Da’i Itu Harusnya Menyejukkan Bukan Memprovokasi

Perspektif kemanusiaan dibutuhkan oleh seorang da'i untuk menyebarkan kedamaian di tengah masyarakat bukannya provokasi yang menimbulkan sikap perpecahan dan saling merendahkan.

Konde.co sempat mencatat, bahwa konservatisme Islam telah menjadi arus utama di Indonesia, terutama dalam konteks politisasi dan menjelang pemilihan presiden 2024. Salah satu manifestasi yang paling terlihat dari kecenderungan ini adalah tren meningkatnya pemakaian jilbab. Tren ini sudah berlangsung cukup lama, dimulai sejak awal era Reformasi.

Pada 21 Juli, Human Rights Watch (HRW) membuat laporan kedua jilbabisasi paksa dengan topik: “Perempuan Indonesia angkat bicara tentang aturan berpakaian: Anak sekolah, pegawai negeri sipil menderita di bawah peraturan wajib memakai  jilbab”. 

Laporan pertama dirilis tahun lalu pada 18 Maret. Praktik  jilbabisasi paksa itu terus saja berlangsung meski sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri, dikeluarkan pada 3 Februari 2021 lalu, melarang sekolah dan pemimpin lokal untuk mewajibkan pakaian Islami. SKB tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama.

Ustadzah Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengungkap hingga saat ini belum ada rumusan soal penyintas pemaksaan berjilbab secara khusus meskipun kasus pemaksaan berjilbab sudah mulai menggunung di Indonesia.

”Belum ada penyebutan penyintas pemaksaan berjilbab, hingga saat ini baru ada kekerasan seksual atau penyintas kekerasan fisik,” ungkapnya kepada Konde.co, Selasa (29/11).

Soal jilbab sebagai cara berbusana Muslimah, Nur Rofiah juga mengungkap, KUPI hingga saat ini belum membahas semua isu perempuan tapi prinsip dasar berbusana.

”Prinsip dasar berbusana adalah taqwa yaitu membuat diri dan pihak lain terjaga komitmen untuk menghamba kepada Allah dan tergerak berbuat kebajikan untuk diri sendiri sekaligus pihak lain,” ungkap Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) ini.

Terkait dengan penyampai atau Da’i soal akidah Islam, kekinian, Nur Rofiah menuturkan, sebaiknya Da’i memberikan perspektif kemanusiaan.

”Tugas saya sebagai dosen, mengajarkan kepada mahasiswa di PTIQ yang merupakan tokoh dan calon tokoh agama, jaringan KUPI selalu membawa perspektif kemanunusiaan penuh perempuan di lingkungan masing-masing,” jelasnya.

Beberapa oknum da’i bahkan menggunakan perumpamaan “permen” yang ditutup dan yang dibuka untuk meyakinkan perempuan agar berjilbab, dikatakan Nur Ropiah dirinya tidak setuju dengan perumpamaan yang menyamakan perempuan dengan benda apalagi makanan.

”Tentu tidak bisa disamakan dengan benda begitu saja, Da’i menyampaikan wajib berpakaian yang mencerminkan ketaqwaan, soal cara bisa negosiasi tapi apapun pilihannya harus ada spirit taqwa,” katanya. 

Nur Rofiah menyebut Da’I yang menggunakan perumpamaan perempuan dengan bungkus permen masih di titik berangkat. Istilah ini menurutnya merujuk pada titik paling awal.

“Tapi kita optimis ada proses yang harus dilalui untuk mencapai tujuan menciptakan islam yang rahmatan lil alamin, saya menyebutnya sebagai, Titik berangkat, target antara, dan tujuan final,” ujarnya.

Terkait dengan cara mendidik agama bagi muslim dan Muslimah, menurut Nur Rofiah cita-cita Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat (anugerah) bagi semesta. 

“Sistem ini hanya mungkin terwujud jika manusia yang mengemban amanah sebagai Khalifah fil Ardh mempunyai akhlak yang mulia sehingga seluruh ajaran Islam juga bermaksud menyempurnakan akhlak mulia manusia. Dengan demikian mempunyai perbedaan penting sistem yang zalim (tidak adil),” jelas dia.

“Menjadikan al-Qur’an sebagai legitimasi atas kezaliman pada perempuan yang sesungguhnya juga menjadi musuh Islam sebagaimana kezaliman lainnya,” tulis Nur Rofiah.

Terkait pemaksaan berhijab, Nur Rofiah menilai itu sebuah hal yang memprihatinkan.

”Pemaksaan dalam hal apapun memang tidak menyenangkan, saya berdoa bagi siapapun yang terluka akibat pemaksaan berjilbab bisa segera terobati luka batinnya,” pungkasnya.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!