Kekerasan Seksual Juga Menimpa Laki-laki Tapi Tak Banyak Dibahas

Sikap masyarakat sering sinis dalam menanggapi kasus kekerasan seksual yang dialami laki-laki. Laki-laki seolah selalu identik sebagai “pelaku” dan ini membuat mereka kerap terabaikan mendapatkan layanan kekerasan seksual.

Berita tentang kasus kekerasan seksual rasanya kerap wara-wiri di lini masa pemberitaan Indonesia. Mulai dari kasus pencabulan yang dilakukan oleh guru ngaji, pencabulan oleh guru di sekolah, darurat kekerasan seksual di lingkungan kampus, dan masih banyak lagi. Perempuan sejatinya selalu menjadi narasi utama sebagai orang yang rentan menjadi korban dalam hal ini. 

Tapi sebenarnya, narasi tentang laki-laki juga punya kemungkinan untuk menjadi korban kekerasan seksual, dan ini  rasanya jarang digaungkan. 

Laporan dari studi kuantitatif barometer kesejahteraan gender yang dirilis oleh Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada tahun 2020 menyatakan bahwa, sebanyak 33,3% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Survei lain yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2019 yang melibatkan 62.224 responden menyatakan bahwa 1 dari 10 anak laki-laki pernah dilecehkan pada ruang publik.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di tahun 2018 pernah mengeluarkan data yang menyebut, korban kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh anak laki-laki ketimbang perempuan, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2017 juga mengungkapkan bahwa persentase kekerasan seksual yang dialami oleh kelompok umur 13-17 tahun menunjukkan bahwa laki-laki tercatat sebanyak 8,3% dan perempuan tercatat 4,1% membuat laki-laki mengalami kekerasan seksual dua kali lipat lebih banyak ketimbang perempuan.

Dari data tersebut memperlihatkan bahwa laki-laki juga punya kerentanan seperti perempuan sebagai korban kekerasan seksual. Kita juga bisa menengok kembali beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki belakangan ini. Kasus pencabulan jaksa pada laki-laki di Jombang sampai kasus pertukaran mahasiswa yang disodomi. Dan mungkin masih segar di ingatan kita semua mengenai kasus pelecehan seksual dan perundungan yang dilakukan terhadap MS, seorang pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sikap Masyarakat Terhadap Laki-laki yang Jadi Korban Kekerasan Seksual

Sikap masyarakat dalam menanggapi kasus kekerasan seksual pada laki-laki sangat berbeda dengan apa yang menimpa perempuan. Laki-laki seolah sudah identik sebagai “pelaku” dan hal itu terpatri membuat empati untuk laki-laki sebagai korban seolah kurang. 

Melihat dari keadaan masyarakat kita yang patriarkis, laki-laki menjadi korban kekerasan seksual seolah-olah menjadi sebuah aib yang perlu ditutup rapat-rapat. Budaya yang patriarkis membangun toxic masculinity yang makin memperburuk keadaan laki-laki sebagai korban pelecehan seksual.

Kita bisa melihat dari bagaimana respon masyarakat di media sosial ketika seorang penyintas laki-laki membagikan ceritanya. Sering kali respon yang diterima adalah respon negatif yang menempatkan korban seolah-olah nihil untuk menjadi korban kekerasan seksual. Respon laki-laki sendiri juga menganggap remeh hal tersebut dan menganggap korban laki-laki sebagai orang yang lemah dan tidak jantan, maskulinitas mereka seperti harus dipertanyakan. 

Kekerasan seksual yang dialami laki-laki juga cenderung diabaikan dan kurang mendapat perhatian. Pengabaian ini terjadi baik dalam hal pengakuan, hingga tidak tersedianya ruang aman untuk para korban. Penelitian-penelitian mengenai hal ini juga sangat jarang diangkat. Sehingga data terkait bentuk kekerasan yang dialami oleh laki-laki sebagai korban kekerasan seksual sangat minim untuk digali.

Dari hasil penelitian oleh Adita Miranti dan Yudi Sudiana dalam “Pelecehan Seksual pada Laki-laki dan Perspektif Masyarakat terhadap Maskulinitas (Analisis Wacana Norman Fairclough)” pada tahun 2021  menyebutkan bahwa pelecehan atau kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap tabu, hal tersebut dikarenakan stigma maskulinitas yang menganggap bahwa laki-laki merupakan makhluk yang kuat serta dapat membela dirinya sendiri. 

Hal ini yang akan menyebabkan korban kekerasan seksual pada laki-laki akan sangat sulit untuk membuka diri. Seperti halnya yang terjadi pada perempuan, laki-laki juga memiliki masalah yang cukup serius mengenai hal membuka diri. 

Solidaritas terhadap kawan penyintas juga rasanya sangat cenderung pada perempuan. Forum-forum yang hadir untuk merangkul laki-laki sebagai korban sangat jarang dan hampir tidak ada. Padahal mereka juga membutuhkan rangkulan yang sama, tidak ada kata laki-laki akan lebih kuat menghadapi kehidupannya ketika ia menjadi korban kekerasan seksual. 

Forum-forum seperti MaleSurvivor dan Manhealing seharusnya bisa juga diadakan di sini. Kedua forum ini selain memberikan wadah untuk laki-laki sebagai tempat bercerita, mereka juga mengadakan acara-acara atau diskusi secara langsung di mana para penyintas dapat berinteraksi secara langsung pula. Mereka juga membuka wadah donasi untuk membantu para penyintas.

Ruang aman seperti ini yang sangat dibutuhkan untuk para korban, tempat di mana ia bisa mendapatkan dukungan dan dengan leluasa bercerita tanpa mendapat sentimen negatif. Kesadaran kita akan semua orang bisa menjadi korban pelecehan seksual dan tidak memandang gender dalam memberikan dukungan dan rangkulan terhadap korban juga perlu terus ditumbuhkan. Dengan begitu para korban akan mendapatkan hak dan perlakuan yang setara.

Budaya patriarki yang mendarah daging agaknya bukan hanya menyakiti pihak perempuan saja. Tetapi laki-laki yang selalu diekspektasikan sebagai seseorang yang selalu kuat juga memberi penyakit tersendiri. 

Dengan menganggap mereka setara, maka laki-laki akan dapat memberikan ruang aman dan perlakuan yang adil untuk menyelesaikan kekerasan seksual.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Nurmita

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mataram
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!