Pentingnya Narasi Baru Untuk Mengubah Cara Pandang Laki-laki

Ketimpangan kekuasaan tidak cukup dilawan dengan menolak kekerasan, namun juga menghadirkan narasi baru untuk mengubah cara pandang laki-laki.

Dalam banyak kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, masyarakat sering disajikan seruan untuk memandang perempuan sebagai makhluk yang kuat. Yang seharusnya juga ditekankan adalah mengajak laki-laki untuk mengubah cara pandang mereka. Ini penting untuk menghargai dan menghormati perempuan sebagai manusia, terlepas ia kuat atau lemah.

Di tengah ramainya narasi kesetaraan gender dan argumen bahwa perempuan itu kuat, masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat, terutama kekerasan dalam ranah personal. 

Pada tahun 2021 lalu, Komnas Perempuan mencatat bahwa sebanyak 79% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, di antaranya terjadi dalam ranah personal. Artinya, kasus kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, bahkan banyak dilakukan oleh orang terdekat.

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh penyanyi, Lesti Kejora oleh suaminya, Rizky Billar. Lesti yang menarik laporan KDRT nya dari kepolisian menuai banyak kecaman publik. Publik seketika mengubah rasa ibanya menjadi perasaan kesal atas keputusan yang diambil Lesti. Dalam kasus ini, publik cenderung fokus pada keputusan Lesti dan urusan rumah tangganya, padahal terlepas dari Lesti menarik laporannya atau tidak, dominasi dan ketimpangan kekuasaan Billar pada Lesti dalam kejadian tersebut seharusnya mendapat ‘garis bawah’ dari publik. 

Dalam kronologi kejadian KDRT yang dialami Lesti Kejora, dijelaskan bagaimana Lesti dibanting dan dicekik oleh suaminya. Secara logika, Rizky Billar memiliki tubuh dan kekuatan fisik yang dominan lebih besar dari Lesti, sehingga tidak dapat ditampilkan bahwa Lesti lebih lemah secara fisik sehingga mudah mendapat perlakuan kekerasan. Hal ini mungkin terjadi dalam banyak kasus KDRT di  Indonesia. Dalam hal ini,  narasi ‘perempuan bukan makhluk lemah’ tidak dapat berlaku.

Saya melihat bahwa narasi kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang mengedepankan argumen kesetaraan gender dan perempuan sebagai makhluk yang juga kuat, belumlah cukup. Jika menilik makna kuat secara lebih luas (di luar konteks fisik), perempuan memang bisa dikatakan berpotensi dan berdaya untuk menjadi lebih kuat dari laki-laki, misalnya dalam konteks profesionalisme yang terjadi di perkotaan. Namun, Thung dalam jurnalnya yang berjudul Perempuan Dan Modernisasi  (2015) menjelaskan bagaimana era modernisasi ini tidak berdampak pada kesetaraan gender yang digadang-gadangkan, bahkan tampak adanya ketimpangan sosial budaya antara perempuan pedesaan dan perkotaan.

Di pedesaan, perempuan masih diposisikan dan berada di posisi yang lemah. Penelitian berjudul ‘Elastic band strategy’: women’s lived experience of coping with domestic violence in rural Indonesia yang dilakukan oleh ahli psikologi, kesehatan masyarakat, serta perempuan dan anak dari Indonesia dan Swedia, menjelaskan bagaimana perempuan korban KDRT di desa sangat terugikan karena kasusnya diterima oleh norma patriarki. 

Perempuan-perempuan di desa juga kesulitan meminta bantuan eksternal karena masih besarnya anggapan bahwa KDRT adalah masalah privat yang sulit diintervensi oleh pihak luar. Hal ini juga salah satunya dipengaruhi oleh anggapan akan perempuan dalam rumah tangga yang memikul beban untuk menjaga keharmonisan keluarga. Dalam hal ini, posisi perempuan belum bisa dikatakan kuat dan bisa dilindungi dari kekerasan dengan narasi ‘perempuan itu kuat atau perempuan itu setara dengan laki-laki’.

Dalam penelitian yang sama, bahkan dijelaskan pula bahwa beberapa perempuan yang terlibat dalam penelitian memiliki pendidikan yang cukup tinggi dan pekerjaan sendiri, tetapi tetap mendapat perlakuan kekerasan dari suami mereka. Hal ini juga terjadi pada Lesti yang diketahui publik memiliki profesi dan sumber penghasilannya tersendiri dan bahkan hidup dalam kehidupan perkotaan. 

Meski dalam hal ini perempuan-perempuan korban KDRT memiliki posisi yang kuat dalam hal berdaya, namun dominasi kekuasaan suami sebagai laki-laki masih dilakukan melalui perilaku kekerasan mereka. Yang menjadi permasalahan adalah, masih adanya ketimpangan kekuasaan dan dominasi yang dilakukan oleh suami.

Ketimpangan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan menjadi salah satu faktor kuat terjadinya kasus kekerasan. Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana kekerasan sebagai bagian integral dan identitas maskulin sebagai posisi yang dominan, agresif, sebagai kekuasaan dan hak laki-laki (Anderson, 2005). Ketimpangan kekuasaan ini tidak cukup dilawan dengan narasi keharusan laki-laki memandang perempuan bisa setara secara kekuasaan, sedangkan dalam beberapa kesempatan, budaya dan dominasi fisik laki-laki masih memungkinkan terjadinya kekerasan.

Selain narasi yang mendorong agar perempuan bisa lebih kuat, diperlukan pula narasi-narasi yang mendorong laki-laki agar bisa menghargai perempuan. Diperlukan pula narasi yang secara langsung dan spesifik mengarah laki-laki agar turut memainkan peran mengurangi kekerasan terhadap perempuan melalui sikap menghargai dan menghormati peremuan sebagai manusia. Cara laki-laki menghargai perempuan dengan hak-haknya sebagai sesama manusia setara dengan dirinya, bisa pula menjadi perhatian dalam kampanye anti kekerasan terhadap perempuan. Bagaimanapun, laki-laki memiliki peran positif dalam membantu menghentikan kekerasan terhadap perempuan (Dyson and Flood, 2008)

Bagaimanapun, laki-laki sebagai orang yang berpotensi melakukan kekerasan terhadap perempuan khususnya pada ranah privat, memerlukan pemahaman yang mendalam terkait hak-hak perempuan untuk dihargai dan dihormati agar terhindar dari tindak kekerasan. Pemahaman yang mendalam dari laki-laki tentang pentingnya menghargai dan menghormati perempuan, diharapkan bisa menjadi prinsip laki-laki untuk tidak melakukan kekerasan dalam apapun bentuknya terhadap perempuan,.   

Referensi

Anderson, K. L. (2005). Theorizing gender in intimate partner violence research. Sex Roles, 52, 853-865

Dyson, S., & Flood, M. (2008). Building cultures of respect and non-violence: A review of literature concerning adult learning and violence prevention programs with men.

Grose, R. G., & Grabe, S. (2014). The explanatory role of relationship power and control in domestic violence against women in Nicaragua: A feminist psychology analysis. Violence Against Women, 20(8), 972-993.

Kaura, S. A., & Allen, C. M. (2004). Dissatisfaction with relationship power and dating violence perpetration by men and women. Journal of Interpersonal Violence, 19(5), 576-588.

Nur Hayati, E., Eriksson, M., Hakimi, M., Högberg, U., & Emmelin, M. (2013). ‘Elastic band strategy’: women’s lived experience of coping with domestic violence in rural Indonesia. Global health action, 6(1), 18894.

Thung, J. L. (2015). Perempuan Dan Modernisasi. Women and Modernization. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 17(1), 17-28. https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/118 

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Dhela Seftiany

Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!