Selebrasi ‘Penis’ Kiper Argentina Dikritik Keras Publik dan Penggemarnya  

Kemenangan Argentina sebagai juara Piala Dunia 2022 patut dirayakan. Namun sayang, aksi Kiper Argentina Emiliano Martinez yang merayakan keberhasilannya meraih sarung tangan emas dengan meletakkan trofi di atas penisnya, menuai kritik tajam.

Aksi ini dilakukan kiper Argentina, Emiliano Martinez di atas panggung dengan disaksikan jutaan pasang mata warga dunia. 

Kiper yang menjadi bintang lapangan Argentina dalam Piala Dunia 2022 ini menjadikan ‘penis’ sebagai fan service, padahal nggak semua orang bisa menerima. 

Usai penyerahan penghargaan pada Emilio Martinez di Piala Dunia 2022 tersebut malah membuat Martinez mendapat sorotan negatif.

Hal ini karena Martinez merayakan keberhasilannya dengan meletakkan trofi yang diterima di atas penisnya. Parahnya, Martinez melakukan aksi ini di atas panggung dengan disaksikan jutaan pasang mata warga dunia.

Aksi ini menuai kritik karena dinilai menodai gelaran Piala Dunia 2022, juga prestasi dan permainan cemerlang yang ditampilkan Martinez. Martinez dinilai menganggap lebih meninggikan kelaki-lakiannya ketimbang permainannya di lapangan.

Atas tindakan Martinez ini, tidak sedikit penggemar dan wartawan sepakbola dunia mendesak FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia) untuk menjatuhkan sanksi/denda pada Martinez. Lebih jauh, FIFA didesak menarik kembali penghargaan Golden Glove yang diterimanya.

Sebelumnya, Martinez juga disorot karena ulahnya saat melakukan selebrasi dengan menari setelah pemain Prancis gagal mengeksekusi penalti. Ada yang menyebut ini sebagai psywar tetapi ada juga yang mengkritiknya sebagai kurang elok.

“Permainan yang dimainkan, kami tidak suka melihatnya,” kata mantan pemain Timnas Inggris, Roy Keane seperti dikutip dailymail.com.

Hal yang hampir dengan yang dilakukan Emilio Martinez juga pernah dilakukan musisi tanah air, Pamungkas beberapa waktu lalu. Saat itu Pamungkas menyentuhkan ponsel penggemar ke kemaluannya, usai melakukan swafoto bersama. Tindakan ini menuai kritik dari penggemar.

Dalam klarifikasinya, Pamungkas menyebut tindakannya tersebut merupakan fan service dan bagian dari aksi panggung. Tindakan ini menurutnya tak beda dengan foto bareng usai konser, video ucapan ulang tahun dan sejenisnya.

Tanggapan negatif yang muncul atas tindakan Martinez dan Pamungkas baik di media massa maupun media sosial menunjukkan, bahwa perbuatan ini tidak bisa diterima baik di dunia olahraga maupun di dunia hiburan.

Etika Merayakan Selebrasi dalam Sepak Bola

Dalam sepakbola, sebenarnya ada larangan untuk melakukan selebrasi dengan membuka baju, selain juga selebrasi yang merendahkan pihak lain. Dan bagi yang nekad melakukannya, bisa diganjar kartu kuning.

Di dunia hiburan yang cenderung lebih longgar juga tidak jauh berbeda. Bahwa ada aturan tidak tertulis yang ‘memagari’ artis untuk tidak melakukan hal-hal tertentu.

Apa yang dilakukan oleh Martinez dan Pamungkas ini bisa disebut sebagai phallocentrism atau menjadikan ‘penis’ sebagai pusat kehidupan sekaligus simbol kekuasaan maskulin.

Dalam teori feminis, phallocentrism adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pengistimewaan penis atau sifat maskulin yang meresap dalam sistem kehidupan saat ini. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh Ernest Jones, seorang psikoanalis Inggris, mengacu pada keutamaan phallus atau penis dalam teori Sigmund Freud.

Filsuf feminis Prancis Hélène Cixous menggunakan teknik dekonstruksi Derrida dalam penjelasannya tentang phallocentrism. Cixous menggemakan analisis Derrida tentang phallocentrism sebagai serangkaian oposisi hierarkis ganda, menunjukkan bahwa “perempuan” selalu dikaitkan dengan kepasifan, berfungsi sebagai orang lain yang lumpuh yang mengarahkan diri maskulin yang aktif.

Cixous menegaskan kebutuhan mendesak bagi para penulis dan ahli teori untuk meruntuhkan penggabungan logosentrisme dan phallocentrism, sebuah sistem yang menopang dirinya sendiri melalui subordinasi feminin. Meskipun phallocentrism terutama dan tampak menghambat subjektivitas perempuan.

Cixous menunjukkan bahwa kedua jenis kelamin dirugikan oleh ideologi kekerasan yang berpusat pada laki-laki. Menggunakan metafora mesin, Cixous menggambarkan phallocentrism sebagai musuh bagi laki-laki dan perempuan, meski dengan cara yang berbeda.

Di dalam phallocentrism, perempuan disubordinasikan dan ditentukan oleh kekurangan, sementara laki-laki “diberi nasib yang aneh dan tidak menyenangkan direduksi menjadi satu berhala dengan bola tanah liat” (1976[1975]: 884).

Sebagai sarana untuk menolak wacana phallocentrism, Cixous menawarkan gagasan écriture feminine, sebuah mode ekspresi yang menyuarakan suara feminin yang dibungkam.

Fan service yang cis hetero banget

Martinez dan Pamungkas menggunakan posisinya sebagai laki-laki cis hetero dan menggunakan sudut pandang dari posisinya tersebut. Merujuk tulisan Anita Dhewy di Konde.co, apa yang dilakukan Martinez dan Pamungkas bisa masuk dalam kategori fan service atau untuk ‘memuaskan penggemar.

Ada juga yang menilai apa yang dilakukan Martinez dan Pamungkas sebagai fan service yang cis hetero banget. Bagi penggemarnya—atau sebagian penggemarnya—yang kebanyakan perempuan yang mempunyai sudut pandang berbeda dalam memandang seksualitas tindakan menggesekkan ponsel atau tropi penghargaan ke alat kelamin tersebut bukanlah “service yang diinginkan” penggemar. Tindakan ini juga memicu pro dan kontra, ada yang melihatnya sebagai hal yang cabul, tapi ada pula yang memandangnya sebagai hal wajar. 

Poin penting yang pantas disorot dari kasus ini adalah bahwa fans sebenarnya memiliki power. Bahwa tindakan penggemar untuk bersuara dan mengambil sikap perlu didengar atau bahkan ditindaklanjuti.

Bahwa para ‘bintang’ baik di dunia hiburan maupun olahraga perlu mendengarkan suara penggemar. Dan, para penggemar punya standard dan penilaiannya masing-masing yang layak didengar dan dihormati. Tidak ada standar tunggal dalam setiap kegiatan dan lebih dari itu, ada etika tertentu yang harus diperhatikan .

Istilah fan service pertama kali dimunculkan oleh komunitas anime. Namun konsepnya sendiri bisa ditelusur jauh ke belakang mengingat konsep yang sama juga bisa digunakan pada media yang lain.

Fan service tidak terbatas pada anime dan manga, tetapi juga bisa ditemui pada film. Terlebih jika fan service dimaknai secara literal sebagai apapun yang dibuat dalam bentuk media untuk menyenangkan para penggemarnya.

Bart Beaty seperti dikutip Mimosa Wittenfelt misalnya menggambarkan fan service dalam Marvel Cinematic Universe sebagai tautan referensi diri dan intertekstual ke dalam semesta fiksi yang lebih luas dalam bentuk apa yang disebut sebagai Easter eggs dan adegan cameo dari Stan Lee—pendiri Marvel Comics—yang hanya akan dikenali dan diapresiasi oleh penggemar yang mengikuti film tersebut dengan intens.

Merujuk pada Anime News Network, fan service adalah tindakan menambahkan sesuatu yang tidak memiliki relevansi langsung dengan cerita atau pengembangan karakter ke dalam anime (atau manga) untuk tujuan menyenangkan penggemar.

Bentuk fan service yang paling umum adalah penambahan adegan perempuan yang berpakaian minim, berpose menggoda, memiliki payudara yang besar, atau hal-hal serupa. Biasanya fan service dikaitkan dengan karakter perempuan, karena kebanyakan penulis adalah laki-laki. 

Namun fan service dengan melibatkan karakter laki-laki juga ada. Ini dapat dijumpai pada anime, terutama manga yang ditujukan untuk pembaca perempuan. Meskipun bisa dikatakan seksualisasinya cenderung berbeda, namun menggunakan seks atau situasi seksual dalam anime terus mengundang kritik dan memunculkan perdebatan.

Namun fan service tidak melulu bersifat seksual. Bentuk lain dari fan service misalnya dapat dilihat pada anime yang bertema mecha yang menampilkan adegan transformasi robot raksasa yang menggelegar yang dapat memuaskan penonton.

Hal serupa dapat ditemui pada seri magical Girls yang memperlihatkan adegan transformasi para tokohnya dengan menggunakan kekuatan sihir untuk berubah menjadi magical girls.

Dalam perkembangannya fan service juga dikenal luas dalam dunia K-Pop. CXO Media menulis fan service adalah sebuah perilaku artis atau idol dengan cara memberikan berbagai interaksi yang sangat membekas bagi para fans atau penggemarnya.

Pada dasarnya para idol memberikan fan service untuk menjalin kedekatan dan relasi timbal balik dengan para fans karena mereka menyadari penggemar memiliki peran besar dalam mendukung karir dan kesuksesan mereka.

Di industri musik Korea, para artis berinteraksi secara aktif dengan penggemar mereka. Selain konser berskala besar, para idol K-Pop kerap mengadakan fan meeting atau fan signing, melakukan live streaming, atau menyediakan layanan seperti pengiriman pesan di aplikasi berbayar untuk para penggemar.

Dalam momen-momen tersebut, idol biasanya memberi kesempatan pada penggemarnya untuk berjabat tangan, menyentuh wajah idol atau bagian tubuh yang lain, mendengarkan cerita fans, berfoto bersama, bahkan memberikan pelukan.

Meskipun fan service bertujuan untuk menyenangkan penggemar, tetapi ada batasan yang perlu dijaga baik oleh penggemar maupun artis. Untuk itu persetujuan atau consent menjadi hal yang penting sehingga aktivitas fan service ini dilakukan tanpa ada paksaan, tekanan, manipulasi, dan dalam kondisi sadar. Persetujuan ini juga mencakup satu tindakan yang spesifik. 

Untuk tindakan yang lain dibutuhkan persetujuan ulang. Tidak menutup kemungkinan juga seandainya persetujuan ini dibatalkan. Persetujuan ini sesederhana ketika kita meminjam barang seseorang, kita perlu meminta izin dan kesediaan dari orang tersebut.

Pada aktivitas fan service yang mencakup skinship seperti misalnya berpelukan, persetujuan ini menjadi sangat penting. Meskipun pada dasarnya persetujuan mencakup semua aktivitas. Dengan begitu fan service ini tidak merugikan atau memberikan dampak buruk bagi salah satu atau kedua belah pihak.

Berkaca pada penggemar K-pop, mereka terkenal dengan kemampuannya mengorganisir dan melakukan protes untuk melindungi dan mempromosikan idola mereka. 

Seperti pengamatan Yena Lee, dalam perkembangannya aktivisme penggemar K-pop yang awalnya lebih berorientasi pada acara promosi kemudian bergeser menjadi aktivisme seperti gerakan hashtag feminis yang berpusat bukan pada idola, tetapi agensi penggemar dan agenda mereka untuk memajukan produksi dan konsumsi teks idol K-pop yang benar secara politis.

(Sumber Gambar: Speed News TV)

Esti Utami dan Anita Dhewy

Jurnalis di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!