Perkosaan Gang Rape Terjadi di Kemenkop UKM: Aktivis Temukan Rekayasa Kasus 

Sebanyak 65 kasus kekerasan dan pelecehan seksual telah terjadi di institusi pemerintahan selama 3 tahun ini. Para pelaku ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai BUMN, juga anggota legislatif yang berada di daerah hingga ke pusat.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual. 

Konde.co bersama Project Multatuli dan Narasi TV Melakukan Liputan Kolaborasi ‘Kekerasan Seksual di Institusi Pemerintahan,’ Edisi ini kami menampilkan kekerasan seksual yang terjadi di Kementerian Koperasi dan UKM

Berdasar data Komnas Perempuan tahun 2020-2022 menunjukkan, para pelaku di institusi pemerintahan ini melakukan perkosaan, pelecehan, kekerasan berbasis gender online, pelecehan fisik, trafficking, kekerasan di tempat kerja, hingga eksploitasi seksual kepada para korbannya.

Para korban dalam kasus ini antara lain istri pelaku, pacar, tetangga, bawahan di kantor, saudara kandung, sepupu dan rekan kerja pelaku.

Yang paling kencang terdengar adalah yang terkuak pada Oktober 2022 lalu di Kementerian Koperasi dan UKM. Jika korban dan keluarganya tidak gigih berjuang, maka kasus ini akan tenggelam begitu saja seperti kasus-kasus yang terjadi di institusi pemerintahan lainnya.

Para aktivis perempuan juga menemukan dugaan rekayasa kasus dalam peristiwa kekerasan seksual di Kemenkop UKM ini.

Kasus Kekerasan Seksual di Kemenkop UKM, Ada Rekayasa Kasus

Masih ingat dengan N, pegawai honorer Kementerian Koperasi dan UKM, yang mengalami gang rape saat mengikuti rapat di luar kantor (RDK)? 

Perkosaan yang terjadi pada N diduga dilakukan 4 orang rekan kerjanya MF, NN, WH, dan ZP pada Desember 2019. Di bulan Oktober 2022 kasusnya yang tenggelam kembali mencuat, setelah media memberitakan upaya keluarga N membuka kasus ini kembali.

Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) kemudian membentuk tim independen setelah bertemu dengan keluarga korban dan jaringan aktivis perempuan paska kasus ini mencuat. 

Sebelumnya, N diragukan sebagai korban dan malah dipaksa berdamai dengan menikahi pelaku. N juga diabaikan hak-haknya sebagai pekerja.

Kejadian ini bermula saat N bersama para pegawai kementerian tersebut pada 6 Desember 2019 mengadakan Rapat Di Luar Kantor (RDK) yang diikuti N dan para pelaku. Disanalah N kemudian diperkosa.

Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung, 4 orang pegawai memperkosa yaitu: ZP, WH, MF, NN dan 2 orang menjaga pintu dan 1 orang ikut sampai lokasi. Ketiga orang ini adalah: A, T, E.

Butuh beberapa hari setelah kejadian perkosaan itu sampai N berani untuk bercerita soal perkosaan yang dialaminya. Ia hanya bercerita pada F, teman satu kantor yang dipercaya. F kemudian menghubungi R (kakak N) dan menyampaikan kekerasan seksual yang dialami N.

“Si teman dekatnya ini dia WA, ngomong kalau dia itu diperkosa…Terus temennya yang sedang umrah ini telepon ke kakaknya N, kasih tahu kalau adiknya habis diperkosa sama ini, ini, ini,” ujar Kustiah, Koordinator Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Perkosaan di Kemenkop UKM (TAKON Kemenkop) yang mendampingi N.  

Bersama keluarganya, N kemudian melaporkan perkosaan tersebut ke Kemenkop UKM pada 20 Desember 2020. Di Kemenkop, laporan diterima oleh kepala biro umum yang kemudian memerintahkan Kasubag Mutasi dan Kesejahteraan SDM Aparatur untuk mendampingi korban agar melapor ke polisi.

Laporan korban ditindaklanjuti Kemenkop dengan memanggil para pelaku untuk dimintai keterangan. Tapi korban seperti diabaikan, tidak ada upaya Kemenkop untuk mendampingi korban agar mendapatkan pemulihan psikologis atau bantuan hukum.

“Korban tidak mendapatkan haknya untuk didampingi, baik untuk pemulihan psikisnya maupun yang terkait dengan bantuan hukumnya,” kata Ratna Batara Munti, pendamping hukum korban dari LBH APIK Jabar sekaligus anggota tim independen yang dibentuk Kemenkop UKM.

Setelah kejadian perkosaan tersebut, N masih bekerja. Tapi N mulai merasa tidak nyaman. Ia tidak mendapat dukungan, justru mengalami perundungan. Setelah itu muncul gosip-gosip di kantor, dan ia mendengar jika temannya ada yang mengatakan jijik jika melihat N.

Sehingga pada Januari 2020, N merasa sudah tidak nyaman lagi untuk bekerja di Kemenkop. Ketika N akhirnya tidak lagi berangkat kerja, tidak tampak upaya dari Kemenkop untuk mengonfirmasi kondisi ini.

Tak hanya itu, perkosaan yang dialami korban bahkan diragukan. Sumber Konde.co mengatakan, pejabat kementerian tersebut merasa tidak ada gelagat yang mencurigakan selama berlangsungnya rapat di luar kota, baik dari para pelaku maupun korban.

Sementara itu, N kemudian melaporkan perkosaan yang dialaminya ke Polresta Bogor dan diterima unit Perempuan dan Perlindungan Anak/ PPA Polresta Bogor. Korban kemudian dirujuk untuk melakukan visum. Polresta Bogor menindaklanjuti laporan korban dengan menetapkan 4 orang sebagai tersangka (MF, NN, WH, ZP). 

Keempatnya kemudian dikenai pasal 286 KUHP, yakni melakukan persetubuhan terhadap perempuan di luar perkawinan dalam kondisi perempuan tersebut pingsan atau tidak berdaya.

Selanjutnya polisi menangkap dan menahan keempat tersangka pada 14 Februari 2020. Penahanan tersebut menjadi dasar Kemenkop memecat MF sebagai tenaga honorer di tanggal yang sama. Sedang pemecatan terhadap NN sebagai petugas kebersihan di Kemenkop dilakukan pada 24 Februari 2020.

Sebaliknya terhadap ZP yang berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/ CPNS, Kemenkop justru mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil/ PNS pada 20 Februari 2020 ketika ZP sedang berada dalam tahanan. Bersama ZP, EW yang berstatus sebagai saksi juga diangkat sebagai PNS.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM kala itu, Rully Indrawan beralasan pengangkatan terduga pelaku sebagai PNS dilakukan karena proses hukum masih berjalan dan dirinya belum mendapat laporan dari polisi secara terinci. Selain itu ia mengaku pihaknya sudah berkomunikasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

“Februari 2020 itu proses hukumnya masih bergulir di polisi ya dan juga jujur saja saya belum mendapatkan laporan rinci tentang persoalan itu. Karena masalahnya pengangkatan itu kan satu paket di dalam proses kepegawaian, kalau sudah ada ketetapan hukum bisa dilakukan eksekusi. Jadi pada saat itu didaftarkan tidak satu persatu. Dan memang pengenaannya harus ada dasar hukumnya, kan prosesnya saat itu masih berjalan belum berkekuatan hukum tetap. Itu sudah kita komunikasikan dengan KASN. Nanti kalau sudah terbukti baru eksekusi,” terangnya.

Rully juga meragukan perkosaan tersebut karena korban waktu itu belum berhasil dimintai keterangan.

“Berdasarkan BAP (berita acara pemeriksaan, red) itu, mohon maaf, pada saat itu kita juga ragu apa itu memang terjadi kekerasan atau tidak karena korban belum bisa ditanyai saat itu,” kata Rully.

Sementara menurut pakar pidana dari Universitas Brawijaya, Lucky Endrawati penyelesaian kasus bisa dilakukan di internal kementerian juga di eksternal melalui proses hukum. Penyelesaian melalui proses hukum dengan penyelesaian secara internal punya mekanisme yang beda. Artinya keduanya tidak harus saling menunggu karena memang ruang lingkupnya beda.

Ketika menyelesaikan secara internal, berarti ada kode etik dan disiplin pegawai yang ruang lingkupnya hanya mengikat pada kondisi internal di kementerian atau di lembaga pemerintah itu sendiri. Jadi tidak ada hubungannya dengan proses hukum.

Sering kali yang terjadi, proses hukum menunggu proses internal atau sebaliknya. Tapi ini tidak ada landasan yuridisnya. Karena pertanggungjawaban pidananya ada pada individu, bukan pertanggungjawaban korporasi.

“Ketika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-perorangan dan itu melalui proses yang eksternal, maka pertanggungjawabannya ya individu. Itu tidak melibatkan lembaga atau institusi yang dinamakan korporasi tadi. Jadi, kedua-duanya tidak saling menunggu…yang internal tidak harus menunggu yang eksternal, eksternal pun tidak harus menunggu yang internal,” papar Lucky.

Untuk penyelesaian di lingkup internal ada Peraturan Pemerintah No. 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai. Dalam aturan ini sanksi terberat berupa pemecatan dengan tidak hormat. Di internal sendiri ada dua penyelesaiannya, secara jalur kode etik dan secara sanksi disiplin pegawai.

Pengangkatan jabatan dan absennya sanksi internal ini disoroti oleh pendamping hukum korban. “Jadi itu sangat miris ya, bukan hanya tidak ditegakkan sanksi internal, padahal kan ada Undang-Undang ASN dan PP-nya gitu ya, tetapi bahkan dipromosikan,” ujar Ratna.

Pernikahan Sebagai Siasat Bebas dari Hukuman

Setelah korban melapor ke polisi, para terduga pelaku mendatangi rumah orang tua korban dan memohon agar proses hukum tidak dilanjutkan karena ZP akan menikahi N. Diantara keempat terduga pelaku, hanya ZP yang masih single, sedangkan yang lainnya sudah menikah.

Ayah korban mengatakan, keempat terduga pelaku beberapa kali mendatangi rumahnya. “Jadi memang dari berempat (terduga pelaku, red) itu mohon istilahnya di antara pelaku ini ada yang mau tanggung jawablah, istilahnya gitu. Kasus ini jangan diterusin, gitu.”

Pelaku juga mengajak keluarga mereka ketika mendatangi rumah korban dan mendesak keluarga korban untuk menghentikan kasusnya. Bahkan seorang pejabat Kemenkop dan UKM yang punya hubungan keluarga dengan salah satu terduga pelaku juga mendatangi rumah korban dan menawarkan penyelesaian kasus secara “persaudaraan”.

“Dua kali. Yang pertama rame-rame, yang kedua ama istrinya berdua. Kan udah malam, saya bilang, pak, ini udah malem, nggak enak ama tetangga, gitu. Setengah saya usir gitu. Sudah jam setengah sepuluh, nggak enak Pak, akhirnya pulang,” tutur ayah korban.

Pejabat tersebut ketika kami kontak untuk konfirmasi meminta kami untuk menghubungi Humas Kemenkop. Sementara Sesmen yang kami hubungi melalui humas Kemenkop untuk wawancara menyatakan tidak bersedia.

Ketika keempat terduga pelaku ditahan, upaya penyelesaian kasus secara damai melalui pernikahan juga difasilitasi oleh Kanit PPA Polresta Bogor, seperti dituturkan ayah korban.

“Ya dari pihak kepolisian malah menawarkan, ya udah ini nikah siri aja bisa, gitu. Jadi proses untuk dia (pelaku, red) bisa keluar, salah satunya dia mau nikahin gitu, intinya kan begitu. Dari pihak pelaku, ada yang mau nikahin itu untuk proses biar bisa keluar, syaratnya itu. Itu dari Kanit sendiri.”

Karena desakan dari banyak pihak tersebut akhirnya pada 3 Maret 2020 ada perjanjian bersama antara pelaku dan korban, yang juga difasilitasi di ruang kepolisian. Proses pembuatan perjanjian bersama ini mengundang sejumlah pertanyaan.

Penyerahan Uang dan N Diminta untuk Mencabut Laporan

Pendamping hukum korban, Ratna Batara Munti menjelaskan, pada 3 Maret korban diminta masuk ke dalam ruangan di Polres Bogor dan orang tuanya tidak boleh mendampingi. Ternyata di ruangan itu dia diinterogasi. Jadi kata korban si penyidik mengetik sesuatu, lalu menyodorkan berkas. Korban tidak paham, tidak mengetahui bahwa sebenarnya berkas itu ternyata memuat soal pencabutan laporan karena dia tidak pernah ditanyakan soal pencabutan laporan.

Pada 10 november 2022, tim pendamping hukum korban bersama psikolog mengkonfirmasi korban terkait dokumen perjanjian bersama yang tertera tanda tangan korban. N mengaku dia disodori berkas dan mungkin dia menandatanganinya. Tapi saat itu tidak ada pembicaraan tentang pencabutan laporan. Dia juga tidak ditanya soal itu. Korban dan orang tuanya menyatakan tidak pernah membuat surat tersebut.

Setelah perjanjian damai dibuat pada 6 Maret 2020, orang tua korban kembali dipanggil. Di dalam ruang kerjanya, Kanit PPA 2019-2020 menyerahkan uang sekitar 40 juta rupiah kepada ibu korban. Uang ditaruh di dalam kantong kresek dan dikatakan sebagai biaya pernikahan.

Pernikahan pun berlangsung pada 13 Maret 2020 di KUA Jakarta Selatan. Kanit meminta bukti pernikahan, sehingga beberapa hari setelah pernikahan korban dan orang tua mengantarkan foto pernikahan. Hari itu juga keempat pelaku dibebaskan dari tahanan. Mereka hanya dikenakan wajib lapor.

Polresta Bogor kemudian mengeluarkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3) pada 18 Maret 2020. Adapun alasan penghentian penyidikan tindak pidana karena restorative justice kepada 4 orang terdakwa.  

Polresta Bogor juga mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kedua pada 19 Maret 2020. Disebutkan penyidik perkara tidak cukup bukti sehingga penyidikan dihentikan. Namun korban tidak pernah mendapat info dan dokumen terkait kedua surat tersebut.

Ketika dikonfirmasi terkait dugaan adanya upaya memfasilitasi agar korban berdamai dengan pelaku dan menyarankan korban menikah dengan pelaku, baik Kanit PPA 2021-2022 maupun Kasubsi PID Polresta Bogor tidak memberikan tanggapan.

Lamaran Pernikahan: Korban Menikah dengan Pelaku

Setelah menikah, dilangsungkan acara lamaran. ZP datang bersama keluarga besarnya. Tapi setelah acara selesai ZP pulang ke rumah orang tuanya. Ia tidak pernah tinggal bersama N dan hanya menafkahi N sebesar 300 ribu setiap bulan selama 12 bulan.

Beberapa kali ayah korban menghubungi ZP dan ayahnya untuk meminta kepastian kapan resepsi akan dilangsungkan. Namun baik ZP maupun keluarganya berusaha menghindar. Keluarga korban kemudian merasa tidak ada keseriusan dari pelaku.

“Kelanjutannya sampai detik ini belum pernah ZP ke sini. Padahal waktu itu kan saya udah berharap, sudah dinikahi, udah apapun yang terjadi saya terima, gitu, tapi ternyata malah, saya telepon nggak diangkat, saya WA nggak dijawab. Saya telepon bapaknya alasannya masih Covid, udah nggak papa. Saya telpon lagi alasannya masih Covid juga, ada saudara yang kena gitu,” ujar ayah korban.

Akhirnya pada Desember 2021 keluarga korban meminta bantuan pengacara untuk mensomasi ZP. Surat somasi dikirimkan ke pelaku pada 20 Desember 2021. Keluarga korban juga mendapat informasi kalau ZP mendapat beasiswa dari Bappenas di Universitas Brawijaya, Malang.

Ketika pengacara korban bertemu dengan pengacara pelaku pada Februari 2022, dia mendapat informasi kasus sudah ditutup, sudah SP3. Setelah pertemuan tersebut pengacara korban menyarankan keluarga korban untuk menerima uang kompensasi dari pelaku karena kasus sudah sulit untuk dibuka kembali.

Pada Maret 2022 terjadi pertemuan antara pengacara korban dengan ZP dan ayahnya serta Kanit PPA di Polresta Bogor. Ada upaya Kanit PPA 2021-2022 agar korban berdamai dengan pelaku dan tidak memperpanjang persoalan dengan menawarkan uang sejumlah 50 juta. Hal ini disampaikan kepada pengacara korban agar menyampaikannya kepada keluarga korban.

Keluarga korban pun sadar tindakan pelaku menikahi korban hanyalah cara pelaku untuk lepas dari jeratan hukum. Tidak ada keseriusan dan itikad baik termasuk untuk menjalankan perjanjian. Bahkan selama pernikahan korban mengalami KDRT berupa kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. ZP juga kemudian mengajukan gugatan cerai kepada N.

Ratna mengungkapkan nafkah yang diberikan ZP sebesar Rp. 300 ribu setiap bulan tidaklah layak. Ia menganalogikan aturan terkait perceraian pada ASN mensyaratkan setengah dari gaji suami diberikan sampai mantan istri itu menikah lagi. Apalagi ketika masih dalam pernikahan paling tidak seharusnya sama.

Selain itu Ratna menilai tidak ada kesadaran pada diri ZP bahwa dia telah melakukan kesalahan, sehingga mestinya mengupayakan pemulihan buat istrinya. Bagaimanapun dia korban, hak-haknya belum terpenuhi sama sekali sejak dia mendapatkan peristiwa itu. Jadi tidak ada kepedulian.

Pada akhirnya keluarga menyadari pernikahan sebenarnya bukan solusi yang baik, justru tambah menyakitkan bagi korban. Ratna mengatakan korban mengiyakan pernikahan itu juga karena mempertimbangkan orang tuanya.  

“Karena kita tahu namanya anak kan tetap ada relasi ya dengan orang tua. Dia nggak mau orang tuanya tuh jadi lebih tertekan lagi, ya sudah dia mengikuti gitu,” ungkapnya.

Titik Terang Bagi Korban?

Upaya korban membuka kembali kasus mulai terbuka setelah mendapatkan pendampingan hukum dari LBH APIK Jabar. 

LBH APIK Jabar kemudian bersurat pada Kemenkop pada 16 Mei 2022 dan ditindaklanjuti dengan pemanggilan korban pada 10 Juni 2022. Dalam suratnya Kemenkop meminta korban datang tanpa didampingi pendamping hukum. Korban datang ke Kemenkop pada 14 Juni dengan didampingi tim pendamping hukum untuk melengkapi administrasi. Selanjutnya pada 20 Juni 2022, korban dengan didampingi LBH APIK Jabar dimintai keterangan oleh pejabat Kemenkop untuk keperluan BAP.  

Kemenkop kemudian menjatuhkan sanksi kepada ZP dan WH pada 29 September 2022. Sanksi kepada ZP berupa penurunan jabatan selama satu tahun dari analis Kerjasama menjadi pengemudi yang mulai berlaku pada 2023. Sedang sanksi kepada WH berupa penurunan jabatan selama satu tahun dari penyusun rencana mutasi menjadi pengemudi yang mulai berlaku pada September 2022.

Sementara terkait upaya penyidik yang mendorong dan memfasilitasi korban/keluarga korban untuk berdamai dengan pelaku, pendamping hukum korban membuat laporan ke Propam Polda Jawa Barat pada 18 November 2022. 

Ratna mengungkapkan yang dilaporkan sikap dan perilaku para penyidik pada saat laporan dibuat pertama kali pada tanggal 20 Desember 2019 sampai kasus dihentikan pada 18 Maret 2020. Termasuk juga sikap dan perilaku para penyidik ketika korban mempermasalahkan kembali kasus ini pada Desember 2021 hingga Maret 2022. 

Upaya korban membuka kembali kasus ini karena ternyata ada poin yang dilanggar dari perjanjian bersama yang dibuat dengan pelaku. ZP yang harusnya punya tanggug jawab sebagai suami justru melakukan KDRT. Dalam proses membuka kembali kasus tersebut penyidik kembali mendorong dan memfasilitasi upaya damai. 

Setelah kasus ini mendapat perhatian publik, Kemenkop kemudian membentuk tim independen. Hasil penyelidikan tim independen menghasilkan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi tersebut menjadi dasar Kemenkop UKM untuk memecat dua pelaku yang berstatus sebagai PNS, ZP dan WH. Sedang pada EW yang berstatus PNS sanksi diberikan berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 1 tahun. MM yang berstatus pegawai honorer diputus kontrak kerjanya. 

Kemenkop juga membatalkan rekomendasi beasiswa yang diberikan pada ZP kepada Kementerian Bappenas, karena sebelumnya ZP malah mendapatkan beasiswa ketika ada kasus ini. Selain itu Menteri Koperasi dan UKM juga membentuk Majelis Kode Etik baru yang bersih dari relasi kekerabatan. 

Dalam konferensi pers yang digelar Kemenkop, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan para pejabat yang diduga melakukan pelanggaran dan maladministrasi akan diproses oleh majelis etik yang baru.

Sementara perkembangan proses hukum kasus ini, pada 21 November 2022 hasil rapat koordinasi di Kementerian Polhukam memutuskan untuk mengoreksi SP3 Polresta Bogor tidak perlu praperadilan, tapi cukup dengan gelar perkara khusus. 

Menkopolhukam, Mahfud MD seperti dikutip dari akun media sosialnya mengatakan, “SP3 dicabut, perkara dilanjutkan.”

Pernyataan Menkopolhukam ditindaklanjuti dengan gelar perkara khusus pada 30 November 2022. Hasil gelar perkara khusus di Polda Jabar memutuskan kasus dapat dilanjutkan di Polresta Bogor. 

Selanjutnya pada 7 Desember 2022 penyidikan lanjutan terhadap 4 tersangka ZP, NN, WH dan MF telah dilanjutkan. Sesuai surat yang dikirim Polda Jabar ke Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bogor.  

Menanggapi hal tersebut, pendamping hukum korban menyatakan bersyukur sudah ada kepastian kasus dapat dilanjutkan tanpa perlu ajukan gugatan praperadilan sehingga hemat waktu dan biaya. Tapi masalahnya kasus dilanjutkan di Polresta Bogor, dimana kanit dan penyidiknya bermasalah dan sedang dilaporkan di Propam Polda Jabar. Ratna berharap kasus diambil alih oleh Polda Jabar.

“Dari awal wacananya kasus akan dilanjutkan oleh Polda, tapi entah kenapa dibalikkan lagi ke Polresta Bogor yang jelas-jelas terindikasi malpraktik dan yang berperan menghentikan kasus, dengan memprovokasi dan fasilitasi perdamaian dan pernikahan pelaku dengan korban,” ujarnya.

Ratna mengatakan, Kanit sudah dilaporkan sehingga ia berharap bisa dibebastugaskan dulu, begitu juga dengan penyidik yang bermasalah. Setidaknya menunggu hasil pemeriksaan Propam Polda Jabar. Ia berharap kasus sebaiknya dialihkan dulu ke Polda Jabar.

Saat ini proses penyidikan kasus dilanjutkan kembali dan ditangani oleh Polresta Bogor. Ratna mengatakan pihaknya akan minta perkembangan penanganan kasus ke Kanit PPA Polresta Bogor. “Kalau responsnya buruk, ini kita jadikan dasar ke Polda Jabar atau Mabes Polri agar diambil alih aja kasusnya,” pungkasnya. 

Sementara kakak korban mengungkapkan korban masih menunggu setelah mendapatkan informasi dari kepolisian melalui surat bahwa kasus akan dibuka kembali. Korban menginginkan pelaku dihukum dan korban diberikan pendampingan atau pengobatan maupun restitusi. 

Korban berharap pelaku diproses secara hukum dan mendapatkan sanksi sesuai perbuatannya. Selain itu ancaman yang dipakai seharusnya pasal 285 KUHP dengan maksimal sanksi 12 tahun, seperti disampaikan melalui kuasa hukumnya.   

Komnas Perempuan memaparkan dalam pernyataannya bahwa kasus kekerasan seksual di Kemenkop UKM ini menunjukkan kekerasan berlapis, yaitu perkosaan, pemaksaan perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan di dunia kerja.

Anita Dhewy dan Luviana

Redaktur Khusus dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!