Sulitnya Pekerja Seks Melawan Stigma Perempuan Tak Bermoral

Pekerja seks adalah salah satu kelompok yang terstigmatisasi dalam masyarakat. Pemberian stigma ini berakar dari pendekatan ‘moralitas’ dan dikotomi norma gender yang hegemonik

Salah satu prinsip penelitian kriminologi adalah untuk memberikan ruang pada kelompok minoritas yang seringkali terlupakan dalam kajian-kajian sosial, kejahatan dan kebijakan. 

Berkembangnya literatur dan riset berbasis gender diiringi dengan aktivisme feminis yang semakin gencar dilakukan untuk membuka jalan bagi kelompok-kelompok minoritas lainnya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, tidak semua kelompok memiliki kesempatan dan tantangan yang sama dalam advokasi hak asasi mereka. Salah satunya adalah pekerja seks.

Selama 27 hari, saya menjadi anak magang di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Nasional Indonesia di bawah supervisi Wawan, selaku Koordinator Nasional OPSI. Selama 27 hari tersebut, saya menggali dan mempelajari perjuangan para pekerja seks untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara yang berhak perlindungan.

Pada hari terakhir, saya berkesempatan untuk melakukan focus group discussion bersama dengan 4 orang pekerja seks di daerah Jakarta. Harapannya adalah untuk mengamplifikasi suara mereka melalui media populer seperti artikel ini.

Stigma diri, hasil internalisasi stigma sosial dan struktural

Pekerja seks adalah salah satu kelompok yang paling terstigmatisasi dalam masyarakat. Pemberian stigma ini berakar dari pendekatan ‘moralitas’ dan dikotomi norma gender yang hegemonik yang menempatkan perempuan sebagai seorang yang submisif, sehingga ‘kesucian’ yang dimilikinya hanya patut dimiliki oleh pasangan laki-laki dalam ikatan rumah tangga yang seringkali justru merugikan perempuan itu sendiri.

Stigma yang diberikan pada pekerja seks terbagi menjadi tiga jenis: stigma sosial, stigma struktural, dan stigma diri. 

Stigma sosial adalah perilaku dan kepercayaan publik dan masyarakat umum pada suatu kelompok. Stigma struktural adalah cara-cara institusi legitimasi dan melanggengkan stigmatisasi tersebut dan stigma diri adalah internalisasi, pengalaman, dan antisipasi anggota kelompok yang terstigmatisasi terhadap stigma sosial dan struktural.

Stigma sosial dan struktural dapat dilihat dari perlakuan masyarakat, pemerintah, dan media terhadap pekerja seks yang merendahkan dan seringkali menolak. Stigma diri bersifat tidak kasat mata, namun secara jelas terdengar pada cerita teman-teman pekerja seks pada malam itu.

“Kepikiran […] kapan ya punya laki (suami) yang bener, nafkah yang bener, baru aku bisa insyaf, gitu.” ujar salah satu narasumber ketika ditanya tentang harapan.

Frasa dan kata-kata seperti “cewe yang bener” dan “taubat” juga terlontarkan beberapa kali dari tiap narasumber.

Mereka juga mengatakan bahwa razia, kekerasan verbal dan fisik oleh pelanggan, serta pelecehan verbal oleh masyarakat merupakan risiko pekerjaan yang pasrah untuk dihadapi.

Para partisipan ini semuanya tidak ada yang tergabung dalam Organisasi OPSI maupun organisasi atau yayasan lainnya. Mereka memiliki akses terbatas untuk pengecekan kesehatan, bantuan sosial, dan pendampingan hukum jika terkena razia. Mereka tidak mengetahui produk-produk hukum yang dapat membahayakan ataupun melindungi mereka.

Tentunya, hal ini berbeda dengan mereka yang tergabung di OPSI, yang mengakui penuh pekerjaannya sebagai pekerja seks, menyadari hak-hak mereka yang pantas untuk dilindungi, serta memiliki akses pada dukungan dan layanan hukum dan kesehatan.

Langkah awal resistensi

Stigma diri menyebabkan individu untuk tunduk pada penindasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadapnya karena ia merasa pantas untuk menerima perlakuan tersebut. Untuk itu, melepaskan stigma diri merupakan langkah awal resistensi yang dapat dilakukan pekerja seks untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya.

“Embel-embel sebagai ‘‘mantan’ pekerja seks tidak bisa dipulihkan. Kalau kami terus teriak kami korban, hak-hak kami akan terus dilanggar. Kami akan terus dikucilkan. Ketika saya mengenal OPSI, saya baru paham kalau kami punya hak suara sebagai seorang pekerja seks.” tutur salah satu anggota OPSI pada sesi perekaman podcast. 

“Kami punya pilihan, ketika hak kami terlanggar, kami bisa berteriak.”

 Pekerja seks yang tergabung dalam OPSI kemudian menolak label korban bagi pekerja seks, bahwa memang pada awalnya mereka korban human trafficking, pemerkosaan, KDRT, dan sebagainya. Namun, label pekerja seks tidak akan dapat dilepaskan. Jika pekerja seks terus diposisikan dan memposisikan diri sebagai korban, maka pekerja seks tidak memiliki agensi diri untuk memperjuangkan hak-haknya sendiri.

Keterlibatan pekerja seks dalam organisasi, yayasan, atau serikat kemudian menjadi penting. Ini akan memaparkan pekerja seks terhadap pengetahuan akan pentingnya kesehatan seksual untuk keberlangsungan hidup mereka, pengetahuan akan hak asasi manusia, serta layanan pendampingan.

OPSI sebagai organisasi penjangkauan dan advokasi sedang berjuang untuk membantu pekerja seks yang kesulitan dengan stigma diri. Penanaman prinsip bahwa mereka merupakan manusia yang harus dilindungi undang-undang merupakan hal krusial dalam pembangunan solidaritas pekerja seks.

Untuk itu, melalui OPSI, pekerja seks berharap agar masyarakat umum dapat mengakui mereka sebagai manusia dan warga negara yang hanya ingin menyambung hidup. Bahwa, terlepas dari latar belakang dan status sosial, pekerja seks adalah pekerja yang memiliki perut untuk diisi dan membutuhkan atap untuk tidur.

(Foto/ gambar: Freepik)

Indira Sukmariana

Mahasiswi tingkat akhir di Kriminologi Universitas Indonesia (UI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!