Menelusuri Figur Perempuan dalam Seni: Tidak Terlihat Atau Sengaja Dihilangkan?

Ada banyak perempuan yang berkiprah dalam bidang seni di Indonesia, namun hingga kini banyak yang tidak terlihat perannya. Mereka memang sengaja tidak diperlihatkan atau sengaja dihilangkan, salah satunya ketika nama-nama mereka tidak tertulis dalam sejarah seni di Indonesia.

Menelusuri figur perempuan dalam sejarah seni dan film di Indonesia ternyata punya tantangannya sendiri.

Para pengarsip dan peneliti seni yang melakukan penelusuran ini, harus berhadapan dengan minimnya materi arsip yang menulis soal perempuan. Ini yang mengharuskan mereka menempuh jalan memutar agar bisa menemukan sosok perempuan yang dihadirkan dalam sejarah seni dan film di Indonesia.

Sekolah Pemikiran Perempuan menyelenggarakan diskusi tentang peminggiran perempuan dari sejarah seni pada 22 Desember 2021. Diskusi ini memaparkan bagaimana para perempuan peneliti seni kemudian melakukan pengarsipan, ini dilakukan agar bisa membuka sejarah perempuan di bidang seni yang selama ini tersembunyi. 

Dua narasumber yang dihadirkan dalam diskusi ini yaitu, kelompok Kelas Liarsip yang didirikan 6 Maret 2021 oleh sejumlah perempuan, dan narasumber kedua dari kelompok perempuan Hyphen

Diskusi ini dilakukan untuk menghadirkan nama-nama perempuan dalam seni dan film yang terhapus dalam sejarah 

Pembicara pertama dari kelas Liarsip diwakili oleh Umi Lestari dan Efi Sri Handayani. Mereka bicara soal perempuan yang sejarahnya seperti hilang dalam sejarah film di Indonesia. Mereka membahas soal Ratna Asmara yang merupakan salah satu perempuan yang menggebrak di dunia film di Indonesia. 

Ratna Asmara jarang disebut-sebut dalam sejarah dunia perfilman Indonesia, tidak seperti sutradara laki-laki lainnya di dunia film. Padahal Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna Asmara menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih sangat maskulin dan didominasi laki-laki

Umi Lestari dan Efi Sri Handayani misalnya bercerita bagaimana selama 2 tahun mereka tidak bisa menonton film Ratna Asmara secara utuh. Saat bisa menonton film Ratna, mereka tiba-tiba mencium bau gosong dalam rekamannya yang membuat mereka takut untuk memutarnya lagi.

Padahal ada 3 film terkenal yang dibintangi Ratna Asmara. Setelah itu, maka Liarsip mulai mereparasi film Ratna dan bisa menunjukkan film Ratna Asmara pada publik. Ada penelantaran terhadap film Ratna Asmara yang seharusnya dia berhak untuk dilihat secara meluas.

“Ada kerusakan kimia, muncul kristal di film dan bau asam yang sangat kuat, gulungan film longgar, kristal membuat kotor. Gambar film juga penuh titik-titik yang tidak sempurna, namun ini tidak menghalangi untuk melihat film Ratna Asmara,” kata Efi Sri Handayani dalam diskusi

Bicara soal perfilman nasional, tak hanya sutradara Usmar Ismail yang menjadi tonggak penting. Ada seorang sutradara perempuan yang karyanya berpengaruh dan menjadi tonggak sejarah di Indonesia, Ratna Asmara. Kesaksian sejarah film nasional mencatat, Ratna Asmara menjadi pelopor sutradara perempuan yang menggarap film pertamanya Sedap Malam (1950). Di tahun-tahun berikutnya, dia juga produktif menampilkan karya seperti Musim Bunga Selabintana (1951), Dokter Samsi (1952), Nelajan (1953) dan Dewi dan Pemilihan Umum (1954). 

Ratna menyutradarai film sedap malam yang bercerita tentang penyintas jugun ianfu di Indonesia dan ini film awal tentang jugun ianfu. Ratna juga konsisten mengetengahkan film tentang perempuan, ini bisa dilihat dari karya dan dibintanginya.

Jurnal Ruang pernah mengulas film Sedap Malam yang disutradarai oleh Ratna Asmara. Sedap Malam mengisahkan tentang dunia pekerja seks, yang disinyalir ini merupakan cerita pertama kali tentang pekerja seks yang ada di perfilman Indonesia. Film ini dimainkan oleh para tokoh seperti Pandji Anom, Raden Mochtar, Komalasari, dan Sukarsih. 

Seorang perempuan, Patmah, merasa dirinya telah ‘rusak’ karena dipaksa menjadi geisha–pekerja seks di zaman Jepang– oleh tentara pendudukan Jepang. Patmah mengidap penyakit kelamin menular hingga dia menghembuskan napas terakhirnya. Apa yang dialami Patmah seolah memotret situasi pekerja seks perempuan yang selama ini lekat dengan stigma-stigma yang menghantui, rentan terhadap berbagai risiko penyakit menular dan minim perlindungan. Dia akhirnya ‘dipaksa’ menyerah. 

Film Sedap Malam itu pada masanya meledak dan meraih sukses di pasaran. Meskipun mendapatkan beberapa kritik. Seperti, film tersebut belum memenuhi standar sebagai seni karena dianggap ‘belum memuaskan’ dan belum ‘meninggalkan kesan’.

Liarsip kemudian akan menuliskan tentang Ratna Asmara di akhir tahun ini agar sejarah perempuan tidak terkubur

“Film-filmnya banyak bercerita tentang perjuangan perempuan di masa itu, termasuk cerita perjuangan para perempuan jugun ianfu atau perempuan yang menjadi budak seks di zaman Jepang,” kata Umi Lestari

Namun sayang, Ratna Asmara jarang disebut-sebut, tidak seperti Usmar Ismail atau sutradara laki-laki lainnya. Padahal Indonesia Film Center menyebut, pada masa itu, munculnya Ratna Asmara cukup menjadi gebrakan di dunia perfilman yang masih maskulin. Perempuan juga minim mendapatkan dukungan dari kalangan perfilman sendiri. Ratna termasuk yang “beruntung”, sebab dia mempunyai support system yang kuat dari suaminya, Andjar Asmara, yang juga aktif di dunia seni peran sekaligus wartawan. 

Sebelum menjadi sutradara, Ratna Asmara pernah aktif di dunia sandiwara dan membintangi Kartinah (1940) besutan Andjar. Ratna juga membintangi film yang digarap oleh Andjar yaitu Djauh di Mata dan Anggrek Bulan (1948). Hingga setahun kemudian, Andjar berjasa dalam membukakan karier Usmar Ismail sebagai asisten sutradara film Gadis Desa (1949). 

Dalam diskusi juga diputar film berjudul Dr. Samsi karya Ratna Asmara. Film ini bercerita tentang seorang ibu yang membawa bayinya yang sedang sakit yang ingin bertemu Dr. Samsi. Film ini merupakan film perjuangan seorang ibu.

Pelukis Kustiyah

Lembaga lain yang hadir dalam diskusi ini adalah Hyphen, yang terdiri dari Citha, Ratna dan Grace. Mereka menyajikan pelukis Kustiyah yang sulit didapat informasinya oleh publik. 

Kustiyah merupakan istri dari pelukis Edhi Sunarso, lukisan Kustiyah juga seperti terkubur diantara pelukis yang rata-rata adalah para laki-laki

Alia Swastika dalam bukunya berjudul “Membaca Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru,” yang didukung Ford Foundation dan Wikimedia di tahun 2019 menuliskan hal penting tentang seni dan feminisme, atau bagaimana feminisme menjadi pisau tajam untuk melihat atau membongkar dari perspektif perempuan

Alia Swastika menulis, persoalan sejarah seni dan feminisme biasanya sering dikaitkan dengan kenyataan tentang tidak seimbangnya jumlah seniman laki-laki dan perempuan. Pertanyaan-pertanyaan yang cukup mendasar seperti, Seberapa banyak seniman perempuan yang masuk dalam kanon sejarah seni, yang karyanya masuk ke dalam koleksi museum, jumlah kurator perempuan dalam struktur museum, hingga jumlah karya seniman perempuan yang menghiasi ruang publik? Selama ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut sering menjadi fokus dalam diskusi-diskusi tentang posisi perempuan dalam sejarah dan produksi pengetahuan dalam dunia seni. 

Pembahasan tentang ketidakseimbangan gender dalam sejarah seni, terutama dalam konteks medan seni di Indonesia, sebagian besar berlangsung dalam ruang-ruang non-akademis. Akibatnya, gemanya tidak terlalu terasa dalam struktur pendidikan seni yang sesungguhnya berperan sangat penting dalam memperluas wacana tentang gender dalam seni. 

Alia Swastika menyatakan, menuliskan sejarah perempuan tidak hanya membuat disiplin-disiplin ilmu kembali diformulasikan, tetapi juga membuat batas disiplin terasa makin kuat. Kajian sosial dan feminis dalam praktik-praktik kebudayaan dalam seni visual sering kali “tersingkir” dalam sejarah seni dengan memberinya label pendekatan sosiologis, seolah-olah determinasi ideologis dan kondisi sosial bukanlah hal yang inheren.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!