Menikah di Usia Anak? Emosi Tak Stabil dan Rahim Belum Siap Melahirkan

Banyak anak-anak perempuan di Indonesia harus menikah di usia anak. Emosi mereka jadi tidak stabil. Sebagian besar problem stunting di Indonesia juga disebabkan oleh karena perkawinan anak. Mereka juga mengalami problem kesehatan reproduksi, karena rahim mereka yang belum cukup siap untuk melahirkan.

Hana, bukan nama sebenarnya, menikah usia 17 tahun di tahun 2017. Ia kemudian melahirkan anak pertama di umur 18 tahun dengan cara caesar.

Satu setengah tahun kemudian, lahirlah anak kedua dengan cara yang sama. Hana menikah di usia anak karena ia dan pacarnya sudah merasa cocok, dan langsung disetujui oleh orang tua mereka untuk menikah.

Hana mengaku, waktu itu ia tidak perlu membeli umur atau meminta surat dispensasi dari Departemen Agama untuk menikah, karena menikah di usia tersebut, di tahun 2017 masih dibolehkan oleh Undang-Undang. Walaupun sudah diadvokasi oleh banyak aktivis perempuan karena umur 17 tahun rahim perempuan belum cukup usia untuk melahirkan, namun waktu itu peraturan baru untuk menaikkan umur perkawinan perempuan dan laki-laki belum berhasil dilakukan.

Usia suami Hana saat menikah, sama dengan Hana, yaitu 17 tahun. Hana sempat bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tapi saat ini ia sudah berhenti bekerja. Hidupnya masih bersama orang tua. Ia kemudian di rumah mengasuh anak, membersihkan rumah, dan sejenisnya yang semua masih bergantung pada orang tua. Ia mengaku, emosinya dan suaminya sering tidak stabil karena menikah di usia anak. 

Hana juga mengalami persoalan kesehatan reproduksi karena menikah di umur anak. Jarak antara anak pertama dan kedua hanya satu tahun setengah. Kedua anaknya lahir dengan cara yang sama, yaitu caesar. Selain itu, tidak stabilnya perekonomian yang juga berdampak pada tekanan emosional Hana. Karena masih tinggal satu rumah dengan orang tuanya, pola asuh anak dan pekerjaan domestik Hana dan suami masih sangat bergantung dengan orang tua serta saudaranya yang juga tinggal di kawasan yang sama.

Selain Hana, ada juga Tania (nama samaran). Ia dijodohkan oleh orang tua dengan dalih calon suaminya sudah mapan. Mereka kemudian menikah pada usia 18 tahun. Hamil di usia 18 tahun dan melahirkan di usia 19 tahun dilakukannya. Saat menikah, suaminya berusia 32 tahun. Tania mengaku tidak kewalahan dalam melakukan kerja domestik, namun ia menyatakan sering marah-marah karena ia harus menyesuaikan banyak hal ketika menikah.

Kerja domestiknya saat ini sering dibantu oleh orang tuanya, karena suami jarang di rumah sebab sibuk bekerja. Ketika emosinya naik, respons suami Tania cenderung diam dan memaklumi. Saat ini Tania sedang hamil anak kedua.

Tania mengalami masalah kesehatan reproduksi tentang kehamilan, proses melahirkan, dan kesehatannya.  Ada trauma kelahiran anak pertama yang memicu kecemasan Tania soal kelahiran anak keduanya. Meskipun bisa dikatakan perekonomiannya stabil, bukankah tidak semua hal bisa dibeli dengan uang? Terlepas dari problem tersebut, Tania juga menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan dalih perekonomian suaminya yang sudah stabil. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa tekanan emosionalnya menjadi problem pada kesehatan reproduksinya.

Polemik Kesehatan Reproduksi Perempuan Korban Perkawinan   

Ketika Tania dan Hana menikah, undang-undang belum mengubah usia perkawinan anak. Anak laki-laki dan perempuan masih “boleh” menikah di bawah usia 18 tahun, padahal usia ini rawan untuk emosi dan kesehatan reproduksi perempuan.

Setelah itu, baru Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kemudian disahkan pada tahun 2019. Dalam undang-undang tersebut kemudian mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Begitu juga anak laki-laki batas usia perkawinannya 19 tahun. Hal ini sekaligus mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga bentuk afirmasi yang progresif. Karena perkawinan bukanlah sekadar romantisme, tapi juga perjuangan untuk rahim dan kesehatan reproduksi perempuan   

Dokter dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Teza Farida memaparkan pengalamannya dalam menangani kasus-kasus kesehatan reproduksi yang menimpa anak perempuan yang menikah di usia anak atau di bawah 18 tahun. Ia pernah mendapatkan kasus kesehatan reproduksi untuk anak perempuan berumur 16 tahun dengan usia suami 17 tahun. Perkawinan yang terjadi dikarenakan KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan). Pasca melahirkan, pasangan tersebut mengalami kesulitan ekonomi dan berakhir pada perceraian. Setelah bercerai, korban perkawinan anak tersebut pergi ke Jakarta dan memutuskan harus bekerja menjadi pekerja seks untuk membiayai anaknya yang dititipkan pada orang tua di kampung halaman. 

Teza Farida menyatakan, pernikahan yang dilakukan di bawah usia 19 tahun sebenarnya belum siap dan belum matang untuk melaksanakan pernikahan dan menjalani kehidupan rumah tangga. Juga belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan sistem reproduksinya

“Menurut saya banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan anak, sebagai contoh paling banyak adalah faktor ekonomi, pendidikan, kasus kekerasan, adanya perilaku seks yang berisiko, kehamilan yang tidak diinginkan, dll. Pernikahan yang dilakukan di bawah usia seharusnya yaitu kurang dari 20 tahun, mereka sebenarnya belum siap dan matang untuk melaksanakan pernikahan dan menjalani kehidupan rumah tangga dan belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan sistem reproduksinya. Sehingga, kehamilan pada usia muda atau remaja sangat berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), pendarahan persalinan, yang dapat berdampak pada kematian ibu dan bayi.”

Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mendapati sebagian besar problem stunting di Indonesia disebabkan oleh karena perkawinan anak. Proses studi yang dilakukan oleh KPI pada dokter obgyn juga menyatakan bahwa mayoritas perempuan yang mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti kecenderungan kanker serviks dan kanker ovarium sekian persen yang dialami oleh perempuan yang terlalu muda, terlalu tua, dan terlalu sering mengalami kehamilan.

“Merujuk dari BKKBN, pernikahan bagi perempuan diusulkan usia 21 tahun keatas untuk mempertimbangkan kesiapan organ reproduksi perempuan,” ungkap Mike. 

Laporan Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dalam Pencegahan Perkawinan Anak yang diterbitkan bersama UNICEF serta PUSKAPA tahun 2020 menjelaskan, bahwa anak di bawah usia 17 tahun yang mengalami kehamilan berisiko komplikasi medis bagi ibu dan anak hingga kematian dini lima kali lipat lebih besar. 

“Usia anak atau remaja mengalami suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sehingga jika terjadi kehamilan dapat mengganggu proses tumbuh dan kembang anak. Resiko kesehatan reproduksi korban perkawinan anak yang belum siap organ reproduksinya untuk memproses kehamilan dapat memicu terjadinya tekanan darah tinggi dan berisiko terjadinya pre-eklampsia, anemia, infeksi, partus macet, pendarahan, Infeksi Menular Seksual (IMS), kanker serviks yang dapat mengganggu pertumbuhan bayi dalam kandungan. Risiko setelahnya adalah kelahiran bayi prematur dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). Selain itu, sebab kurangnya kesiapan ekonomi dan psikis mampu menimbulkan terjadinya kekerasan seksual berbasis gender sekaligus memicu kawin cerai dalam masyarakat”, jelas Teza Farida terkait risiko perkawinan anak dalam wawancara online. 

Analisis Hukum Tentang Perlindungan Anak dan Perkawinan Anak

Laporan studi perkawinan anak yang pernah dilakukan KPI bersama PLAN Indonesia menunjukkan, walau sudah ada pengesahan dan pemberlakuan UU Nomor 16 Tahun 2019 sebagai hasil revisi UU Perkawinan, belum menunjukkan angka penurunan perkawinan yang signifikan pada 7 daerah yang dijadikan lokasi observasi, yaitu daerah Sukabumi, Rembang, Lombok Barat, Lembata, Palu, Sigi, dan Donggala.

Modus orang tua yang turut menjadi sumbangsih besar atas tingginya perkawinan anak di 7 daerah tersebut antara lain; memalsukan identitas anak (khususnya usia), menikahkan anak dengan metode perjodohan, pemaksaan dari orang tua karena sudah keputusan orang tua, kehamilan remaja, alasan ekonomi yang dibuat-buat sebagai alasan agar dispensasi dikabulkan, dan dinikahkan secara agama terlebih dahulu, baru pengajuan nikah ke Kantor Urusan Agama/ KUA. Anak yang dijodohkan orang tua masuk dalam kategori pemaksaan karena anak belum mampu menentukan keputusannya sendiri.

Pada pasal 7 ayat 3 UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019, prosedur dan persyaratan permohonan dispensasi kawin diperketat menggunakan kriteria pengajuan yang harus disertai alasan sangat mendesak dengan bukti pendukung yang cukup dan pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. 

Namun, realitasnya permohonan dispensasi perkawinan mayoritas diloloskan oleh majelis hakim pengadilan daerah setempat. Alasan dikabulkannya dispensasi perkawinan yaitu, kehamilan, keinginan kolot orang tua, anak sudah masuk usia pubertas, anak sudah pacaran cukup lama, keyakinan agama, dan himpitan ekonomi. 

Hasil studi Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dan Plan Indonesia juga menyebut, inisiatif perkawinan anak ternyata banyak yang berasal dari orangtua dan juga anak.

Di tingkat anak misalnya, banyak ditemukan bahwa inisiatif awal praktik perkawinan karena terdorong oleh keinginan mereka untuk mengikuti jejak temannya yang telah menikah terlebih dahulu. Anak kemudian meyakini bahwa temannya yang telah melangsungkan pernikahan memiliki kehidupan yang lebih bahagia. Labelin kawin usia anak itu oke, kawin usia dewasa itu tidak baik, ini kemudian menjadi kampanye efektif mengajak anak menikah cepat, padahal perkawinan anak sangat beresiko

Gaya berpacaran anak yang berisiko terhadap kesehatan reproduksinya juga berpotensi mendorong kehamilan remaja perempuan dan berujung pada perkawinan anak.

Ini menunjukkan bahwa faktor sosial berkontribusi banyak dalam terjadinya kasus perkawinan anak, seperti adanya pengaruh pergaulan, pengaruh lingkungan, menjalani pergaulan beresiko, kenakalan remaja, korban kekerasan seksual, adanya tipu daya, keinginan orang tua untuk mendapatkan cucu atau menantu, adanya desakan masyarakat sekitar, mengikuti teman yang sudah menikah, hubungan tidak mendapatkan restu orang tua, atau keinginan kuat dari anak sendiri untuk menikah atas dasar hubungan percintaan.

Beberapa modus perkawinan anak yang kerap dilakukan oleh para orang tua, antaralain memalsukan identitas anak, khususnya umur, melakukan perjodohan, pemaksaan dari orang tua karena keputusan orang tua yang merasa khawatir atau harus menuruti norma setempat, dan kemudian mengawinkan anak sebagai ganti utang keluarga dan memaksa menikah karena keluarga setuju dengan nilai maharnya.

Maka, stop perkawinan anak karena ini membahayakan bagi emosi dan kesehatan reproduksi anak-anak, terutama anak perempuan.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Estu Farida Lestari

Jurnalis di Pers Mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dimensi, UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!