Femisida Ada di Sekitar Kita: 5 Perempuan Dibunuh Tiap Jam

Pembunuhan berbasis gender terhadap mantan aktivis Walhi, Ang, semakin memberikan fakta bahwa femisida atau pembunuhan terhadap perempuan banyak terjadi di sekitar kita.

Pembunuhan atau mutilasi yang dilakukan Ecky Listiantho terhadap mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Ang, yang baru terkuak Januari 2023 begitu membuka mata bahwa pembunuhan terhadap perempuan berbasis gender atau femisida itu banyak terjadi di sekitar kita. 

Ang, telah hilang sejak 24 Juni 2019 atau hampir 4 tahun yang lalu, keluarganya mencari kemana-mana, sampai kemudian jenazahnya yang sudah dimutilasi ditemukan di rumah pelaku. Ang diduga punya hubungan personal dengan pelaku, Ecky.

Data menunjukkan, setiap jam, sebanyak 5 perempuan dibunuh oleh orang terdekatnya.

Data itu diungkapkan oleh UN Women dan United Nation Office on Drugs and Crime pada tahun 2021, bahwa sebanyak 81.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh karena identitasnya sebagai perempuan. 

Di Indonesia, hasil analisa Komnas Perempuan dari penelusuran kata kunci ‘pembunuhan perempuan’, ‘penganiayaan terhadap istri’ pada putusan pengadilan dan pantauan media, dari 100 putusan pengadilan dalam kurun waktu 7 tahun ini, menunjukkan realita serupa. 

Perempuan banyak yang menjadi korban pembunuhan. Yaitu, sebesar 83 persen berakhir dengan meninggalnya istri di tangan suami. Sementara dari pantauan media, jumlahnya lebih besar dalam setahun ada 307 kasus pembunuhan suami terhadap istri.

Fakta itu menguatkan kondisi bahwa femisida itu nyata. Namun, seringkali istilah femisida tak banyak dikenali. Dampaknya bukan saja pada pencatatan kasus yang tidak komprehensif, tapi juga terhambatnya upaya pencegahan, penanganan hingga pemulihan.

Definisi Femisida Yang Tidak Dikenali

Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan dalam pembukaan Peluncuran Pengetahuan Femisida: Lenyap Dalam Senyap: Korban Femisida dan Keluarganya Berhak Atas Keadilan menyebutkan sekurang-kurangnya dalam satu minggu ada satu berita tentang terbunuhnya perempuan. 

Komnas perempuan mengangkat isu femisida karena ingin menegaskan bahwa femisida adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrim yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung karena gendernya sebagai perempuan. 

Definisi femisida yang dirumuskan Komnas Perempuan yaitu: pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini serta rasa pelaku memiliki perempuan dan ketimpangan-ketimpangan relasi kuasa lain yang hadir. 

“Pada banyak kasus yang kita temui juga sangat tampak kepuasan sadistik yang diarahkan oleh pelaku terhadap korban. Karenanya ketika femisida terjadi tidak jarang ditemukan penganiayaan yang berat,” ujar Andy dalam acara Peluncuran Pengetahuan Femisida: Lenyap Dalam Senyap Korban Femisida dan Keluarganya Berhak atas Keadilan, Senin, (28/11/22).

Maka dari itu, Komnas Perempuan memandang perlu untuk menelisik urusan femisida ini lebih dalam. Di Indonesia, kata femisida memang tak dipungkiri belum banyak digunakan atau dikenali. Sehingga mengakibatkan upaya pencegahan dan penanganan kasusnya masih sangat terbatas. 

“Misalnya data pilah pembunuhan berdasarkan jenis kelamin belum tersedia baik di POLRI maupun di BPS, padahal basis data ini penting untuk mendorong penanganan yang lebih baik ke depannya,” lanjutnya. 

Guna mengenalkan femisida, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy M. Hutabarat lantas menjelaskan unsur-unsur femisida.

Dia mengutip unsur-unsur umum dalam konsep femisida menurut pakar, WHO, pelapor khusus PBB, UN Women setidaknya ada lima hal. Di antaranya, pembunuhan berbasis gender (intensional) yaitu ketika terdapat semua aspek kekerasan terhadap perempuan (dominasi, hegemoni, serangan atas tubuh, penyiksaan)

Selanjutnya, femisida ada unsur langsung dan tak langsung. Disengaja dan disertai kekerasan lainnya, kekerasan paling ekstrim dan terdapat nuansa politik patriarki. 

“Unsur-unsur diidentifikasi untuk menggambarkan bahwa ketika seorang perempuan dibunuh, ia tidak hanya menjadi korban kejahatan umumnya, melainkan korban dari kondisi tidak adil yang melatari kejahatan tersebut,” imbuhnya. 

Dia melanjutkan, Deklarasi Wina 2012, kondisi dan faktor yang melatari femisida bisa terjadi akibat dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan, pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas dasar menjaga kehormatan, hingga pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik sosial bersenjata dan perang. 

Ada pula femisida bisa saja terjadi karena pembunuhan terkait mahar, akibat dari orientasi seksual dan identitas gender, pembunuhan terhadap perempuan masyarakat adat, pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin, pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan, tuduhan sihir dan femisida terkait dengan kejahatan terorganisir dan sejenisnya

Potret Femisida di Indonesia 

Komnas Perempuan mengungkapkan, berdasarkan cara membunuh pada kasus femisida intim, perempuan korban mengalami lapisan penganiayaan yang ekstrim, bahkan ketika korban telah meninggal dunia. Motif yang paling banyak muncul dalam kasus femisida intim di Indonesia adalah kecemburuan suami kepada korban. 

Hal ini merupakan kecenderungan laki-laki untuk mengontrol tubuh dan hidup perempuan yang mereka pandang sebagai objek, bukan manusia yang berdaulat, yang mana perlakuan tersebut sering dijustifikasi melalui gagasan yang bernama ‘cinta’.

Produk hukum di Indonesia belum mengenal istilah femisida sehingga pasal yang digunakan adalah UU PKDRT dan KUHP Pasal 338 dan Pasal 340. 

Minimnya pemahaman soal istilah femisida itu, selaras dengan pernyataan Hakim Agung, Desnayeti, yang mengatakan bahwa di Mahkamah Agung pun saat ini belum ada dirinci mengenai femisida.

“Yang selama ini diperhatikan hanya perihal hukuman bagi pelaku kejahatan, tapi tidak ada yang memperhatikan bagaimana nasib korban dan keluarganya,” tambah Desnayeti. 

Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Pol Ciceu Cahyati Dwimeilawati pun menyampaikan, femisida merupakan istilah baru dalam hukum Indonesia sehingga perlu disosialisasikan secara terus menerus kepada semua unsur baik Kementerian dan Lembaga, akademisi, pakar, pengada layanan, dan masyarakat luas. 

“Menindaklanjuti rekomendasi Komnas Perempuan dari aspek substansi hukum, femisida menjadi perlu dimasukkan dalam RUU, KUHP pada saat harmonisasi,” kata dia. 

Perihal istilah femisida yang masih belum dikenali oleh masyarakat luas ini Niken Savitri, Pengajar Hukum Pidana UNPAR, mendorong agar produk pengetahuan femisida berupa buku yang diluncurkan oleh Komnas Perempuan ini, diharapkan dapat menjadi referensi perkuliahan, dengan beberapa penambahan agar pembaca awam dapat memahami apa itu femisida.

“Upaya pemahaman soal femisida harus dimulai dari hal paling mendasar. Dimulai dengan pertanyaan apakah setiap pembunuhan perempuan adalah femisida? Misal ditemukan kasus pembunuhan dengan motif awal masalah ekonomi, maka perlu dilihat sejarahnya apakah ada kekerasan berulang pada faktor ekonomi, melihat perempuan sebagai seorang yang bisa diatur dan diberi tanggung jawab tertentu sehingga terjadi femisida,” jelasnya. 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dirinya menyebut, harus diberikan kategori femisida dan contoh-contohnya agar masyarakat memahami.

Pentingnya Pendataan, Pemilahan, dan Pencegahan Kasus Femisida

Sebelumnya, Komnas Perempuan diketahui telah menerbitkan kajian awal mengenai ragam femisida. Saat ini, Komnas Perempuan mengerucutkan fokus femisida pada pasangan intim, karena masih tingginya KDRT dari banyaknya laporan yang masuk. 

Kepala Program UN Women Indonesia, Dwi Faiz, menyebutkan pengumpulan data femisida sangat mendesak dilakukan untuk melihat pola, korban dapat dihitung untuk memastikan pelaku bertanggungjawab dan keluarga korban mendapat keadilan.

Buku yang diluncurkan Komnas Perempuan ini setidaknya membantu upaya perumusan instrumen terkait dengan pendataan, pemilahan, dan pencegahan kasus femisida intim di Indonesia. Instrumen tersebut terkait pendataan dan pencegahan femisida yang ditujukan kepada korban saat melaporkan KDRT, Kepolisian saat menerima laporan, dan pengadalayanan serta dinas terkait saat menangani kasus femisida.

“Hal ini untuk mencegah femisida dengan mengenali kerentanan-kerentanan yang perempuan alami sejak dini,” katanya.  

Sebab apabila dibiarkan, dia menambahkan, KDRT dapat berpotensi menjadi femisida. 

Berdasarkan hasil penelitian ini, Komnas Perempuan juga merumuskan kebijakan-kebijakan diantaranya berbentuk aspek hukum yang berfokus pada pengintegrasian motif kebencian terhadap perempuan, juga mempertimbangkan untuk memperberat menjatuhkan hukuman pidana, selain itu pendorongan aspek hak pemulihan, pendataan dan harmonisasi peraturan perlu dilakukan. 

“Perlunya pendataan pilah berdasarkan gender, dan memasukkan isu femisida dalam pendidikan hukum,” ujarnya. 

Rekomendasi selanjutnya adalah budaya hukum yang fokus pada pendidikan publik, tafsir keagamaan yang moderat dalam relasi rumah tangga dan penguatan sistem sosial. Pada aspek pemulihan, harus fokus pada perempuan korban berbasis hak, multidimensi, berbasis komunitas dan berkesinambungan. 

Terakhir pada aspek pendataan yaitu perlunya penyusunan langkah-langkah pencegahan dengan pemilahan data femisida, pendataan dampak keluarga dan membangun sinergi antar lembaga dan kementerian dalam pendataan femisida di Indonesia. 

“Dengan kajian femisida, semakin diyakinkan bahwa femisida adalah puncak kekerasan terhadap perempuan, belajar dari negara-negara kajian femisida menjadi pondasi untuk membangun kebijakan perkembangan produk hukum Indonesia,” lanjutnya. 

Berdasarkan penelitian Komnas Perempuan, terkait definisi femisida dalam hukum hanya tiga negara yang memiliki definisi femisida dalam hukum mereka yaitu Guatemala, Nikaragua, dan Meksiko. 

Pada aspek kesadaran tentang femisida, pengakuan dan peraturan hukum perlu hadir bersamaan dalam rangka mencegah femisida juga untuk mencapai keadilan bagi korban. 

Sementara kaitannya dengan aspek kebijakan pemulihan, negara-negara kajian Komnas Perempuan telah memberikan kompensasi, pendampingan psikologis kepada keluarga korban femisida. 

“Terakhir terkait kebijakan pencegahan, sejumlah negara membangun upaya kesadaran publik melalui sosialisasi dan edukasi di sekolah, membuat skema kasus terhadap perempuan dan KDRT, serta menyediakan layanan psikologis dan ruang aman,” ujarnya. 

Hakim Agung Desnayeti menambahkan, secara fisik istri atau perempuan berada di pihak yang lemah, oleh karena itu rentan menjadi korban dalam rumah tangga. Kasus pembunuhan di luar rumah tangga juga banyak sekali diterima oleh Mahkamah Agung, akibat dari kecenderungan rasa memiliki dan mengatur hidup perempuan. 

Desnayeti mengatakan akan melanjutkan kajian ini menjadi rekomendasi penyusunan produk hukum. 

Kombes Pol Ciceu Cahyati Dwimeilawati, juga menyebutkan pihaknya bakal berupaya meningkatkan kualitas data femisida yang ada di kepolisian karena selama ini masih secara umum, belum ada data terpilah secara khusus dengan kategori femisida. Di sisi lain, berupaya memperbaiki realisasi pelaksanaan perlindungan terhadap korban akibat pemahaman APH yang kurang, rumah aman yang terbatas. 

“Pemulihan terhadap korban memerlukan peran dari semua pihak. Apalagi untuk kasus pembunuhan suami terhadap istri, diperlukan pemulihan antara dua keluarga baik keluarga pelaku maupun keluarga korban,” katanya. 

Mendesaknya Penegakkan Hukum Berperspektif Gender

Niken Savitri menjelaskan kriminalisasi adalah suatu kebijakan, yang fokusnya pada usaha memformulasikan perbuatan jahat sebagai tindak pidana yang diperbaharui atau bentuk perumusan yang baru dalam perancangan undang-undang, seperti pembuatan RUU KUHP atau tindak pidana tertentu. 

Secara umum, femisida memang sudah ada dalam cakupan perbuatan jahat/tindak pidana dalam peraturan perundangan di Indonesia. Namun sayangnya, femisida tidak diberikan kekhususan (dalam KUHP), sehingga pemidanaannya disamakan dengan tindak pidana menghilangkan nyawa lainnya. 

“Yang akan sulit dibuktikan nanti adalah bagaimana membuktikan motif pembunuhan itu adalah motif kebencian terhadap perempuan karena ini termasuk sikap batin. Hal ini berisiko unsur tidak terpenuhi dan pelaku bebas,” kata Niken.  

Mengutip buku soal femisida ini, usulan pemberat dalam hukum pidana mengerucut pada dua hal. Pertama, keadaan tambahan yang memberatkan pidana yang dirumuskan sebagai unsur tindak pidana dengan cara mengintegrasikan motif kebencian terhadap perempuan dalam tindak pidana pembunuhan.

Kedua, keadaan-keadaan memberatkan yang penilaiannya merupakan kewenangan pengadilan dengan cara mengintegrasikan motif femisida sebagai pertimbangan dalam menjatuhkan pemberatan pidana dalam tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana lainnya yang menyebabkan kematian.

Dalam hukum, sanksi bukan faktor yang esensial, meski tetap penting. Terlebih saat kejahatan yang dilakukan mengandung unsur kesadaran hukum yang dilatarbelakangi budaya, dalam hal femisida budaya patriarki. 

“Harus ada perubahan budaya dalam masyarakat terutama aparat penegak hukum yang wajib berperspektif gender,” katanya. 

Desnayeti menyebutkan, perempuan korban femisida selain harus mendapatkan keadilan hukumnya juga perlu diperhatikan dampak kasusnya terhadap keluarganya. Utamanya, bagi mereka yang memiliki anak misalnya. 

Dampak ini tidak boleh diabaikan dan harus diperhatikan. Diperlukan restitusi dan kompensasi untuk dampak ini.

“Walaupun dalam memutuskan kasus tersebut kami selalu memperhatikan dengan memberikan hukuman yang berat terhadap pelaku. Urusan pelaku sudah selesai, lalu bagaimana dengan korban yang ditinggalkan? Saya setuju dengan pemberian kompensasi bagi keluarga korban. Mahkamah Agung berjanji akan mengikuti perkembangan isu femisida sampai menjadi kebijakan,” ujar Desnayeti.

National Program Officer untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Nunik Nurjanah, menekankan perlunya saat ini dibentuk Tim Pemantau Femisida. Mereka nantinya bisa berperan mengumpulkan dan mempublikasikan data femisida setiap tahun, dan menganalisa tren femisida berbasis data serta sumber lainnya. 

“Femisida harus diubah dari dasar yaitu mengubah perilaku misoginis,” pungkasnya.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!