Reviktimisasi Perempuan Terjadi di Balik Cuitan Seksis 

Selama ini kita banyak mendengar komentar seksis seperti menyalahkan pakaian yang dikenakan korban kekerasan seksual, ataupun menganalogikan perempuan sebagai barang. Padahal ini adalah viktimisasi perempuan.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ini adalah peribahasa yang paling menggambarkan kondisi penyintas yang berusaha untuk lepas dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). 

Baca saja cuitan bernada seksis ini:

“Ah, itu, sih sama-sama mau. Buktinya gak ada perlawanan dari korban,”

“Perempuan ibaratnya seperti ikan dan laki-laki adalah kucing. Kucing mana yang menolak kalau ditawarkan ikan?”

“Suruh siapa pakai pakaian terbuka? Kamu sendiri yang mengundang hawa nafsu!.”

Komentar seksis seperti ini selalu menyalahkan pakaian yang dikenakan penyintas ataupun analogi perempuan sebagai barang, ini sudah terlihat dalam agenda bias atribusi. Komentar seksis dalam bentuk ujaran kebencian ataupun memojokkan penyintas ini memang kerap dituliskan pada kolom komentar yang menjadi contoh konkret bias atribusi yang dimaksud.

“Pelajaran buat perempuan jangan asal ceplas-ceplos. Laki-laki kalau sakit hati bisa jadi jahat.”

Tiap kali terkuak pemberitaan mengenai kekerasan seksual, perempuan menjadi subjek pertama yang dibebankan moral dan kesalahan. Lantas, bagaimana dengan laki-laki? Berasumsi bahwa hanya perempuan yang menjadi akar persoalan KBGO? Lantas apa yang harus dilakukan pada saat cuitan seksis bebas merundung penyintas Kekerasan Berbasis Gender Online/ KBGO?

Keberadaan anak dan perempuan di ruang publik kerap kali dijadikan objektifikasi dan konsumsi masyarakat, khususnya laki-laki. Selama ini anak dan perempuan menjadi target potensial yang  mengalami tuntutan perihal dirinya sendiri daripada gender lainnya. Laki-laki misogini kerap kali membenarkan nafsunya dengan membawa dalih kodrat perempuan yang seharusnya menjaga diri. 

Indonesia tercatat sudah memfasilitasi penyintas dengan regulasi yang ada, meskipun dalam hal ini sering kali penyintas dipersulit untuk menjerat pelaku kejahatan seksual.

Isu eksploitasi seksual, salah satunya adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Penyintas KBGO tidak memandang gender, sehingga tidak menutup kemungkinan hal ini dapat menimpa laki-laki dan transgender. Kendati demikian, perempuan dan anak jauh lebih rentan mengalami kekerasan berbasis gender online

Abramson mengungkapkan bahwa perempuan adalah korban dari adanya konfigurasi seksis yang sejak kemunculannya ke permukaan masyarakat membunuh karakter perempuan itu sendiri. Oleh sebab itu, perempuan sering diidentikkan dan dipersepsikan sebagai simbol lemah dan tidak berdaya, sehingga mudah untuk diretas keraguan mengenai dirinya sendiri.

Tradisi Victim Blaming Sudutkan Kesaksian Korban KBGO

Kemudahan dalam menyalurkan suatu informasi pada media sosial dimanfaatkan oleh kebanyakan penyintas dengan membagikan kisahnya ketika mendapati kekerasan berbasis gender online (KBGO). Namun, sungguh disayangkan sebab tidak jarang di antara komentar positif mendukung penyintas masih terselip pula komentar yang cenderung misandri, misoginis, dan patriarki. 

Victim blaming seolah-olah menjadi suatu tamparan yang harus dihadapi penyintas kala menceritakan peristiwa traumatis yang dialaminya. Terlebih lagi jika pelaku KBGO masih merupakan orang terdekat dari penyintas. Ada rasa segan dari penyintas untuk melaporkan.

Atribusi atau motif KBGO dapat terjadi, setidaknya dipicu oleh tiga hal, seperti persepsi, perilaku, dan eksposur waktu. Dalam hal ini, penyintas kerap mendapatkan tanggapan berupa victim blaming. Hal tersebut selaras dengan salah satu kesalahan dalam konteks atribusi yang dicetuskan oleh Gifford Weary dan Darcy A. Rejch. The Self Serving Bias merupakan kesalahan atribusi, yakni seseorang yang bertendensi bias dalam menyikapi suatu perkara yang diindikasikan dalam bentuk menyalahkan faktor eksternal demi menyelamatkan martabat diri.

Dalam kurun setahun terakhir, Komnas Perempuan telah menerima banyak laporan pengaduan kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang terus melonjak tajam setiap harinya. Tercatat sejak 2011 hingga 2019, Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mendapati 23.021 laporan kasus kekerasan seksual dengan 9.039 di antaranya merupakan kasus pemerkosaan.

Nenden Sekar Arum yang merupakan bagian dari Divisi Kebebasan Berekspresi SAFENet menuturkan bahwa KBGO didefinisikan sebagai bentuk penyerangan terhadap identitas gender dan konteks seksualitas yang terjadi pada media daring.

Sudah seharusnya bagi kita untuk memberikan ruang aman bagi penyintas KBGO dengan tidak buru-buru menghakimi. Berikan penyintas fasilitas yang dapat memudahkan mereka dalam menjemput keadilan.

Selly Fitriyani Wahyu

Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!