The Voice: Sering Diabaikan, Perempuan Punya Cara Merawat Lingkungan Yang Feminis

Para perempuan memperjuangkan kedaulatan pangan untuk kepentingan masyarakat luas. Perjuangan ini merupakan bagian dari agenda feminis dan harus menjadi agenda bersama gerakan perempuan dan gerakan sosial lainnya.

Konde.co menghadirkan “The Voice” yaitu edisi khusus para aktivis perempuan menuliskan refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Di berbagai wilayah dimana masyarakat berjuang mempertahankan lahan, pesisir, dan ruang hidup mereka, selalu ada perempuan di jantung perjuangan tersebut. Seperti perempuan adat Danau Poso yang bergotong-royong menjaga kelestarian danau dan lingkungan hidupnya.

Wadon Wadas yang teguh mempertahankan bukit Wadas dan melawan pengerukan batuan andesit yang merusak lingkungan. Perempuan yang tinggal di sekitar hutan di Parigi Moutong, Bengkulu, dan Aceh yang menjaga hutan dari para penebang liar dan secara turun-temurun mempraktikkan pengetahuan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan.[1]

Tidak hanya pada saat terjadi konflik, tetapi banyak juga inisiatif perempuan yang dibuat untuk merawat pengetahuan dan menjaga kelestarian alam dan keberlanjutannya. Ini tidak terlepas dari kemelekatan perempuan dengan alam, termasuk di dalamnya sumber pangan dan sumber-sumber agraria lainnya baik itu lahan, hutan, pesisir, maupun laut.

Oleh peran gendernya, perempuan diposisikan sebagai penyedia pangan, mulai dari produsen sampai pangan tersebut tersedia bagi keluarganya. Ini menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan dan beban yang berlapis ketika terjadi krisis pangan ataupun persoalan terkait pangan lainnya.

Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat perempuan memproduksi 60-80% pangan di mayoritas negara-negara berkembang, serta menanggung setengah dari produksi pangan dunia. Selain itu, Action Group on Erosion, Technology and Concentration (ETC) dalam risetnya menemukan bahwa jejaring pangan petani kecil menyediakan pangan bagi lebih dari 70% orang di dunia.[2]

Namun, besarnya peran penting perempuan dan petani skala kecil, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan perlindungan perempuan. Terdapat berbagai persoalan ketimpangan hingga ancaman terhadap hak perempuan atas pangan, khususnya perempuan produsen pangan skala kecil.

Ketimpangan Kepemilikan dan Penguasaan Lahan

Data Solidaritas Perempuan menunjukkan ketimpangan kepemilikan dan/atau penguasaan tanah antara perempuan dan laki-laki.[3] Di desa Barati, Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, penguasaan tanah didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 90:10. Situasi serupa juga terjadi di Desa Seri Bandung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, di mana surat keterangan hak usaha atas tanah atas nama perempuan hanya 15,7% sedangkan atas nama laki-laki 84,3%. 

Sementara FAO dalam bookletnya yang berjudul The Gender Gap in Land Rights, menyampaikan bahwa secara global, kepemilikan tanah oleh perempuan adalah kurang dari 15%[4]. Ketimpangan ini tentunya merupakan hasil dari budaya patriarki dengan konstruksi gendernya yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan tidak dilihat sebagai pihak yang berkepentingan atas tanah.

Sayangnya perspektif patriarkis yang demikian juga dilegitimasi oleh negara yang sangat minim dalam memberikan pengakuan terhadap posisi dan peran penting perempuan termasuk dalam hal pengelolaan pangan. Dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, subjek pemegang hak atas pangan dilihat homogen, laki-laki dan perempuan, dianggap sama. Padahal dalam Kovenan Hak-Hak Ekosob dan CEDAW telah secara jelas ditegaskan mengenai situasi khusus perempuan yang perlu dipertimbangkan dalam upaya realisasi progresif untuk hak atas pangan.[5]

Selain itu, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, perempuan disebutkan sebagai perempuan dalam rumah tangga nelayan. UU ini tidak memberikan pengakuan tegas terhadap perempuan sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Pada implementasinya pengakuan identitas perempuan sebagai nelayan masih sulit didapatkan, yang mempengaruhi peluang perempuan nelayan untuk terlibat dan mendapatkan manfaat dari program-program perlindungan dan pemberdayaan.

Paradigma Pangan Sebagai Komoditas Singkirkan Peran Perempuan

Selain ketimpangan dalam kepemilikan dan penguasaan lahan, perempuan juga berhadapan dengan persoalan-persoalan struktural. Paradigma negara melihat pangan sebagai komoditas menyebabkan berbagai kebijakan dan program-program terkait pangan lebih berorientasi pada industri pangan.

Pemerintah bertumpu pada kepentingan investasi sehingga mengejar produksi pangan secara masif, termasuk dengan memfasilitasi korporasi pangan yang turut mendorong kebijakan penyeragaman benih, penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Industri pangan seperti ini menyingkirkan pola pertanian tradisional yang lebih subsisten dan berorientasi pada kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Pada akhirnya, ini juga menyingkirkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam pengelolaan pangan yang selama ini dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun.

Solidaritas Perempuan mencatat bahwa pengelolaan pangan yang subsisten dan lestari terbukti telah mendukung daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis termasuk pandemi Covid-19.[6] Namun pemerintah justru menghadirkan proyek yang tidak dibutuhkan masyarakat dengan dalih mengatasi dampak pandemi.

Food Estate yang digadang-gadang sebagai solusi krisis pangan nyatanya mengancam lahan pertanian produktif warga dan keberagaman pangan. Food Estate sesungguhnya merupakan proyek pangan monokultur skala besar untuk memenuhi komoditas perusahaan-perusahaan industri pangan.

Pandemi juga dijadikan salah satu alasan negara guna memuluskan UU Omnibus Law Cipta Kerja dengan dalih untuk bangkit dari kelesuan ekonomi yang terjadi akibat pandemi. Kebijakan ini menjadi ancaman bagi perempuan produsen pangan, melalui kemudahan investasi, dan dikesampingkannya persetujuan perempuan dan masyarakat.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam catatan akhir tahunnya melaporkan bahwa Sepanjang 2021, ada 207 konflik agraria bersifat struktural tersebar di 32 provinsi dengan 507 desa dan kota, termasuk konflik yang diakibatkan oleh Proyek Strategis Nasional.[7]

Kebijakan negara, seperti UU Minerba, maupun Omnibus Law Cipta Kerja akan menyebabkan konflik agraria semakin masif dan mengancam sumber pangan perempuan hingga menghasilkan lapisan ketidakadilan serta kerentanan perempuan terhadap kekerasan.

Lokasi proyek MNP merupakan lokasi yang sangat strategis bagi ekosistem laut dan biota di dalamnya, seperti kerang, berbagai jenis ikan yang merupakan sumber mata pencaharian bagi para nelayan. Nelayan kehilangan wilayah tangkapnya, sehingga penghasilan keluarga menurun dan perempuan yang biasanya turut mencari kanjappang (sejenis kerang) semakin kesulitan karena wilayah pesisirnya tercemar akibat reklamasi untuk pembangunan Makassar New Port.[8] 

Pembangunan yang demikian, akan merampas ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan. Selain itu juga akan menghasilkan kerusakan lingkungan maupun krisis dan bahkan bencana iklim. 

Kerusakan lingkungan, perampasan ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan tidak hanya merampas pangan dan tempat tinggal, tetapi juga menghancurkan pengetahuan perempuan. Peran perempuan dalam sosial budaya yang sering kali terkait erat dengan upaya menjaga nilai persatuan, gotong royong, keberagaman, hingga menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan juga ikut hancur. Secara tidak langsung, ini akan menghilangkan peran signifikan tersebut dan berdampak makin tidak diakuinya peran dan posisi penting perempuan.

Di tengah berbagai persoalan yang diungkapkan di atas, Solidaritas Perempuan menyaksikan bagaimana perempuan-perempuan di komunitas terus bergeliat dan menciptakan berbagai inisiatif untuk mempertahankan serta memperjuangkan ruang hidup dan sumber-sumber kehidupannya.

Advokasi untuk me-reclaim tanah mereka, pendokumentasian sejarah kasus, kebun kolektif untuk mempertahankan tanah, mendorong kebijakan, mengonsolidasikan warga pesisir dan masyarakat, hingga membangun ekonomi solidaritas menjadi cara-cara perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka alami.[9]

Kepentingan perempuan produsen pangan sesungguhnya adalah demi kedaulatan pangan dan untuk kepentingan masyarakat luas yang berhak atas pangan dan nutrisi. Karenanya, perjuangan-perjuangan yang dilakukan perempuan tentunya merupakan bagian dari agenda feminis dan patut menjadi agenda bersama gerakan perempuan dan gerakan sosial lainnya.

Kepentingan perempuan di dalam perjuangan tersebut perlu menjadi kepentingan bersama bagi gerakan yang lebih luas. Selain itu perlu memastikan agar gerakan menjadi ruang aman bagi perempuan dan perempuan dapat menerima manfaat dari hasil perjuangan yang dilakukan.

* Tulisan ini berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan dalam melakukan penguatan dan advokasi hak-hak perempuan akar rumput.

[1] Catatan Solidaritas Perempuan, 2022

[2] https://www.etcgroup.org/content/win-copy-game-disruption-battle-future-food

[3] Pada tahun 2015-2016 SP melakukan penelitian dengan metode Feminist Participatory Action Research (FPAR) yang melibatkan perempuan akar rumput sebagai peneliti untuk menggali data kepemilikan tanah di desa mereka.

[4] FAO: The gender gap in land rights, 2018, https://www.fao.org/3/I8796EN/i8796en.pdf

[5] Solidaritas Perempuan, Buku Laporan Realisasi Hak Perempuan atas Pangan, 2018

[6] Catatan Solidaritas Perempuan 2020

[7] Pernyataan KPA dimuat oleh Mongabay, dalam artikel berjudul Konflik Agraria Tak Jua Reda, 25 Januari 2022, https://www.mongabay.co.id/2022/01/25/konflik-agraria-tak-jua-reda/

[8] Data SP Anging Mammiri, Sulawesi Selatan, sebagaimana dimuat di dalam Solidaritas Perempuan, Catatan Akhir Tahun Advokasi Kasus 2020, https://drive.google.com/file/d/1q0ZHOjvGy0Q296bIQfD-YZtgwpM3F7ng/view

[9] Bacaan lebih lanjut: BAB Perempuan di Jantung Perjuangan, Catatan Akhir Advokasi Kasus Solidaritas Perempuan 2020, https://drive.google.com/file/d/1q0ZHOjvGy0Q296bIQfD-YZtgwpM3F7ng/view

Dinda Nuur Annisaa Yura

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, sebuah organisasi feminis yang bergerak bersama perempuan akar rumput untuk memperjuangkan keadilan dan kedaulatan perempuan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!