itu, Irigaray mengkritik interpretasi ulang Lacan tentang Freud, dengan alasan bahwa hal itu melanggengkan masalah yang sama dengan teori-teori Freud. 

Irigaray juga telah menulis tentang cara-cara di mana perempuan dikeluarkan dari bidang filsafat. Dia berpendapat bahwa pengecualian ini disebabkan oleh fakta bahwa filsafat Barat didasarkan pada pemahaman nalar yang maskulin. 

Kristeva berargumen bahwa perempuan telah dikeluarkan dari sejarah karena mereka biasanya diasosiasikan dengan ranah pribadi kehidupan rumah tangga. Ia juga mengkritik cara perempuan digambarkan dalam sastra, dengan alasan mereka biasanya ditampilkan sebagai objek atau lebih rendah dari laki-laki.  

Dia juga berpendapat bahwa anak-anak menjalani berbagai tahapan dalam belajar bahasa, di mana mereka belajar untuk memastikan makna budaya bersama dari bahasa.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!