Benarkah Laki-laki Lebih Tegas dan Perempuan Lebih Bertele-tele Dalam Berkomunikasi? Itu Mitos 

Identifikasi perempuan sebagai orang yang bertele-tele jika bicara, tidak tegas, sedangkan laki-laki lebih tegas jika bicara, adalah konstruksi bahasa yang kemudian meminggirkan perempuan. Padahal itu semua hanya mitos!

Dalam budaya patriarki, masyarakat menganggap perempuan itu paling suka ngomong dan membuang-buang waktu karena cara berbicara perempuan itu selalu panjang lebar, berbelit dan tidak terus terang. Sedangkan laki-laki dianggap sedikit berbicara dan menyampaikan pesan secara to the point

Perbedaan gaya komunikasi tersebut menciptakan persepsi, jika ada seorang laki-laki terlalu banyak bicara, maka akan dihina dan dicap sama seperti perempuan. Dalam arti, agar terlihat maskulin, seorang laki-laki harus berbicara dengan suara yang lantang dan tegas, bahkan penggunaan kata-kata kasar tidak menjadi masalah karena itu justru menunjukkan ketegasan. 

Namun, perempuan tidak diperbolehkan berkomunikasi seperti gaya bahasa seorang laki-laki karena dianggap tidak sopan. Perempuan harus berkomunikasi dengan bahasa feminin yang tutur katanya halus dan tidak menggunakan kata kasar. Jika tidak berbicara dengan bahasa feminin, mereka akan dihina dan dianggap tomboy karena bersikap maskulin.

Perbedaan gaya bahasa dan stereotip masyarakat yang seperti itu menjadi noise serta tantangan komunikasi sejak dulu hingga saat ini. Pasalnya, banyak orang yang kemudian memunculkan sikap diskriminasi terhadap perempuan, dimana para laki-laki menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi untuk menekan perempuan. Selain itu, komunikasi seperti ini juga merendahkan martabat perempuan karena setiap perkataannya dianggap tidak memiliki kekuatan, sedangkan setiap kata yang keluar dari laki-laki memiliki kekuatan dan pengaruhnya. 

Posisi laki-laki yang dianggap lebih superior dalam hal komunikasi di masyarakat menyebabkan cara penyampaian pesan yang berbeda dengan perempuan, dimana laki-laki bisa lebih bebas sedangkan perempuan harus bisa menyesuaikan bahasa mereka saat berkomunikasi dengan lingkungan mereka antara lingkup umum maupun urusan pribadi. 

Tidak hanya itu, karakteristik perempuan yang dinilai lebih sensitif terhadap kata-kata dibandingkan laki-laki yang lebih acuh tak acuh terhadap kalimat yang dilontarkan juga menjadi faktor adanya hambatan komunikasi antar kedua gender. Laki-laki cenderung menganggap perempuan tidak bisa bercanda, karena mereka melihat sesosok perempuan sebagai makhluk hidup yang fragile, tidak stabil, dan cenderung lebih mudah menangis. 

Padahal, di zaman sekarang dengan adanya kesetaraan gender yang lebih baik, perempuan juga bisa menjadi seorang figur teladan dalam masyarakat, yang bisa maju sebagai representative semua khalayak. Didukung dengan gerakan feminist yang tengah diperjuangkan dalam masyarakat untuk meningkatkan martabat perempuan, memungkinkan adanya tantangan komunikasi dalam perbedaan gender tersebut berkurang atau bahkan hilang.

Konstruksi Bahasa Dalam Masyarakat Yang Mendiskriminasi

Dapat kita simpulkan bahwa konstruksi yang terjadi di masyarakat tentang cara berkomunikasi saja bisa menyebabkan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki. 

Padahal bahasa merupakan sebuah media komunikasi yang tak terbatas antar manusia. Komunikasi yang baik adalah komunikasi antar pribadi yang bebas, terbuka tanpa terbatas apapun, seperti halnya budaya, latar belakang, gender, dll. 

Perbedaan dalam cara berbahasa atau berkomunikasi antara perempuan dan laki-laki nyatanya telah dikonstruksi oleh masyarakat, sehingga menciptakan komunikasi yang tak lagi sederajat. Di mana, cara berkomunikasi yang feminin hanya untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal ini terkadang menciptakan komunikasi yang bersifat patriarki dan mendiskriminasikan perempuan dalam hal berbahasa, serta berkomunikasi. Serta memunculkan mindset dalam masyarakat, bahwa laki-laki lebih dominan daripada perempuan.

Konsep komunikasi antara perempuan dan laki-laki itu sendiri memiliki kemiripan dengan komunikasi antar budaya, karena di dalamnya seperti ada dua orang dari negara yang berbeda saling berkomunikasi dengan bahasa yang saling berlawanan. 

Budaya patriarki yang mempengaruhi dalam relasi berkomunikasi ini membatasi perempuan untuk berkomunikasi secara bebas. Seolah-olah perempuan tidak mendapatkan hak yang bebas untuk bersuara. Di mana seharusnya perbedaan gender tidak menjadi sebuah halangan untuk berkomunikasi secara bebas, karena perempuan dapat berkomunikasi dengan caranya sendiri begitu pula dengan laki-laki yang tentu memiliki caranya sendiri. 

Perbedaan ini seharusnya bukan menjadi sebuah halangan untuk berkomunikasi secara sehat dan bebas akan tetapi justru memberikan pengertian yang mendalam untuk saling memahami diatas dasar sesama manusia. 

Komunikasi harus menciptakan mutual understanding antara laki-laki dan perempuan. Dengan begitu akan menambah pemahaman dan pengertian kita satu sama lain sehingga kesetaraan gender pun dapat terbentuk melalui komunikasi.

Anggeli Shinta Novitasari

Mahasiswa semester tiga Ilmu Komunikasi, Binus University, yang sangat tertarik dengan isu feminism.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!