Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Psikoanalisis, Memahami Psikis Untuk Melawan Penindasan Perempuan 

Feminisme psikoanalisis membahas soal psikis manusia. Feminisme psikoanalisis menggarisbawahi bahwa laki-laki memiliki kebutuhan psikologis untuk menaklukkan perempuan

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022

Jika kemarin kita sudah membahas tentang feminisme liberal, radikal, Marxis dan sosialis, kali ini kita akan membicarakan feminisme psikoanalisis. 

Berbeda dengan aliran pemikiran feminisme sebelumnya yang memberikan penjelasan dan penyelesaian atas opresi terhadap perempuan yang berakar pada struktur politik, sistem patriarki dan struktur ekonomi, feminisme psikoanalisis mencari penjelasan dengan masuk pada psike manusia. Yuk kita berkenalan dengan aliran feminisme ini.  

Feminisme psikoanalisis menggunakan gagasan Sigmund Freud terutama teorinya tentang psike atau psikis manusia dan perkembangan psikoseksual juga gagasan Jacques Lacan yang merevisi teori Freud sebagai kerangka dasar.  Namun feminisme psikoanalisis sekaligus memberikan kritik terhadap teori Sigmund Freud. 

Feminisme psikoanalisis menegaskan bahwa laki-laki memiliki kebutuhan psikologis yang melekat untuk menaklukkan perempuan. Seperti diungkapkan Kristina Wolff (2007), akar dari keharusan laki-laki untuk mendominasi perempuan dan resistensi minimal dari perempuan atas penaklukan terletak jauh di dalam psike atau cara pikir manusia. Karena itu feminisme psikoanalisis berupaya mencari tahu perkembangan kehidupan psikis manusia sehingga dapat lebih memahami dan mengubah penindasan perempuan. 

Aliran feminisme ini percaya bahwa ketidaksetaraan gender berasal dari pengalaman masa kanak-kanak, yang mengakibatkan cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin. Lebih lanjut kondisi ini dipertahankan dengan gender yang mengarah pada sistem sosial yang didominasi oleh laki-laki, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan psikoseksual individu.  

Untuk itu feminisme psikoanalisis berkonsentrasi pada perkembangan anak usia dini, terutama sebelum usia 3 tahun. Ia juga memeriksa bagaimana gender dikonstruksi dan dipraktikkan di tingkat masyarakat, keluarga, dan individu. 

Singkatnya, feminisme psikoanalisis ingin mengubah pengalaman anak usia dini dan hubungan keluarga, serta pola linguistik yang menghasilkan dan memperkuat maskulinitas dan feminitas. 

Pengasuhan Ganda 

Sigmund Freud berteori bahwa anak-anak mengembangkan pemahaman mereka tentang jenis kelamin karena kecenderungan alami mereka untuk mengidentifikasi dengan orang tua yang sama dengan jenis kelaminnya. Beberapa feminis psikoanalisis mendukung teori ini dan meneliti pembentukan gender pada tahap Oedipal untuk anak laki-laki dan tahap pra-Oedipal untuk anak perempuan. 

Nancy Chodorow menggunakan teori relasi objek Freud untuk meneliti hubungan ibu dan anak-anak mereka. Eksplorasi peran perempuan sebagai ibu dan anak merupakan topik utama dalam feminisme psikoanalisis. Chodorow dan beberapa feminis psikoanalisis lain seperti Dorothy Dinnerstein memandang pengasuhan sebagai sarana untuk memahami reproduksi dan produksi status quo yang berkelanjutan, dan oleh karena itu merupakan tempat dimana perubahan sosial dapat terjadi.  

Dalam The Reproduction of Mothering, Chodorow misalnya berpendapat bahwa pengalaman yang berbeda pada masa bayi mengarahkan anak perempuan dan anak laki-laki ke arah jalur perkembangan yang berbeda. Anak laki-laki secara definitif berpisah dari ibu mereka untuk mengidentifikasi dengan kekuatan sosial ayah. Sementara anak perempuan lebih mengembangkan simbiosis/perasaan diri yang berkelanjutan dalam hubungannya dengan ibu.

Dinamika relasional yang menekankan otonomi dan pemisahan untuk anak laki-laki ini membuat laki-laki terhambat secara emosional dan kurang mampu menjalin hubungan pribadi yang intim, tetapi lebih siap untuk kehidupan publik dan dunia kerja. Anak perempuan, sebaliknya berkembang sebagai subjek dalam hubungan yang lebih dekat dengan ibu mereka, memiliki batasan psikis yang lebih cair yang memfasilitasi kapasitas yang lebih besar untuk keintiman tetapi membuat mereka kurang siap untuk bernegosiasi di ruang publik.  

Chodorow dan sejumlah feminis psikoanalisis lainnya menganjurkan pengasuhan ganda sebagai salah satu cara untuk menghilangkan ketidakseimbangan karakter yang dihasilkan oleh ekstremitas gender. Dengan begitu anak-anak akan dapat melihat kedua orang tua sebagai individu dalam sebuah relasi, mengalami laki-laki dan perempuan sebagai berorientasi pada diri sendiri dan orang lain, dan memandang kedua jenis kelamin sebagai penghuni ranah pribadi dan publik. 

Untuk mewujudkan gagasan teoretis Chodorow tentang restrukturisasi keluarga atau pengaturan ulang keluarga, tentu mensyaratkan adanya sejumlah perubahan substansial terkait kebijakan dan praktik yang berlaku saat ini. Seperti antara lain: pemberlakuan cuti orang tua yang layak dan bukan hanya cuti bagi perempuan/ibu setelah melahirkan, kompensasi yang memadai untuk pekerjaan paruh waktu atau part-time, tersedianya tempat penitipan anak (childcare/daycare) dengan pekerja yang berkualitas baik itu pengasuh laki-laki maupun perempuan, dan pendidikan dasar dengan guru-guru baik laki-laki maupun perempuan.

Hal yang sama juga berlaku pada peran gender. Peran gender didasarkan pada praktik rumah tangga orang tua serta bagaimana anak-anak disosialisasikan pada tingkat sadar dan bawah sadar. Anak-anak menyaksikan ketidakseimbangan kekuasaan antara ibu dan ayah karena peran mereka di dalam dan di luar rumah tangga. Hal ini memperkuat keinginan anak laki-laki untuk mendominasi anak perempuan dan kemauan anak perempuan untuk bekerja sama dan mengkompromikan agensi mereka.

Kunci untuk mengubah konstruksi gender dan, oleh karena itu, praktik dominasi laki-laki terhadap perempuan dapat dicapai melalui perubahan praktik pengasuhan dalam setiap keluarga. Laki-laki perlu mengambil peran pribadi yang lebih aktif dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak. 

Pergeseran ini akan secara signifikan mengubah struktur maskulinitas dan feminitas yang memberikan landasan bagi pembagian kerja secara seksual. 

Hal ini kemudian mengarah pada perubahan konstruksi gender, berkurangnya dominasi laki-laki atas perempuan dan subordinasi perempuan serta meningkatnya kemandirian perempuan dan keterhubungan laki-laki dengan orang lain.

(Foto/ Image: Freepik)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!