Film ‘She Said’: Memberi Ruang Bagi Penyintas Untuk Bersuara Hingga Mendorong Gerakan #MeToo

Film She Said mengajak penonton mendengarkan penyintas bersuara dengan mengikuti para jurnalis melakukan investigasi kasus kekerasan seksual yang menjatuhkan Harvey Weinstein dan mendorong gerakan #MeToo.

Bagaimana proses sebuah kasus kekerasan seksual ditulis menjadi laporan jurnalistik? Jawaban dari pertanyaan singkat ini bisa jadi cukup panjang apalagi ketika kasus kekerasan seksual tersebut melibatkan sosok yang punya pengaruh dan kekuatan besar dan kasus itu menjerat banyak korban.

She Said, sebuah dokudrama bergenre jurnalisme investigasi, memberikan gambaran yang cukup komprehensif atas kerja jurnalis melakukan investigasi kasus kekerasan seksual. Film garapan Maria Schrader ini menyajikan cerita tentang dua jurnalis New York Times dalam mengungkap puncak gunung es kasus kekerasan seksual yang terjadi selama puluhan tahun di dunia perfilman Amerika Serikat.

Naskah film yang ditulis Rebecca Lenkiewicz ini berangkat dari kisah nyata Jodi Kantor (Zoe Kazan) dan Megan Twohey (Carey Mulligan) saat menyusun laporan yang menjatuhkan Harvey Weinstein, produser film Hollywood pemilik rumah produksi Miramax. Artikel kedua jurnalis tersebut memperoleh penghargaan bergengsi Pulitzer pada 2017. Jodi dan Megan kemudian mendokumentasikan kisah mereka dalam buku berjudul She Said: Breaking the Sexual Harassment Story That Helped Ignite a Movement pada 2019. Film ini merupakan adaptasi dari buku tersebut.  

Pertanyaan yang perlu diajukan pada film yang mengangkat kasus kekerasan seksual adalah bagaimana sudut pandang yang digunakan dan bagaimana kekerasan seksual “dikemas”? Maria Schrader dan Rebecca Lenkiewicz tampaknya paham benar bagaimana mengangkat isu sensitif seperti kekerasan seksual. Sebagaimana judulnya, She Said memberikan ruang bagi para penyintas yang selama ini dibungkam dan tidak didengar untuk bersuara.

Maria sangat berhati-hati dan tidak sembrono terkait aspek visual. Pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami para penyintas tidak dijadikan sebagai tontonan. Cerita para penyintas atau rincian kejadian dibagikan, bukan ditampilkan. Fokus Maria bukan pada menciptakan kembali adegan pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan Weinstein. Ia menunjukkan perlunya mendengarkan secara aktif.

Adegan tentang penyintas yang menceritakan pengalamannya kadang dimunculkan dalam kilas balik, tetapi tak ada kekerasan yang ditampilkan. Sebaliknya ia menyuguhkan potongan setting seperti tas yang dijatuhkan di atas meja atau onggokan pakaian di atas lantai. Di lain waktu Maria menampilkan adegan yang terjadi setelahnya seperti perempuan muda yang gemetaran di lorong sebuah hotel. Dengan cara ini sang sutradara menegaskan kita tidak perlu melihat peristiwa yang terjadi untuk percaya pada cerita para penyintas.

Bisa dibilang Maria tidak jatuh pada jebakan untuk mereproduksi kekerasan seksual. Hal yang mungkin bisa memicu penyintas kekerasan seksual.

Sementara itu para penyintas juga ditampilkan dalam setting keseharian mereka. Maria mengajak penonton untuk mengenal penyintas sebagai sosok yang nyata yang memiliki kehidupan. Kita disuguhi dengan adegan tentang keluarganya, anak-anaknya, dan aktivitas di rumah. Termasuk juga adegan yang menggambarkan momen ketika ingatan tentang peristiwa terburuk dalam hidup mereka datang kembali. Kita melihat mereka dalam situasi yang baik juga dalam posisi di titik terendah mereka.

Cerita para penyintas juga dimunculkan melalui percakapan telepon. Film ini juga menampilkan Ashley Judd yang tampil sebagai dirinya sendiri dalam wawancara video-call. Ia bicara tentang perbuatan Weinstein terhadap dirinya dan kerugian yang harus ia tanggung.

Lalu bagaimana sosok pelaku ditampilkan dalam film ini? Wajahnya tidak muncul sepanjang film. Ia muncul lewat suara yang mengancam melalui speaker telepon. Ketika sosoknya hadir di layar, ia ditampilkan dari sisi belakang. Bahkan suaranya perlahan memudar berganti dengan alunan musik yang muram. Sementara kamera dari arah belakang kepalanya berfokus pada wajah Megan yang duduk di seberang meja di hadapannya.

Melihat Jurnalisme Investigasi Bekerja

Mengangkat kasus kekerasan seksual menjadi berita bisa dibilang bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan. Salah satu yang terpenting adalah keamanan dan keselamatan penyintas. Karena itu consent atau persetujuan menjadi hal yang penting.

Jurnalis juga perlu membangun rapport atau hubungan baik dengan penyintas sehingga tumbuh trust atau rasa percaya dari penyintas. Ini biasanya menjadi salah satu pertimbangan penyintas ketika ia memutuskan untuk speak up, menceritakan pengalaman buruk yang pernah dialaminya. Pun ketika penyintas memutuskan untuk melakukan pembicaraan off the record, yang artinya pernyataan penyintas tidak dapat dikutip dalam artikel, jurnalis harus menghargai dan menghormati keputusan tersebut.

Kita bisa menyaksikan dinamika antara jurnalis dan narasumber ini digambarkan dengan baik oleh sang sutradara. Termasuk dinamika yang terjadi di newsroom. Kerja jurnalistik bukan kerja individu melainkan kerja kolektif. Kita bisa melihat relasi antara Jodi dan Megan yang saling melengkapi dan menguatkan. Ketika Megan mengalami baby blues pasca melahirkan putri pertamanya, keputusannya untuk kembali bekerja dan berpartner dengan Jodi membantunya kembali pulih.  

Sejumlah adegan memperlihatkan peran tim editor dalam mendukung Jodi dan Megan. Seperti Dean Baquet (Andre Braugher) yang dengan sigap menghadapi tekanan yang dilakukan Weinstein sehingga tim redaksinya tidak terintimidasi. Begitu juga Rebecca Corbett (Patricia Clarkson) yang mengarahkan dan menyemangati kedua jurnalis tersebut.

Hal lain yang juga menarik adalah film ini memberikan porsi pada kehidupan Jodi dan Megan di luar kantor. Maria menampilkan kedua tokoh ini dalam kehidupan sehari-harinya, interaksi mereka dengan keluarga—suami dan anak. Di luar panggilan telepon dengan penyintas, wawancara narasumber, rapat redaksi, dan deadline, Jodi dan Megan juga memiliki kehidupan pribadi. Menghadapi depresi pascapersalinan atau pertanyaan dari anak yang diluar dugaan adalah hal-hal yang juga mereka alami. Dengan begitu Jodi dan Megan muncul sebagai karakter yang realistis dan cukup membumi.

Film ini menyoroti kekuatan jurnalisme investigasi. She Said menampilkan keberanian para penyintas untuk bersuara dan menghentikan predator seksual yang semula tampak tak tersentuh hukum. Keberanian mereka memperkuat gerakan #MeToo yang bergaung hingga ke seluruh dunia.

(Foto: shesaidmovie.com)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!