Sebagai Penggemar Sepak Bola Musiman, Ada Dilema Nonton Piala Dunia 2022

Sebagai penggemar musiman sepak bola dunia, ada 2 dilema nonton Piala Dunia 2022 ini, yang pertama adanya kasus dugaan suap di Piala Dunia ini, dan yang kedua larangan menggunakan atribut atau yel-yel LGBTQ+ karena dianggap tidak sesuai dengan budaya Qatar

Piala Dunia selalu menjadi pertandingan yang ‘dirayakan’ di seluruh dunia setiap 4 tahun sekali. Pertandingan Piala Dunia tahun 2022 ini diselenggarakan di Qatar, di mana negara ini baru pertama kali menjadi tuan rumah. 

Dalam aturannya, FIFA selalu memberikan satu tempat untuk tuan rumah penyelenggara di babak grup, tanpa harus mengikuti babak kualifikasi.

Ada kasus penting yang harus dicatat dalam penyelenggaraan piala dunia kali ini, yaitu adanya kasus suap yang terjadi di FIFA. Ini yang membuat Qatar akhirnya dipilih menjadi tuan rumah penyelenggara. 

Kasus suap ini juga menyeret nama mantan Wakil Presiden FIFA, Jack Warner. Kasus ini juga memunculkan opini masyarakat, di mana masyarakat berpendapat bahwa Piala Dunia 2022 harus dipindahkan karena kasus suap tersebut.

Selain itu, yang membuat Piala Dunia 2022 ini menjadi semakin kontroversial adalah pihak Qatar melarang segala bentuk atribut seperti bendera LGBTQ+ karena dianggap mempromosikan. Menurut pihak Qatar, karena hal ini tidak sesuai dengan budaya mereka dan mereka melarang para pihak yang terlibat untuk menggunakan segala bentuk atribut LGBTQ+, seperti bendera atau pun arm band yang biasa digunakan oleh beberapa kapten tim nasional. Memang secara terbuka, Qatar masih melarang LGBTQ+ di negaranya, mereka pun memiliki hukum tersendiri untuk LGBTQ+.

Hal ini menuai banyak protes dari berbagai pihak terutama dari komunitas LGBTQ+. Salah satunya dari atltet Tom Daley, ia beranggapan bahwa “visibilitas sama dengan kebebasan”. Para pemain dari tim nasional Jerman pun melakukan protes pada pertandingan pertama mereka, dengan meletakkan tangan pada mulut mereka ketika berfoto. Ini menunjukkan solidaritas mereka pada kelompok LGBTQ+ karena mereka dilarang untuk menggunakan arm band “One Love” sebagai dukungan pada kelompok LGBTQ+.

Seabagai bagian bagian dari kelompok Queer, saya juga merasa sangat menyayangkan hal ini. Meskipun saya bukan fans yang setia-setia banget sama sepak bola, tetapi saya tidak pernah sekalipun melewatkan pertandingan Piala Dunia. Meskipun memang banyak kontroversi lainnya, tetapi menurut saya ajang ini juga bisa dimanfaatkan sebagai hiburan yang datangnya 4 tahunan sekali. 

Sekedar informasi, saya telah menonton pertandingan Piala Dunia sejak tahun 2002 atau 20 tahun yang lalu, ketika pertandingan final antara tim nasional Jerman vs Brasil. Sejak saat itu saya tidak pernah absen menonton pertandingan Piala Dunia dan tim nasional unggulan saya adalah Jerman.

Tetapi piala Dunia kali ini agak sedikit berbeda, ketika saya mengetahui bahwa segala atribut yang menyangkut LGBTQ+ dilarang oleh Qatar dan FIFA, sebagai yang punya acara seharusnya bisa mendesak Qatar untuk memperbolehkan hal tersebut setidaknya sampai gelaran Piala Dunia 2022 selesai. Karena jika mereka beralasan bahwa ini tidak sesuai dengan budaya mereka, seharusnya mereka juga paham bahwa ini Piala Dunia tidak hanya untuk publik Qatar saja, tetapi seluruh dunia, di mana saat ini sudah banyak pula negara yang terbuka dengan adanya komunitas LGBTQ+.

Hal ini membuat saya sebagai “penggemar musiman sepak bola” merasa kecewa dengan hal ini. Di sisi lain saya merasa semakin antusias dengan sepak bola karena sudah semakin banyak pemain atau atlet sepak bola yang terbuka dengan seksualitas mereka, tetapi dengan adanya hal semacam ini semakin membuat saya berpikir bahwa jalan masih panjang agar kelompok LGBTQ+ bisa diterima di dunia sepak bola yang terkenal dengan “fragile masculinity” nya. 

Tetapi saya mengacungi jempol untuk tim nasional Jerman yang sudah berusaha untuk tetap pada posisi mereka mendukung LGBTQ+ dengan pose menutup mulut yang mereka lakukan.

Dengan adanya hal ini membuat saya berpikir, bahwa saya tidak harus menyaksikan pertandingan tersebut sebagai bentuk protes terhadap apa yang dilakukan oleh FIFA dan Qatar terhadap kelompok LGBTQ+.  

Entah sampai kapan perjalanan panjang kelompok LGBTQ+ memeperjuangkan keamanan khususnya pada dunia olah raga akan berakhir. Jika kelompok LGBTQ+ masih belum mendapatkan tempat aman di publik, dunia ini juga bisa dikatakan jauh dari kata aman.

(Foto/ image: Freepik)

Vioranda Felani

Pemerhati feminisme yang suka menulis.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!